Sunday, July 12, 2009

[Profil] Remy Sylado: Berkarya = Tantangan yang Harus Dilewati

SENI adalah ungkapan perasaan, demikianlah pernyataan yang sering kita dengar mengenai seni. Memang, jika kita renungkan sejenak, maka sesungguhnya ungkapan tersebut benar adanya. Sebab, seni itu sendiri memang merupakan ungkapan dari pengalaman-pengalaman batin seseorang yang kemudian dituangkan melalui berbagai medium seni, yang akhirnya dapat kita nikmati sebagai sebuah mahakarya.

Bagi seorang seniman, seperti Remy Sylado yang biasa juga ditulis dengan angka 23761 yang diambil dari chord pertama lirik lagu All My Loving karya The Beatles, berkarya adalah sebuah tantangan yang harus dilewati. Berkarya adalah menjawab tantangan dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul, baik permasalahan yang ada di dalam diri sendiri maupun berbagai permasalahan yang ada di luar diri.

Keinginan-keinginan untuk memecahkan permasalahan itulah yang mengakibatkan kan seorang seniman berkarya dan terlihatlah bahwa setiap bentuk karya seni memuat unsur-unsur budaya. Kemudian dengan menggunakan berbagai ungkapan yang dipilihnya, maka lahirlah sebuah potret tentang kebudayaan.

Kesenimanan Remy Sylado tak diragukan lagi. Budayawan yang berkecimpung dalam seni musik, seni rupa, sastra, dan teater ini membuat dirinya pantas menjadi salah satu seniman komplet yang digemari masyarakat Indonesia.

Pada tahun 2002, sosok budayawan populer seangkatan dengan WS Rendra ini mendapat penghargaan Sastra Khatulistiwa untuk karya novelnya. Kemudian, pada tahun 2003 mendapat penghargaan Festival Film Bandung (FFB) sebagai aktor terpuji untuk aktingnya di film. Pada tahun yang sama, Remy meraih Anugerah Indonesia untuk karya-karya teater musikalnya.

Tak hanya itu, pria kelahiran Makassar 12 Juli 1945 silam itu, tiga tahun kemudian (2006) juga berhasil memenangi anugerah sastra terbaik oleh Pusat Bahasa untuk novelnya. Serta, meraih penghargaan dari Istana Wakil Presiden sebagai satu-satunya kritikus musik dan Anugerah Satya Lencana Kebudayaan dari negara, karena kepeloporannya di bidang kesenian kontemporer.

Dalam kariernya yang serbabisa, Remy Sylado pun sering didaulat menjadi pembicara kunci bidang sastra dan bahasa, di universitas-universitas di dalam dan luar Indonesia.

Berikut, hasil wawancara seniman komplet yang bernama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong dengan SP, di kediamannya daerah Cipinang Muara, Jakarta, baru-baru ini.

Bagaimana pandangan Anda terhadap budaya bahasa yang diasimilasi?

Bahasa Indonesia sebenarnya jangan harus dicurigai dan diharuskan menjadi bahasa asli Nusantara. Sebab, bahasa Indonesia sesuai namanya Indo, artinya dapat menyerap segala macam kosakata dari lintasan budaya yang masuk ke Indonesia.

Jadi, harus selalu terbuka untuk menyerap, tapi sebelum menyerapnya harus disesuaikan dahulu dengan lafal kita. Lagi pula, itu hal biasa dalam sebuah bangsa yang modern. Namun, kita harus memiliki kesepakatan untuk menjaganya, supaya dapat mencapai tingkat yang mulia.

Bagaimana cara melestarikan bahasa Indonesia?

Bahasa Indonesia dapat kita lestarikan lewat karya sastra, karena gawang bahasa dilihat dari kemampuan sebuah bangsa dapat menciptakan karya sastra. Pasalnya, penggunaan bahasa dalam karya sastra dinilai sebagai peranti yang paling asasi.

Sejauh mana perkembangan karya sastra di kalangan anak muda?

Saya nilai sudah maju. Itu terlihat dari banyaknya karya sastra yang ditulis dengan latar remaja yang lazim disebut teenlit. Saat ini, peluang untuk menjadi penulis sangat terbuka lebar, tidak seperti pada tahun 60-an. Dulu, untuk menjadi pengarang, orang harus melalui sebuah persyaratan yang sulit, layaknya melamar menjadi wartawan di media cetak. Kalau, sekarang kan sudah tidak lagi.

Sekarang soal seni musik. Bagaimana menanggapi alat musik dan lagu tradisional yang diklaim milik bangsa lain?

Kita harus melihat persolan itu dengan sedikit arif. Sebab, sebagian besar orang yang mengklaim itu adalah orang Indonesia yang menjadi imigran lalu menjadi warga negara sana. Mereka sudah tinggal di sana sejak tiga turunan dan sering dinyanyikan lagu Indonesia oleh neneknya, sehingga otomatis lagu ataupun alat musik itu menjadi satu kesatuan dengan bangsa tersebut. Jadi, janganlah kita terlalu panas melihat masalah itu.

Apa yang harus dilakukan untuk mencegahnya muncul lagi?

Pemerintah harus secepatnya memasukkan kekayaan bangsa Indonesia ke dalam Undang-Undang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

Mengenai seni rupa, apa pengaruh teknologi terhadap perkembangan seni rupa, khususnya seni lukis?

Semakin canggihnya teknologi yang mengakibatkan orang bisa mendesain dengan menggunakan komputer berdampak pada bermunculannya variasi-variasi baru dalam dunia lukis. Jadi, mau tidak mau, kita harus melihat itu sebagai perkembangan proses kebudayaan.

Contohnya, dahulu orang bikin animasi hanya dengan menggambar di secarik kertas, namun sekarang bisa tiga dimensi dengan menggunakan komputer. Maka dari itu, kita harus melihatnya sebagai penemuan bentuk seni rupa baru, yaitu seni rupa yang bisa bergerak.

Soal seni pertunjukan, kenapa dunia teater kita terkesan lambat berkembang?

Menurut saya, itu disebabkan empat hal. Pertama, pola berpikir kita tentang teater di Indonesia, pada umumnya masih terbatas pada model tahun 50-an dan 60-an. Jadi, melihat cara mengucapkan intonasinya dianggap harus mengeluarkan urat nadi. Kedua, teater kita tidak bisa memasuki dunia orang membutuhkan. Maksudnya, kurang bisa menghadirkan tontonan yang baik dan bermutu.

Ketiga, kurang ada kemauan dan juga keberanian dari para sineas teater untuk keluar dari model tahun 50-an dan 60-an, serta menyajikannya secara unik. Keempat, ada dilema yang muncul antara ingin menjadi teater Barat dan ke-indonesiaan.

Bagaimana cara menumbuhkan teater?

Sineas teater kita harus berusaha keras berpikir baru, supaya teater Indonesia dapat menjadi bagian yang dibutuhkan. Caranya, dengan menyajikan cara pertunjukan yang baru. Misalnya, seperti yang dilakukan sineas dalam menyajikan pertunjukannya di beberapa kafe di kota Paris atau disebut teater kafe.

Selain itu, kita juga harus bisa memahami secara betul istilah modern teater tahun 50-an yang berorientasi pada sastra dan 70-an antara gagasan barat dan pola tradisonal, yang hanya sebatas pengertian kontemporer.

Sementara di abad 21 ini. dengan hadirnya komputer, kita harus bisa memanfaatkannya secara optimal untuk mengembangkan pertunjukan teater moderen. Sehingga, pertunjukan itu mampu memberikan dua sisi hal yang menarik kepada penonton, yaitu sisi hiburan dan sisi kekayaan intelektual.

Pewawancara: Lona Olavia

Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 12 Juli 2009

No comments: