Sunday, July 12, 2009

Kabayan dalam Budaya Konsumsi

Ia tak hanya mengajak penonton tertawa menatap berbagai peristiwa satire yang berlangsung di panggung. Melainkan juga diam-diam ia mengajak penonton untuk menertawakan dirinya sendiri, seraya mengkritisi anggapan bahwa identitas bukanlah barang jadi melainkan pilihan ("option").

AKHIRNYA Kabayan (Kodrat Firmasyah) melepas kemeja dan dasinya. Ia kembali memakai bajunya dulu, lengkap dengan sarung dan kopiah. Peristiwa itu berlangsung dalam metafora berupa lingkaran para lelaki yang menyelimuti tubuhnya dengan sarung, bergerak berputar dalam idiom ronggeng gunung. Metafora itu menyaran pada kembalinya Kabayan pada dirinya yang dulu, pada identitas primordial dan tradisinya setelah penat mengembara ke tengah budaya konsumsi masyarakat urban yang membuatnya kebingungan dan stres, ketika hidup harus dijalani tanpa identitas apa pun selain hasrat. Hasrat yang tak bergerak ke mana pun selain menjadi beban bagi sejumlah pencapaian prestasi atas nama sugesti modal dan gaya hidup, yang membuat semua sibuk mengemas dirinya, termasuk Kabayan.

Adegan metaforik Kabayan mengganti bajunya di tengah lingkaran tarian ronggeng gunung tampaknya menjadi gagasan yang hendak didedahkan oleh Deden Rengga selaku sutradara dan penulis lakon, lewat pertunjukan "Torototheong the Song of Kabayan". Pertunjukan ini berlangsung di GK Sunan Ambu STSI Bandung, 9-10 Juli 2009. Sebuah gagasan yang menekan pada situasi perubahan psikokultural yang diusung oleh serbuan budaya konsumsi.

Dalam situasi itulah setiap orang kehilangan identitas kultur dan tradisinya. Tak ada lagi apa pun selain hasrat tanpa pernah tahu apa sebenarnya di balik hasrat itu. Orang-orang mengejar hasratnya serupa dengan anak-anak mengejar layangan putus. Berebut dan bertengkar, mengerahkan semua kekuatan, padahal layangan putus itu adalah representasi dari absurditas harapan-harapan mereka. Harapan dan hasrat itu akhirnya membuat setiap orang hidup dalam bayangan realitas yang semu. Orang-orang mengejar layangan yang berhadiah doorprize puluhan juta. Iteung (Aditami) yang ngotot menyusun rencananya berbelanja ke luar negeri jika Kabayan mendapat uang banyak, atau Kabayan yang mengemas dirinya menjadi manajer multilevel marketing.

Menjadikan Kabayan sebagai representasi dari identitas lokal yang terguncang, Deden Rengga mengolah pertunjukan dengan konflik yang lebih menekan pada suasana. Lewat suasana inilah berbagai gagasan dihadirkan dengan warna pertunjukan yang segar dan karakter penokohan yang karikatural, satire, komikal, dengan upaya tetap menjaga konsistensi gagasan sehingga pertunjukan tidak melulu menjadi sekadar bobodoran. Demikian pula narasi cerita yang dibikin tidak rumit. Ketidakpuasan Kabayan yang bosan pada dirinya yang sudah jadi stereotip dan menghendaki perubahan identitas.

Akhirnya perubahan itu terjadi. Kabayan menjadi manajer di sebuah perusahaan multilevel marketing (MLM), dicekoki oleh berbagai doktrin ihwal hasrat-hasrat dan prestasi penjualan. Kabayan mengemas dirinya, mengubah perilaku dan tabiatnya. Iteung menyusul Kabayan ke kota tetapi ia malah diculik dan disandera oleh debt colector yang mengejar-ngejar Kabayan karena berutang ratusan juta. Kabayan pun memberontak dan ia dipecat. Ia merasa tidak betah hidup di tengah budaya urban yang konsumtif dan penuh kepalsuan. Kabayan dipecat dan ia pulang ke asal-usulnya dulu. Lewat pertemuannya dengan seorang tukang cendol yang bijak, Kabayan makin menyadari siapa dirinya. Kabayan lalu membebaskan Iteung dari penjara para debt collector, tetapi terlambat karena ternyata Iteung menderita kanker stadium tiga. Iteung pun meninggal.

**

SEBAGAI sebuah lakon, narasi "Torototheong the Song of Kabayan" memang terkesan sederhana. Dan tampaknya fokus pertunjukan ini bukanlah menekankan pada narasi dan konflik para tokohnya. Melainkan konflik yang dihadirkan sebagai suasana ketika identitas berada di tengah perubahan yang niscaya, dan bagaimana manusia di dalamnya terperangkap dalam budaya konsumsi masyarakat urban yang meniadakan identitas apapun. Di situlah, keluguan dan kenaifan Kabayan hidup dan dipertaruhkan.

Sejak awal pertunjukan ini, sayup-sayup memang telah memberi pelukisan pada suasana pertemuan antara identitas Sunda dan budaya konsumsi. Ruang pertunjukan menghadirkan tiga menara yang terbuat dari rangkaian-rangkaian tangga bambu. Lalu multimedia bekerja menyajikan berbagai produk instan sebagai representasi dari budaya konsumsi. Seluruhnya berbaur dengan musik yang berdentam, sebelum lalu munculnya segerombolan penduduk yang mengejar dan berebut layangan berhadiah doorprize puluhan juta rupiah.

Awal pertunjukan ini menghidangkan gagasan suasana ihwal absurditas hasrat dan harapan demi memperebutkan pepesan kosong. Sebuah situasi psikokultural yang tak bisa lagi membedakan antara yang nyata dan tak nyata. Ini pula yang melanda Iteung dalam adegan pertengkarannya dengan Kabayan yang mengkhayal ia mendapat uang banyak. Iteung bersikukuh ingin menghabiskan uang itu dengan jalan-jalan ke luar negeri dan belanja barang yang selama ini dihasratkannya, sedangkan Kabayan melarang hal itu. Mereka bertengkar, meski pada kenyataannya uang itu hanya ada dalam khayalan.

Dengan mengeksplorasi ruang, gestur, dan bloking, irama pertunjukan bergerak dengan lincah. Demikian pula dialog dan interaksi antarpemain yang penuh dengan improvisasi segar berupa celetukan dan banyolan. Di situ para pemain leluasa mencambaurkan bahasa Sunda, Indonesia, bahkan Inggris dalam suasana yang tak jarang mengundang gelak penonton.

Tak hanya dialog Ki Kolot (Yusep Muldiyana), bahkan dialog Ambu (Rinrin Citraresmi) dan Abah (Apih Rusman) pun bukanlah dialog dengan bahasa sebagaimana lazimnya. Mereka berdua menggunakan bahasa-bahasa dan istilah yang memancing saraf tawa. "Konflik Si Kabayan dan Si Iteung itu bukan konflik konvensional seperti kita dulu," kata Abah. Atau, "Dari tadi yang kita masalahkan selalu adalah unsur dramatiknya." Begitu juga dengan enaknya meluncurlah istilah-istilah.

Tentu saja penggunaan dialog yang tak lazim tersebut bukanlah melulu untuk membangun kelucuan. Akan tetapi, tampaknya lebih diniatkan untuk menjadi semacam satire ihwal komunikasi manusia di tengah budaya konsumsi yang telah kehilangan identitasnya dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan kenaifan.

Meski pertunjukan ini lebih menekankan pada suasana sebagai gagasan, namun Deden tampaknya juga tak mau kehilangan sosok yang bisa menjadi penyeru, yakni Ki Kolot dan Tukang Cendol. Keduanya dihadirkan untuk memberi fatwa-fatwa ihwal kearifan tradisi dan identitas, kesederhanaan dan ketulusan. Keduanya berbeda dengan para manajer MLM yang mengajari Kabayan bahwa setiap orang adalah aset.

Menghadapkan fenomena identitas di tengah budaya konsumsi, bukanlah gagasan baru dalam menatap berbagai perubahan yang tengah berlangsung. Hanya soalnya adalah bagaimana Deden Rengga merepresentasikannya dalam panggung pertunjukan. Ia tak hanya mengajak penonton tertawa menatap berbagai peristiwa satire yang berlangsung di panggung. Melainkan juga diam-diam ia mengajak penonton untuk menertawakan dirinya sendiri, seraya mengkritisi anggapan bahwa identitas bukanlah barang jadi melainkan pilihan (option). Dan setiap pilihan niscaya menyimpan risikonya. Risiko inilah yang diusung Deden Rengga ke panggung teater. Risiko ketika identitas tradisi dan primordial dibenamkan ke dalam budaya konsumsi. Maka orang-orang tak akan pernah berhenti mengejar-ngejar layang-layang. Mengejar mimpinya sendiri. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 12 Juli 2009

No comments: