Friday, July 24, 2009

[Fokus] Perbukuan: Penerbit Pun Pusing "Tujuh Keliling"

-- Indira Permanasari

DIBANDINGKAN dengan buku bacaan umum, harga buku pelajaran boleh jadi memang lebih murah. Namun, perputaran uang di seputar bisnis buku pelajaran alias buku sekolah sungguh fantastis. Hitungan angkanya tidak lagi dalam jutaan atau miliaran, tetapi triliunan rupiah.

Setiap awal tahun ajaran baru, sekitar 57 juta siswa SD-SMA sederajat di negeri ini ”dipaksa” memiliki buku pelajaran baru. Sebagian besar kebutuhan akan buku pelajaran tersebut harus dikeluarkan dari kocek para orangtua murid, sebagian kecil lagi ditalangi pemerintah melalui apa yang disebut program bantuan operasional sekolah khusus untuk pengadaan buku pelajaran alias BOS buku.

Jika harga buku per eksemplar rata-rata hanya Rp 15.000, berarti nilainya sudah hampir Rp 1 triliun. Padahal, jumlah dan jenis buku pelajaran yang harus dilengkapi oleh setiap siswa berkisar 10 hingga 14 buah. Selain itu, untuk jenis buku pelajaran tertentu—terutama di jenjang pendidikan menengah—harga per eksemplar bisa di atas Rp 25.000.

Bagi kalangan penerbit, ceruk pasar selama tiga bulan setiap awal tahun ajaran baru itu sungguh amat menggiurkan. Tak mengherankan kalau kemudian munculnya kebijakan perbukuan yang diterapkan Departemen Pendidikan Nasional, yang dilandasi semangat untuk menghadirkan ”buku murah” ke sekolah, membuat jantung para penerbit buku pelajaran kebat-kebit.

Semua bermula dari kebijakan pemerintah membeli hak cipta buku pelajaran secara bertahap sejak 2007. Materi buku yang sudah dibeli hak ciptanya tersebut kemudian diunggah ke jaringan internet dan masyarakat bebas mengunduhnya. Gratis! Pemerintah juga menyediakan dalam cakram digital siap cetak.

Penerbit boleh mencetak dan mengedarkannya. Hanya saja, harga dipatok tidak boleh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditentukan. Ditambah kebijakan terdahulu, di mana penerbit dilarang menjual buku langsung ke sekolah, serangkaian kebijakan pemerintah ini merupakan pukulan telak bagi penerbit.

Penerbit vs toko buku

Selama ini, aksi penerbit menjual buku ke sekolah memang menuai berbagai protes. Para penerbit bersaing merebut hati para kepala sekolah dan guru dengan berbagai tawaran diskon menarik atau paket-paket lain. Di tengah minimnya kesejahteraan guru, transaksi tersebut memberikan penghasilan tambahan.

Situasi ini memunculkan tuduhan bahwa sekolah menjadi tempat komersial. Martabat para pendidik pun dipertanyakan lantaran dicap menjadi penjual buku dan membebani masyarakat.

Ada pula yang berpandangan, masuknya penerbit langsung ke sekolah mematikan toko buku. Padahal, dalam jangka panjang keberadaan toko buku sebetulnya mendukung usaha penerbitan itu sendiri.

”Sejak penerbit masuk langsung ke sekolah, dalam 15 tahun terakhir banyak toko buku yang tutup, terutama di ibu kota kabupaten/kota. Kalau 15 tahun lalu tercatat 4.762 toko buku yang menjadi anggota Gabungan Toko Buku Indonesia, kini hanya tersisa sekitar 2.000 toko buku. Itu pun hanya 20 persen yang berada di ibu kota kabupaten/kota,” kata Firdaus Oemar, Ketua Gabungan Toko Buku Indonesia.

Di kota kecil, kata Firdaus, toko buku bisa terus bertahan hidup antara lain karena mengandalkan panen penjualan buku pelajaran. Dari hasil keuntungan itulah mereka kemudian berjualan buku bacaan lain yang sifatnya sebagai pelengkap. Ketika sumber penghasilan utama itu terputus, satu per satu toko buku yang ada di kota-kota kecil pun gulung tikar.

Akibat banyak toko buku tutup, akses masyarakat di sana untuk mendapatkan informasi melalui buku—juga sarana meningkatkan minat baca—ikut terganggu. Adapun keberadaan perpustakaan umum belum berfungsi secara baik.

”Sungguh ironis! Penerbitan terus bertumbuh dengan jumlah judul buku yang diterbitkan sekitar 15.000 judul buku per tahun, tetapi terjadi ketimpangan distribusi dan akses,” ujarnya.

Penerbit punya alasan tersendiri. Mereka berpendapat, asal-muasal penjualan buku pelajaran langsung di sekolah justru berawal dari minimnya keberadaan toko buku. Paling tidak itulah penjelasan Wanti Syaifullah dari Penerbit Grafindo Media Pratama terkait dengan masuknya penerbit ke sekolah.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) ini juga mengakui, dari sisi perhitungan bisnis penjualan langsung ke sekolah lebih menguntungkan. Toko buku umumnya menawarkan konsinyasi sehingga buku yang tidak laku dikembalikan.

”Selain itu, sulit bagi penerbit untuk mendapatkan jaminan sejauh mana upaya toko buku menjual buku-buku itu. Apalagi ada keterbatasan ruang di toko buku, padahal penjualan buku pelajaran bersifat musiman,” ujar Wanti.

Perlombaan pemberian korting ke sekolah kemudian muncul sebagai ekses dari persaingan bisnis. ”Organisasi juga sulit mengatur dan memantaunya sehingga ini memang menjadi tantangan tersendiri. Organisasi, seperti Ikapi, hanya bisa mengimbau,” tambahnya.

Namun, bagi Wanti, hal itu masih dapat diatur jika kesepakatan misalnya, diskon tidak diberikan kepada perorangan guru atau kepala sekolah, tetapi ke lembaga sekolah untuk pembangunan sekolah tersebut. ”Memang harus ada pengontrolan yang tepat dan kesejahteraan guru diperbaiki,” ujarnya.

Menghabiskan stok

Dengan munculnya kebijakan baru di bidang perbukuan, ditandai dengan keberadaan buku sekolah elektronik berikut versi cetaknya, juga larangan penjualan langsung ke sekolah, penerbit pun kini mulai berpikir ulang menerbitkan kembali buku pelajaran. Grafindo Media Pratama bahkan tahun ini memutuskan tidak mencetak ulang buku pelajaran.

”Kami hanya menghabiskan stok yang ada. Sebagian besar penerbit demikian. Harga buku juga ditekan agar dapat bersaing dengan buku (’elektronik’ versi digital) yang dijual dengan harga eceran tertinggi. Banyak penerbit sudah berpikir untuk hengkang dari bisnis buku pelajaran jika kebijakan pemerintah tidak mendukung,” ujarnya.

Ketua Umum Ikapi Setia Dharma Madjid mengungkapkan, bagi penerbit, kebijakan pemerintah tersebut tidak adil dan mematikan usaha mereka. Dalam jumpa pers Ikapi pada November 2008 terungkap bahwa stok buku pelajaran pada 25 penerbit sekitar 500 juta buku.

Buku-buku dari penerbit tersebut telah melewati penilaian pemerintah serta Badan Standar Nasional Pendidikan dan sudah dinyatakan lolos. Buku-buku yang sudah telanjur dicetak itu kini tidak dapat dipasarkan langsung ke sekolah, sementara di pasar harus bersaing dengan buku dengan harga eceran tertinggi.

Bagi penerbit, harga eceran tertinggi yang ditentukan pemerintah dianggap terlalu rendah lantaran hanya memperhitungkan biaya cetak, yakni Rp 60 per halaman. Padahal, terdapat biaya distribusi, mengingat minimnya toko buku dan percetakan di daerah.

Menurut mereka, karakter bisnis buku pelajaran berbeda dibandingkan dengan buku umum, lantaran buku pelajaran harus sudah berada di tangan anak begitu tahun ajaran baru atau semester awal dimulai. Pengiriman buku pun harus cepat.

Belum lagi ada biaya-biaya di luar kontrol penerbit, seperti harga kertas yang fluktuatif. Padahal, komponen kertas mengambil hingga 40 persen dari biaya produksi. ”Oleh karena itu, Ikapi mengusulkan Rp 120 per halaman agar industri tetap hidup. Pemerintah tidak menanggapi ide tersebut,” tambah Wanti.

Setia Dharma menambahkan, bagaimanapun, industri penerbitan buku pelajaran ikut menopang industri buku-buku lainnya. Jumlah anggota Ikapi sekitar 900 penerbit dan 200 di antaranya menerbitkan buku pelajaran selain buku umum.

”Jika pemerintah serius ingin menangani buku pelajaran dan tidak memberatkan masyarakat, seharusnya seluruh biaya buku pelajaran ditanggung pemerintah. Pemilihan buku diserahkan ke sekolah dengan syarat buku telah lolos penilaian,” ujarnya.

Penerbit, kata Setia Dharma, tidak keberatan menjual lewat toko buku dan mengikuti harga eceran tertinggi. Tentu saja sepanjang harga eceran tersebut disepakati bersama dan tidak mematikan industri.

”Kami pernah menghitung biaya yang perlu dikeluarkan pemerintah untuk seluruh pelajar, mulai dari jenjang SD hingga SMA dan SMK, dengan rasio satu anak satu buku, sekitar Rp 15 triliun,” ujarnya.

Ikapi juga berharap, dalam pembuatan kebijakan hendaknya pemerintah mengajak pemangku kepentingan, seperti penerbit, duduk bersama dan tidak hanya bertindak sepihak. Apalagi persoalan perbukuan di Indonesia sangat kompleks.

”Kami juga sepakat buku pelajaran harus murah, tetapi industrinya jangan dimatikan. Pasti ada pemecahan yang adil,” ujar Setia Dharma Madjid.

(ELN/KEN)

Sumber: Kompas, Jumat, 24 Juli 2009

No comments: