Tuesday, July 14, 2009

Sindrom Tahun Ajaran Baru

-- Anita Retno Lestari*

SEJAK era Reformasi, ranah pendidikan kita selalu diwarnai "sindrom tahun ajaran baru", yang berupa perseteruan antara wali murid dan pihak sekolah, khususnya mengenai biaya pendidikan.

Misalnya, setiap ada pertemuan wali murid dengan pihak sekolah, ketegangan selalu muncul. Bahkan, perang mulut kerapkali tak terhindari, jika pembicaraan sudah menyangkut biaya pendidikan. Dan dalam perseteruan ini, pihak wali murid selalu cenderung kalah, karena posisinya mirip dengan pembeli, sementara pihak sekolah cenderung selalu menang, karena posisinya mirip dengan penjual (pedagang). Dalam hal ini, semboyan populer di dunia bisnis bahwa pembeli adalah raja, tidak berlaku.

Memang, posisi wali murid dan posisi pihak sekolah bisa seperti pembeli dan penjual, ketika sudah bicara tentang biaya sekolah, yang mirip dengan harga barang dagangan. Tawar-menawar tentang biaya pendidikan sering disertai ketegangan, meski pada akhirnya pihak wali murid akan dipaksa menerima harga (biaya) pendidikan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah.

Posisi pihak sekolah, dalam perseteruan dengan wali murid, sejak sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Kompetensi Berbasis Sekolah (KBS) diberlakukan, semakin kuat karena didukung oleh komite sekolah. Sebaliknya, posisi wali murid makin lemah, karena persaingan memperoleh pendidikan bermutu makin ketat. Harus diungkapkan, betapa komite sekolah di banyak tempat dibentuk semata-mata untuk mendukung kebijakan-kebijakan pihak sekolah, khususnya yang berkaitan dengan biaya pendidikan. Dan jika terjadi perseteruan antara wali murid dan pihak sekolah, komite sekolah selalu membela pihak sekolah, sehingga seolah-olah wali murid selalu dikeroyok dan posisinya semakin lemah.

"Kalau tidak sanggup membayar biaya pendidikan yang telah ditetapkan oleh sekolah sini, silakan mencari sekolah lain." Kalimat ini kerap dijadikan kata kunci untuk mengakhiri perseteruan antara wali murid dan pihak sekolah yang berkaitan dengan tingginya biaya pendidikan. Dalam hal ini, komite sekolah selalu mendukung pihak sekolah. Dan jika wali murid sudah diultimatum dengan kalimat tersebut, biasanya terpaksa mengalah.

Dampak Negatif

Tentu ada dampak negatif yang ditimbulkan oleh perseteruan antara wali murid dan sekolah. Misalnya, di rumah, wali murid mengeluh dan menggerutu, atau bahkan mencela pihak sekolah di depan anak. Akibatnya, sikap apresiasi terhadap pendidikan mudah luntur. Dan buntutnya, anak (murid) bisa bersikap kurang hormat kepada guru.

Oleh karena itu, jika selama ini ada keluhan bahwa semakin banyak murid (di Indonesia) yang kurang menghormati guru-gurunya adalah fakta buruk yang muncul sebagai akibat perseteruan antara wali murid dan pihak sekolah.

Dan buntut hal buruk demikian pasti akan lebih buruk, seperti semakin banyak murid yang berani melawan guru atau sengaja melanggar peraturan sekolah.

Sayangnya, meskipun dampaknya buruk, perseteruan antara wali murid dan pihak sekolah selalu dianggap bukan masalah serius yang mengganggu proses belajarmengajar. Dalam hal ini, pihak sekolah selalu bersikap keras dalam menentukan biaya pendidikan yang harus dipikul oleh wali murid. Tak peduli ada wali murid yang merasa keberatan (karena memang tidak mampu).

Dalam setiap seleksi penerimaan murid baru, fenomena adanya se-kolah yang "mencampakkan" calon wali murid yang tidak

mampu bukan rumor, melainkan fakta. Dan adanya anak-anak cerdas (tapi orangtuanya tidak mampu) yang gagal memperoleh pendidikan di sekolah favorit, juga bukan fiksi melainkan fakta di dunia pendidikan kita. Dan dampaknya, sudah pasti akan buruk, jika dikaitkan dengan sumber daya manusia pada masa depan.

Sekolah Swasta

Selama ini, untuk menghindari perseteruan antara wali murid dan pihak sekolah, sebagian masyarakat memilih menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah swasta, meski risikonya harus membayar biaya pendidikan yang justru lebih mahal. Dalam hal ini, orangtua merasa sudah siap menanggung biaya pendidikan yang tinggi, karena anaknya belajar di sekolah swasta yang tidak ditanggung negara.

"Kalau sama-sama tinggi biayanya, lebih baik sekolah swasta saja, karena kita mengeluarkan banyak uang sepenuhnya memang untuk kepentingan pendidikan." Kalimat demikian sering diucapkan oleh wali murid, dengan perasaan masygul.

Dan di balik kalimat tersebut, terkandung pandangan miring terhadap sekolah negeri yang biaya pendidikannya terkadang justru lebih mahal dari sekolah swasta, padahal sekolah negeri adalah tanggungan negara.

Tentu juga akan ada risiko buruk jika semakin banyak masyarakat berpandangan miring seperti tersebut. Misalnya, akan semakin lebar kesenjangan antara sekolah swasta dan sekolah negeri. Dalam hal ini, sekolah negeri bisa semakin kalah dalam persaingan mutu pendidikan dengan sekolah swasta.

Misalnya, (ada bukti mutakhir) juara-juara Olimpiade Matematika, Fisika dan Sains, ternyata diraih juga oleh mu-rid-murid sekolah swasta!

Tentu ironis, jika sekolah-sekolah negeri semakin kalah dalam persaingan mutu pendidikan dengan sekolah swasta, justru ketika sekolah negeri semakin mahal.

Ironi tersebut akan memprihatinkan, jika diwarnai dengan semakin maraknya fenomena perlombaan fisik bangunan sekolah negeri yang bermegah-megahan tanpa disertai dengan peningkatan mutu pendidikan.

Tentu layak disesalkan jika perseteruan antara wali murid dan pihak sekolah tidak diupayakan untuk dihindari.

* Anita Retno Lestari, Direktur Lembaga Studi Humaniora

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 14 Juli 2009

No comments: