-- M Said Marsaoly*
DALAM keseharian, kita sering menjumpai fenomena mengerikan. Hal itu lalu menjelma menjadi ketakutan dalam diri setiap manusia dan diasosiasikan sesuatu yang buruk dan negatif. Manusia yang sadar selanjutnya menetapkan yang negatif dan buruk itu sesuatu yang mesti dihindari dalam kehidupan manusia. Bahkan ada yang melacak dan menyusunnya menjadi seperangkat teori, teori ”negativitas”.
Demikian antara lain yang kita temukan dalam buku Memahami Negativitas, Diskursus tentang Massa, Teror dan Trauma. Buah pena F Budi Hardiman itu menyajikan negativitas menjadi diskursus filsafat yang diolah dari ragam kasus dan kumpulan teori filsuf Eropa modern.
Namun, marilah coba melihat ihwal yang negatif itu dalam perspektif berbeda. Berangkat secara sederhana dari definisi negativitas Dr Karlina Supelli dalam epilog buku itu sebagai perbandingan. Karlina menulis, ”Negativitas bukanlah sesuatu yang netral. Dia juga bukan ketiadaan atau nol, melainkan sesuatu, yakni sesuatu yang tidak didefinisikan dari dirinya sendiri, melainkan dari efek yang ditimbulkannya” (hal xix).
Dari definisi di atas, kita mengetahui, sesuatu yang negatif tidak memiliki ciri independen pada dirinya sendiri, tetapi ia dapat dikonsepsikan apabila dihubungkan dengan yang lain. Olehnya itu, negativitas hanya kita temukan pada aras aksiologi. Jamak diketahui aksiologi menghendaki pola relasional.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah apakah term negativitas terlepas dari konsep ”teoretis-ontologis”? Apabila ia tidak memiliki status ontologis, adakah kriteria kebenaran bagi negativitas itu? Namun, jika negativitas bertumpu kepada fenomena tertentu, adakah fenomena yang dapat membenarkan dirinya sendiri? Kepelikan-kepelikan ini tentu melibatkan kajian filsafat etika yang menyediakan jawaban-jawaban khas.
Definisi Islam
Berbeda dengan definisi negativitas di atas, para filsuf Muslim memiliki definisi yang bertolak belakang. Bagi mereka, yang negatif atau kejahatan justru memiliki nilai relatif dan noneksistensi. Bahasan ini memiliki sejarah yang panjang akar-akarnya tertanam dalam pemikiran Yunani kuno, khususnya Plato. Namun, para filsuf mutakhir telah mendedahnya secara lebih luas dan mendalam.
Maksud filsuf Muslim, kejahatan adalah noneksistensi ialah bahwa kebaikan dan kejahatan adalah dua hal yang menyatu tanpa bisa dipisah-pisahkan ketika di suatu tempat ada kejahatan di situ juga pasti ada kebaikan serta di mana ada kebaikan di situ pula ada kejahatan. Kebaikan dan kejahatan demikian berpadu dan bersenyawa di alam ini. Namun, bukan seperti persenyawaan kimiawi, persenyawaan yang lebih mendalam dan lebih halus. Itulah corak khas persenyawaan antara eksistensi dan noneksistensi.
Murtadha Muthahhari (1920-1979), dalam karyanya, Al-’Adl Al-Ilahiy, berpendapat bahwa ”eksistensi dan noneksistensi tidak membentuk dua kelompok yang terpisah di alam eksternal”. Dengan lain perkataan, noneksistensi ialah ketidakadaan dan kehampaan yang tak mungkin mengisi tempat tertentu di samping eksistensi.
Di alam fisik yang merupakan alam potensialitas dan aktualitas, gerakan dan evolusi, oposisi dan konflik, di mana saja bentuk-bentuk itu berlaku, di situ pula bentuk-bentuk noneksistensi mungkin berlaku. Sebagai contoh, saat kita berbicara ihwal ”kebutaan”, kita tidak mesti mengira bahwa kebutaan itu adalah obyek tertentu dan benda nyata yang ada di mata tunanetra. Sebaliknya, ”kebutaan” itu sendiri adalah noneksistensi, kehilangan, kehampaan, dan kekurangan ”penglihatan” yang pada dirinya sendiri tidak memiliki realitas terpisah dan mandiri.
Hukum baik-buruk
Apabila negativitas kita identikkan dengan hal buruk dan menakutkan, dia pun memiliki hukum ”teoretis-ontologis”. Saat kita berbicara ihwal keburukan dan kebaikan sebetulnya kita berbicara mengenai eksistensi dan noneksistensi. Sebab, jika bukan merupakan noneksistensi itu sendiri, kejahatan dan keburukan pastilah merupakan eksistensi yang melibatkan sejenis noneksistensi.
Dalam arti, ia merupakan eksistensi yang pada dirinya sendiri baik dan bagus, tetapi menjadi jahat dan buruk karena mengimplikasikan noneksistensi atau kekurangan dan kehilangan pada sesuatu. Jadi, hanya pada implikasi terhadap noneksistensi ”sesuatu” menjadi kejahatan tertentu bukan pada sisi lainnya.
Sebut saja, kezaliman dikatakan jahat karena ia menghilangkan hak orang tertindas untuk mendapatkan kesempurnaan haknya. Demikian kejahatan dapat diklasifikasikan menjadi dua. Kejahatan yang pada dirinya sendiri noneksistensial dan kejahatan yang sebetulnya eksistensial, tetapi diberi sifat jahat karena menyebabkan kekurangan dan ketiadaan bagi yang lain.
Makna baru
Negativitas dengan segala bentuk variabelnya mesti diletakkan pada poros yang sesungguhnya. Kekeliruan menempatkan akan berimbas pada runtuhnya bangunan ontologisnya. Namun, selain itu, ada fungsi lain dalam penjelasan mengenai kejahatan dan kebaikan. Fungsi itu adalah hubungan kausal dan konsekuensial antara kejahatan atau bencana dengan yang kita sebut kesempurnaan atau kebahagiaan.
Hubungan ini memperlihatkan bahwa di tiap hal jahat atau buruk sesungguhnya terkandung hal baik dan indah. Di sinilah relasi itu memberi semacam ”dampak positif”.
Filsuf Muslim percaya, adanya kejahatan dan bencana adalah manifestasi keseluruhan alam yang indah ini. Dampak keduanya ialah hal yang indah memperoleh makna dan konsepnya dari sesuatu yang buruk.
Sekiranya yang buruk itu tidak ada, kita pasti tidak dapat menyebut sesuatu itu indah. Sebab, kesadaran tentang makna keindahan itu terkait dengan eksistensi kejelekan dan perbandingan antarkeduanya.
Maka, pernyataan bahwa kejahatan adalah ketiadaan bukan berarti menafikan peran manusia untuk mengubah alam dan menyempurnakan masyarakat atau dirinya sendiri. Perlu diingat lagi, kejahatan secara aksidental hanya ada di aras aksiologi. Sebuah pola yang tidak dapat berdiri sendiri!
* M Said Marsaoly, Koordinator Jaringan Aktivis Filsafat Islam, penggiat di Yayasan RausyanFikr, Yogyakarta.
Sumber: Kompas, Sabtu, 11 Juli 2009
No comments:
Post a Comment