BANDAR LAMPUNG (Lampost): Komitmen pemerintah daerah di Lampung membantu pendanaan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) sangat rendah.
Akibatnya, sekolah penyelenggara RSBI membebankan sebagian biaya operasional kepada wali murid, mirip tamsil berburu di kebun binatang. Sesuai UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, minimal di setiap daerah terdapat satu RSBI. Tujuannya agar tercapai pemerataan kualitas pendidikan sehingga siswa tidak perlu melanjutkan sekolah ke luar negeri atau ke Jawa.
Komposisi pendanaannya, dari APBN 50%, APBD provinsi (30%) dan APBD kabupaten/kota (20%). "Tetapi pemda belum memberi perhatian serius. Komite sekolah juga belum intensif menggali dana ke swasta," kata Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Bandar Lampung, Haryanto dalam diskusi di Lampung Post, Kamis (16-7).
Diskusi kecil yang dipandu Koordinator Liputan Lampung Post Amiruddin Sormin itu juga dihadiri Ketua MKKS SMA Bandar Lampung Sobirin dan Kepala SMPN 15 Euistati Darnati.
Menurut Haryanto, SMPN 1 Bandar Lampung yang sejak dua tahun lalu berstatus RSBI baru menerima dana APBN Rp300 juta/tahun. Sedangkan dari APBD provinsi Rp135 juta, dan APBD kota Rp100juta. "Tahun ini ada kabar kontribusi APBD provinsi naik menjadi Rp150 juta, tetapi di APBD kota tidak dianggarkan sama sekali," kata Haryanto yang juga Kepala SMPN 1 Bandar Lampung.
Dana Pemerintah
Menurut dia, dana pemerintah hanya boleh dipakai untuk mengembangkan delapan standar nasional pendidikan, yaitu kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pembiayaan, pengelolaan, dan penilaian.
Standar sarana dan prasarana berkaitan dengan alat pembelajaran seperti liquid crystal display (LCD), laptop atau komputer bagi guru dan sekolah. Sedangkan fasilitas bangku dan kursi nirkarat (stainless) serta pendingin ruangan (AC) memang tidak didanai pemerintah karena tidak ada standar baku untuk itu. Karena itu, pembiayaan kursi dan AC dibebankan kepada orang tua. "Tempat duduk dan meja stainless dan AC itu kan demi kenyamanan siswa agar tetap semangat belajar sampai siang," ujarnya.
Laptop untuk siswa juga tidak diwajibkan karena di setiap kelas sudah tersedia dua komputer yang bebas diakses siswa. Selain itu, juga ada laboratorium komputer dengan 40 komputer yang bisa digunakan siswa. Penggunaan information communication technology (ICT) di dalam kelas hanya diwajibkan bagi guru yang yang mengajar di kelas RSBI. Sedangkan siswa bisa mencatat, menggandakan dengan disket, flashdisk, atau mengkopi langsung ke laptop setiap materi yang diberikan guru. "Substansinya siswa harus mengasah kemampuan ICT mereka, tetapi tidak harus memiliki laptop atau membawa laptop ke sekolah. Saya malah khawatir kalau anak-anak yang naik angkot membawa laptop, kalau diantar mobil bolehlah," ujarnya.
Tenaga Pendidik
Haryanto mengungkapkan kendala terberat RSBI yakni kompetensi tenaga pendidik. "Kami sudah mengirim guru mengikuti pelatihan, tetapi hasilnya belum memuaskan," kata dia.
Hal sama juga disampaikan Kepala SMPN 15, Eustati Darnati. Menurut dia, banyak guru yang punya kualifikasi sebagai tenaga pendidik di RSBI. Namun, tempat bekerja guru-guru berkualitas itu tersebar di seluruh Lampung.
Kendala lain, kepala sekolah tidak melepaskan guru-guru berkualitas untuk ditugaskan di RSBI. "Karena itu satu-satunya cara yang dilakukan RSBI adalah meningkatkan kemampuan guru," ujar dia.
Menanggapi rendahnya komitmen pemerintah, Kepala Dinas Pendidikan Bandar Lampung Idrus Efendi mengungkapkan tahun ini Panitia Anggaran mencoret usulan dana RSBI. Hal itu karena tim eksekutif dari Dinas Pendidikan tidak mampu meyakinkan bahwa bantuan untuk RSBI sangat diperlukan. "Kami akan memperjuangkan dalam APBD 2010," kata Idrus melalui telepon selulernya, kemarin.
Idrus menambahkan bantuan pemda diproyeksikan untuk membantu operasional sekolah dan meningkatkan sarana/prasarana di sekolah tersebut. n RIN/UNI/U-1
Kendala RSBI
1. Komiten pemda rendah
2. SDM (guru) sulit ditingkatkan
3. Fasilitas tidak mendukung
4. Kerja sama dengan swasta tidak berjalan
Sumber: Lampung Post, Jumat, 17 Juli 2009
No comments:
Post a Comment