Friday, July 10, 2009

Sekolah Berstandar Internasional Tidak Perlu

[JAKARTA] Program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) merupakan proyek prestisius pemerintah yang tidak perlu. Sebab, selain menyedot anggaran besar, RSBI juga berpotensi menciptakan segregasi masyarakat.

Demikian, rangkuman pendapat pengamat pendidikan Darmaningtyas, HAR Tilaar, dan Manajer Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, kepada SP di Jakarta, Rabu (8/7).

Darmaningtyas mengatakan, program SBI merupakan proyek prestisius pemerintah yang tidak perlu. Apalagi SBI menyerap dana pemerintah cukup besar. "Yang diperlukan menciptakan pemerataan kualitas pendidikan. Pemerintah cukup mendukung sekolah yang sudah mempunyai reputasi bagus dan membinanya. Tanpa embel-embel sekolah internasional pun, sekolah berkualitas itu sudah berbobot dan banyak lulusannya yang keluar negeri dan berprestasi," katanya.

Dia menambahkan, obsesi pemerintah mendirikan sekolah-sekolah bertaraf internasional dengan mengucurkan dana yang sangat besar bagi sekolah-sekolah yang sudah mampu dan memadai dalam fasilitas dan sumber dayanya, menjadikan iri sekolah-sekolah yang sekadar memiliki fasilitas dan sarana prasarana pembelajaran relatif minim.

Dicontohkan, di Jawa Barat saja, dari 191.704 unit gedung sekolah, 67 persen di antaranya rusak. "Ini hanya potret kecil yang termuat di media, lebih dari itu dapat dibayangkan bagaimana kondisi sekolah-sekolah orang-orang pedesaan, pinggiran hutan di Kalimantan dan Papua sana," ujarnya.

Pemerintah, lanjutnya, lambat laun akan menciptakan segregasi masyarakat. Masyarakat ekonomi tinggi menikmati pendidikan terbaik dan semakin baik kesejahteraannya. Sedangkan, masyarakat miskin kian tertinggal. Padahal, tegasnya, tugas pemerintah menjembatani jurang tersebut dengan memenuhi standar pelayanan minimal dan menjamin akses pendidikan seluas-luas bagi warga negara.

Komersialisasi Pendidikan

HAR Tilaar mengatakan, yang mendasar justru perlu diciptakan sistem pendidikan nasional yang baik, yang bersumber dari kekuatan yang dimiliki bangsa ini. Dengan demikian, anak-anak Indonesia siap bersaing tanpa harus memuja-muja yang internasional secara berlebihan.

Sementara itu, Ade Irawan menegaskan, sikap pemerintah yang menyerahkan pembiayaan pendidikan kepada publik menciptakan orang kaya bersekolah dengan fasilitas yang sangat bagus, sedangkan orang miskin bersekolah dengan fasilitas seadanya.

Oleh sebab itu, menurutnya, pemerintah harus melakukan intervensi supaya baik orang kaya maupun orang miskin punya hak yang sama menerima layanan pendidikan yang berkualitas.

Dikatakan, cara pemerintah mengelola pendidikan telah melahirkan disparitas mutu pendidikan sangat mencolok. "Harus diakui telah ada kastanisasi di sekolah. Sekolah sudah menjadi institusi terbesar untuk mendorong kesenjangan sosial. Juga membuat posisi status quo, di mana orang miskin akan tetap miskin dan orang kaya tetap kaya," katanya.

Pangkal semua persoalan, lanjutnya, adalah ide besar komersialisasi dan privatisasi pendidikan yang sudah diusung pemerintah sejak tahun 1998, ditopang sokongan dari lembaga internasional lewat hibah dan utang yang disalurkan. "Contoh konkrit arah privatisasi adalah badan hukum milik negara (BHMN) di perguruan tinggi, dan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) di tingkat sekolah," katanya.

Dia memaknai, komersialisasi pendidikan sebagai pelepasan tanggung jawab pemerintah. Sebab dengan komersialisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dijadikan komoditas. Siapa yang mampu beli saja yang bisa mengakses pendidikan.

Informasi yang diperoleh, sebanyak 200 sekolah menengah atas (SMA) dirintis menjadi SBI. Penyelenggaraan rintisan sekolah bertaraf internasional ini bertujuan mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia agar mampu bersaing secara internasional. [W-12]

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 10 Juli 2009

No comments: