-- Syaiful Arif
KEBUDAYAAN sebagai proses realisasi nilai tentu memiliki kepentingan.Bukan hanya oleh para penggerak budaya, tetapi bahkan oleh kebudayaan itu sendiri.
Hal ini bisa terjadi karena selain sebagai ‘buah budaya’, kebudayaan terlebih merupakan paradigma budaya (cultural paradigm). Pada titik ini, orang bicara kebudayaan pasti berangkat dari nilai tertentu yang sering mencipta benturan kepentingan. Merujuk pada pemilahan pengetahuan dan kepentingan dari Habermas, kebudayaan pun memiliki tiga kepentingan. Pertama, kepentingan teknis. Ini digerakkan oleh paradigma kebudayaan yang lahir dari saintisme.
Kebudayaan kemudian digambarkan selayak organisme biologis di mana nilai berfungsi sebagai perekat normatif bagi struktur masyarakat. Lahirlah perspektif fungsional yang meletakkan kebudayaan terlebih sebagai alat dalam suatu bingkai logika komponensial. Satu logika yang menempatkan nilai tak lebih sebagai komponen mekanis sehingga bisa dibongkar-pasang sesuai dengan kebutuhan mesin politik. Kedua, kepentingan memahami. Ini digerakkan oleh model interpretatif.
Bagi logika ini, persoalan utama kebudayaan adalah memahami pelaku budaya dalam memaknai makna budayanya. Lahirlah interpretasi atas interpretasi (interpretation of interpretation) di mana analisis budaya terlebih bertujuan untuk menafsiri makna, bukan penjelasan kausal atas struktur budaya. Risiko nyata adalah buyarnya dikotomi budaya rendah dan budaya tinggi, selayak klaim evolusionisme. Kebudayaan di mana pun bersifat unik dan memberi oase makna bagi warganya. Ini terjadi karena teori budaya tak berkepentingan untuk merekayasa perubahan tradisi menuju modernitas misalnya, tetapi bahkan mencari logika modern dalam cara-pikir yang dianggap tradisional.
Ketiga, kepentingan emansipatif. Kepentingan ini merujuk pada usaha pembebasan kemanusiaan, bahkan dari (politik) kebudayaan. Ini digerakkan oleh paradigma kritis yang tak lagi memosisikan fenomena budaya sebagai objek yang dikaji, dirumuskan, dan oleh karenanya, dikuasai. Pengkajian kebudayaan selayak dilakukan oleh logika saintis, telah dianggap sebagai penguasaan epistemik karena melalui penamaan budaya, ia berhak menentukan ‘kelamin dan nasib’ suatu masyarakat.
Kepentingan emansipatif diartikan sebagai pembebasan nilai di mana potensi kreatif manusia berada dari struktur budaya yang sudah melembaga dalam struktur politik. Lahirlah realisme Lukacs yang menahbiskan seni sebagai pembongkar ‘realitas permukaan’ (appearance) nan manipulatif,guna menggali ‘realitas esensial’ (essence). Seni bagi logika ini memiliki tugas untuk mengelupas kesadaran palsu sehingga manusia bisa hidup dalam energi spiritual yang merupa esensi kemanusiaan.
Fetisisme Budaya
Dalam perjalanannya, ketiga pendekatan tersebut menyisakan masalah.Saintisme misalnya telah terjebak dalam positivisme, sehingga ketika melihat kebudayaan hanya berangkat dari yang empirik. Empirisisme inilah yang tak mampu melihat apa yang bernilai dalam suatu tipe budaya. Akhirnya, cara pandang ini dimanfaatkan oleh politik pembangunan untuk melakukan pemilahan, mana nilai yang kondusif dan menghambat bagi gerak pembangunan.
Hal sama terjadi pada interpretivisme. Pemaknaan Geertz atas agama Jawa, yang melahirkan tipologi santri, priyayi, abangan, masih terjebak dalam positivisme. Ini terjadi karena interpretivisme berkutat dalam ‘induktif-statistik’, di mana usaha penafsiran (peneliti) atas penafsiran (pelaku budaya), ditujukan demi pembakuan tipologi budaya. Pembakuan tafsir budaya inilah yang akhirnya mencipta politisasi simbolik, sehingga pada musim pemilu, santri-abangan menjadi jualan kampanye.
Syukur,sejak Pemilu 2004, dikotomi santri-abangan telah dibuyarkan oleh koalisi pragmatis nasionalisme religius,melalui duet Megawati-Hasyim Muzadi dan Wiranto-Gus Sholah; satu duet yang gagal menghadang politik citra SBY-JK.Hal ini membuktikan bahwa pembakuan budaya melalui tipologisasi nilai, sebenarnya tak menyentuh basis pluralitas budaya yang cair dan tak bisa dibakukan. Pada titik inilah, kepentingan emansipasipun menemui halang, disebabkan penahbisan kebudayaan sebagai produk. Hal ini menyebabkan dua dampak negatif.
Satu sisi, kebudayaan hanya menjadi sub-sektor dari sistem politik. Kebudayaan tiada beda dengan ekonomi, pendidikan, atau olah raga, sehingga ia dibonsai dalam jeruji Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Inilah fetisisme, di mana kebudayaan yang sebenarnya merupakan standar pemanusiaan manusia, telah terbendakan menjadi jualan seni-pariwisata. Kebudayaan kini menjadi urusan birokrasi, bukan energi kritis dari gerak kultural masyarakat.
Dampak kedua adalah pemisahan kebudayaan dari filsafat kebudayaan. Secara filosofis, kebudayaan merupakan gerak pemanusiaan manusia melalui pemanusiaan kehidupan. Ini terjadi sebab manusia disebut manusia karena ia memiliki nilai; bagaimana sesuatu seharusnya bersifat? Pada titik ini kebudayaan menjadi pijak sekaligus cita normatif agar kehidupan bersifat manusiawi.
Landasan inilah yang meniscayakan pemilahan antara kebudayaan secara hakiki, dengan praktik budaya di masyarakat. Pertanyaan utama tak terletak pada bagaimana manusia menggunakan nilai budaya demi pemenuhan kebutuhan (ekonomis), tetapi bagaimana pemenuhan tersebut tetap berada dalam standar nilai manusiawi. Sayangnya hal ini sulit terjadi.
Yang tergerak adalah pemisahan kebudayaan dari nilai asalinya,sehingga ia bisa dijadikan alat bagi kepentingan politik, baik pemodal ekonomi, maupun penguasa negara.Dari sini manipulasi politik seolah searah dengan standar kemanusiaan, karena ia melegitimasikan diri pada nilai kebudayaan.(*)
* Syaiful Arif, Peneliti Ciganjur Centre, Jakarta
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 19 Juli 2009
No comments:
Post a Comment