Sunday, June 30, 2013

[Tifa] Bianglala Kota Jakarta

PENAFSIRAN atas kehidupan di Jakarta membuat sederet seniman melakukan berbagai rekaan. Mereka mencoba mengaktualkan berbagai peristiwa di Ibu Kota ke dalam karya pertunjukan.

PEMENTASAN PANTOMIM: Pemain pantomim mementaskan dirinya dalam
pagelaran panggung HUT DKI Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta,
Kamis (27/6). MI/ANGGA YUNIAR
Mulai dari kemacetan, kasus korupsi, perkelahian, hingga nikmatnya menyeruput kopi di kafe-kafe ekonomis hingga berkelas tak lepas dari pengamatan mereka. Penuh kritik menggelitik.

Lewat pementasan Panggung Seni: 486 Tahun HUT Kota Jakarta di Plaza Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pertengahan pekan ini, sederet seniman menghadirkan pementasan beragam, mulai pembacaan puisi, pembacaan cerpen, musikalisasi puisi, pantomim, hingga stand up comedy.

Ada yang menyita perhatian ratusan penonton yang duduk beratap tenda darurat malam itu. Kelompok pantomim Standar Mime, misalnya, menghadirkan lakon Koran karya almarhum Sena A Utoyo.

Ada yang menjadi titik persoalan, yaitu penantian akan sebuah bus untuk bisa berangkat bekerja. “Latar belakang cerita di sebuah halte. Kami sedang menunggu bus. Namun, persoalan tentang sebuah koran membuat kami lupa untuk naik ke bus,” ujar salah satu pemain Damar Rizal Marzuki seusai pementasan.

Aksi panggung Damar dan dua rekannya, Farie Judhistira dan Satria Agustani Sahputra, cukup sederhana. Mereka mulai masuk satu per satu dengan menggunakan bahasa tubuh.

Wajah ketiga aktor itu memang dibuat menyerupai badut sehingga terkesan kocak dan lucu. Damar terlihat gelisah menanti bus. Namun, ia pun kaget ketika Farie dan Satria masuk mengagetkannya.

Lalu, mereka bertiga mulai membaca sebuah koran secara bergantian. Ada sebuah berita korupsi yang menghebohkan sehingga membuat mereka lupa untuk bepergian dengan bus.

Aksi saat mereka bertiga mencoba saling merampas koran, misalnya, membuat pementasan semakin mendapatkan titik klimaks. Sontak, koran itu pun sobek sehingga tak bisa mereka baca.

Namun, ada yang menarik karena seperti adegan dalam sulap, Damar pun mengeluarkan sebuah koran yang baru. Kedua pemain lainnya pun langsung tertawa girang. “Karya Sena A Utoyo ini penuh dengan kekocakan. Kami mencoba mengangkat tentang persoalan sederhana," timpal Satria.

Kritik

Pementasan malam itu semakin pedas saat Fikar W Eda mencoba membacakan dua sajak yang digarap dengan unsur musikalisasi. Dua buah sajak tersebut ialah Jakarta Kopi Pagi dan Matahari Kuning Tugu Monas.

Sajak kedua, misalnya, ia baca secara lantang. Ada kemarahan yang begitu kuat dalam wajahnya. Ia beraksi penuh penjiwaan sehingga mampu membuat ratusan penonton ikut larut.

Sajak Matahari Kuning Tugu Monas itu berbunyi, 'Matahari kuning Tugu Monas jatuh di ukiran batu memantulkan bayang sengsara wajah republik tukang utang... Di bawah matahari kuning Tugu Monas mereka mengetuk palu tentang besaran hutang yang dilunasi tanpa kesudahan.

Selain Fikar, ada pula para pembaca sajak seperti Jose Rizal Manua, Hana Fransisca, dan Shinta Miranda. Mereka menghadirkan teknik dan cara yang berbeda. Jose pun terlihat lantang, sedangkan Miranda cukup mendayu-dayu namun tegas.

Pementasan malam apresiasi seni dan budaya itu penuh dengan sebuah harapan. Jakarta memang memiliki keistimewaan karena di sinilah semua manusia berkumpul dari penjuru negeri ini. Semua menyatu dan menciptakan bianglala yang penuh warna. (Iwa/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 30 Juni 2013

[Tifa] Memainkan Jemari dalam Ruang Asketis

-- Iwan Kurniawan

Seniman kampus menghadirkan ruang kontemplatif. Mereka tak sekadar mengajarkan teori, tetapi juga menghasilkan karya yang penuh harapan sekaligus kebimbangan.

KONTEMPOERER: Para pengunjung sedang memerhatikan deretan karya
kontemporer pada pameran bersama karya pengajar seni rupa 2013 bertajuk
"Melihat/Dilihat" di Galeri Nasional, pertengahan pekan ini.
(MI/IWAN KURNIAWAN)
SEORANG pria bertelanjang dada menengadahkan mulutnya ke arah tangan seorang perempuan yang juga telanjang. Sambil menggenggam sebuah apel merah marun, sang perempuan pun siap untuk menyuapi sang kekasih.

Ada motif dan corak warna yang begitu kuat. Seakan ada sebuah kehidupan yang baru saja dimulai. Di samping kiri, terlihat pria bertelanjang dada itu tersungkur di tanah. Sambil tertidur lesu, terlihat sisa apel yang dimakan tergeletak di samping tubuhnya.

Ia seakan mulai mengetahui sebuah kehidupan sesungguhnya. Antara hal (pengetahuan) baik dan buruk sehingga mengingatkan kita pada sebuah awal permulaan kehidupan di dunia yang fana ini.

Gambaran itu terlihat jelas pada karya Integritas yang Terluka karya pelukis Heru Susanto yang dipamerkan pada pameran bersama bertajuk Melihat/Dilihat di Galeri Nasional, Jakarta, awal pekan ini. Ada sebuah corak khas karena pada lukisan berukuran 100x150 cm (akrilik di atas kanvas, 2013) itu kita bisa menerka bahwa sang lelaki adalah Adam dan si perempuan adalah Hawa. Sebuah tafsir akan asal-muasal kehidupan di dunia seperti yang terdapat pada kisah dalam agama.

Pameran tersebut menampilkan 74 karya pengajar, termasuk Heru. Semuanya berasal dari 31 perguruan tinggi berbeda. Ada yang menarik karena para seniman kampus itu tak sekadar menghadirkan teori. Mereka langsung terjun sebagai pekerja yang penuh kepedulian dalam perkembangan seni rupa kontemporer di abad ini.

Setiap karya yang dihadirkan penuh dengan dasar-dasar filosofi (konsep) yang kuat. Berbagai bentuk realis hingga abstrak dihadirkan dengan bahasa yang sederhana hingga bahasa yang rumit.

Tak mengherankan bila karya para dosen sekaligus seniman itu begitu lekat dengan karya yang asketis. Ada kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban demi menghargai ilmu yang mereka ajarkan dan diajarkan.

“Para seniman yang juga pengajar ini menghadirkan arus dalam, namun tak melupakan arus luar. Gesekan yang ada membuat mereka mencoba untuk menerobos dan menumbangkan konvensi sekaligus gairah berkarya,” nilai pemerhati seni rupa, Suwarno Wisetrotomo.

Pada pameran yang berlangsung pada 13-25 Juni itu, ada sebuah upaya untuk menunjukkan proses kreatif seniman kampus. Itu menunjukkan para seniman mencoba untuk tak dilupakan dalam perjalanan seni rupa Indonesia.

Yopie Liliweri menghadirkan sederet tokoh perjuangan. Ada yang menarik karena ia menghadirkan 18 tokoh dalam karyanya berjudul Habitus Baru (26x34 cm), mulai tokoh sepak bola, musikus, politikus, hingga filsuf.

Kontemplatif

Berbeda dengan Hamzah yang menghadirkan Yang Tersurat dan Tersuruk (150x150 cm). Ia seakan bertolak dari yang ada. Dalam karyanya, terlihat seorang anak kecil sedang menatap pada sebuah rumah yang luluh lantak.

Itu seakan mengingatkan kita pada gempa bumi yang sempat melanda Kota Padang beberapa tahun silam. Ruang kontemplatif dalam karya itu sangat tampak.

Apalagi, anak yang dihadirkan seakan juga mengingatkan kita pada korban-korban bencana alam yang ada di sebagian kota lainnya, juga di Tanah Air.

Selain nama-nama tersebut, masih ada yang juga menghadirkan karya yang cukup khas. Sebut saja I Gusti Nengah Sura Ardana, Boyke Mulyana, Hardiman Radjab, Eko Yuli Priyanto, Firman Lie, Dinah Priambodo, Dicky Tjandra, Aryo Sunaryo, hingga Krisna Murti.

Terlepas dari kreativitas yang dihadirkan seniman-seniman dalam pameran tersebut, ada sebuah ruang yang hilang, yaitu ruang kritik. Para seniman itu mungkin saja ingin untuk melepaskan kepenatan lewat berkarya, tetapi mereka lupa pada jati diri sebagai seorang pengajar dan pengkritik.

Mereka yang notabene pengajar mungkin mencoba untuk tak mau untuk dilupakan dalam peta seni rupa Indonesia. Untuk itulah, mereka pun memanfaatkan ruang asketis di tengah kebimbangan.

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 30 Juni 2013

[Jendela Buku] Samurai yang Berbeda dengan Musashi

-- Budi Cahya Timur

JEPANG sepertinya tidak pernah habis kisah heroik dari tiap zaman. Bagi yang pernah membaca kisah Musashi, 7 jilid pada versi Indonesia dan di versi Inggris mencapai 970 halaman, itu menjadi karya klasik yang fenomenal. Buku perjalanan maestro samurai akhir abad XVI itu tidak pernah dilupakan orang.

MEMBAHAS BUKU SWORDLESS SAMURAI: Peserta hadir dalam acara Obrolan
Pembaca Media Indonesia (OPMI) di Liberica Coffee, Pacific Place,
Jakarta, Sabtu (22/6). Obrolan kali ini membahas tentang buku Swordless
Samurai karya penulis Kitami Masao yang menceritakan tentang sejarah
singkat Jepang di masa samurai berkuasa, hingga prinsip-prinsip
kepemimpinan Toyotomi Hedeyoshi. MI/IMMANUEL ANTONIUS
Lalu apa hubungan Musashi dengan samurai bernama Toyotomi Hideyoshi? Keduanya sama-sama berangkat dari seorang ronin (samurai yang menganggur). Kedua ronin itu memiliki kisah, sikap, cita-cita, ambisi, filsafat hidup, sepak terjang, dan kiprah yang berbeda. Namun, perjuangan mereka sebagai manusia yang ingin mengubah hidup patut menjadi petikan bernilai bagi manusia secara universal.

Meski hidup di zaman dan generasi yang berbeda, jika ditelusuri dari tahun kelahiran dan peristiwa yang dilalui, keduanya hidup di zaman yang segaris.

Melalui buku The Swordless Samurai, kisah pemimpin legendaris Jepang abad XVI diangkat kembali oleh sang penulis Kitami Masao. Sayangnya, di buku itu tidak ada keterangan latar belakang pengarang. Hanya terdapat sebuah pengantar dari Tim Clark selaku penerjemah dari bahasa Jepang ke Inggris, yang menjelaskan soal Hideyosi. Tidak ada penjelasan tentang sang penulis Kitami Masao, hanya ada ucapan terima kasih telah memberi izin mengadaptasi buku itu.

Terlepas dari itu, kisah Hideyoshi memang tidak banyak dentingan antarpedang seperti Musashi yang mampu membunuh 70 lawannya. Cita-cita Hideyoshi tak hanya melulu berkelahi, berperang (bertempur).

Ia mengerti bahwa sebagai pemuda miskin yang bertubuh pendek, tak berpendidikan, dan berwajah jelek menutup peluangnya berkarier di bidang militer.

Meski tidak menguasai bela diri, konsep samurai ditempuhnya melalui kebijakan, manajemen kepemimpinan dengan keahlian bernegosiasi, dan strategi yang membuat lawan-lawannya takluk dan tunduk. Sebagai remaja yang telah ditinggal mati ayahnya sejak kecil dan hidup berdua dengan ibunya, ia bekerja dengan bermacam-macam bidang. Sampai akhirnya, ia memutuskan dan berangan-angan menjadi seorang samurai. Ia pun bekerja pada keluarga samurai yang disebut klan. Mengabdi dari satu klan ke klan lain, hingga memutuskan menetap di Lord Nobunaga sebagai atasan dan mentor yang tangguh. Dari satu gagasan, strategi dalam memanajemen organisasi, serta dari satu pertempuran ke pertempuran lainnya, Lord Nobunaga tampil sebagai pemenang tanpa pertumpahan darah. Kemenangannya tidak lepas dari diplomasi Hideyoshi, lewat ide kreatif, strategi, dan misi-misi kemanusiaan dengan taktik bagi-bagi rezeki hingga ia terkenal dermawan.

Tampuk kekuasaan didapatkan Hideyoshi setelah menguasai hampir seluruh wilayah Jepang. Ia berhak mendapatkan jabatan wakil kaisar dan shogun. Hideyoshi akhirnya memutuskan invasi militer ke Semenanjung Korea dan China, dengan sebutan Perang Tujuh Tahun. Ia pun bernafsu pada wanita dengan memelihara 300 selir setelah istri pertamanya, One, tak memiliki keturunan.

Pada 1598 Hideyoshi wafat. Ia mewariskan kekuasaannya kepada Hideyori, anak selir terfavoritnya, Lady Yoda. Semenjak itu, peperangan antarklan terus berkecamuk. Di sinilah terbentuk dinasti. Salah satu dari lima jenderal Hideyoshi yang bernama Tokugawa Ieyasu memenangi pertempuran antara Barat dan Timur, yang dikenal dengan pertempuran di Sekigahara pada 1600, dan di sinilah kisah Musashi, tokoh kelas bawah yang mencari jati diri lewat pedang, ikut bertempur dan selamat di antara ribuan mayat yang bergelimpangan.

Membaca perjalanan hidup Hideyoshi menjadi negarawan memberi inspirasi dan semangat hidup. Apalagi di tengah krisis kepemimpinan di Indonesia yang tak tegas, tak berani, dan loyo, buku ini bisa memberi pencerahan, dengan membaca penyajian di awal bab dan subbab, diberikan kata-kata filosofis, kepribadian, dan manajemen. Namun huruf Jepang yang tersaji di setiap bab rasanya perlu diberi penjelasan, apa arti kata-kata itu. (M-5) *: Peserta Obrolan Pembaca Media Indonesia (OPMI) The Swordless Samurai dan pemenang lomba resensi pembaca. Redaksi memberikan penghargaan berupa empat buku. Reza Ramadhan, Mahasiswa "Awalnya mengira buku ini akan banyak cerita petualangan, ternyata banyak amanat-amanat soal kepemimpinan. Kesan saya, buku ini berisi potongan-potongan referensi yang coba disimpulkan penulis, tapi buku ini bagus."

Silviana Dharma, mahasiswi "Cara penuturan buku yang seolah autobiografi ini membuat ceritanya menarik dan mudah dipahami. Sayang, ceritanya tidak kronologis sehingga membingungkan pembaca. Nama tokoh juga sulit diingat karena buku terjemahan. Menariknya, judul per bab masih ditulis bahasa aslinya."

Julianti Srilestari, freelance translator "Buku Swordless Samurai bagus sekali, saya suka. Apalagi kisah-kisah di dalamnya penuh motivasi."

Al Sobri, penulis "Ini alternatif bacaan buku-buku soal kepemimpinan. Belajar langsung pada kisah hidup si pemimpin. Menariknya, buku ini memotivasi dan tetap menunjukkan dua sisi seorang pemimpin dan calon pemimpin."

Budi Cahya Timur, arsitek "Buku ini bercerita tentang pelajaran hidup, perjuangan, dan pencapaian hasil. Sebuah buku yang menggabungkan sejarah, militer, dan motivasi."

Famega Syavira Putri, editor "Buku ini gabungan autobiografi, motivasi, sejarah, dan narasi fiksi yang dibungkus dengan bagus. Buku ini juga mudah dibaca karena dilengkapi kesimpulan dan pelajaran yang bisa diambil. Meskipun fakta sejarah agak kabur, banyak hal yang bisa kita pelajari."

Hergarini Oktivasari, karyawati swasta "Banyak kutipan menarik tentang kepemimpinan yang bisa kita terapkan. Pemikiran Hideyoshi pun out of the box, tetapi tetap penuh perhitungan. Dia selangkah lebih maju daripada pemimpinnya sendiri. Memacu kita menjadi pribadi yang lebih baik karena kita merupakan pemimpin bagi diri sendiri."

Budi Cahya Timur, peserta OPMI The Swordless Samurai dan pemenang resensi pembaca

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 30 Juni 2013

[Jendela Buku] Taklukkan Jepang dengan Akal

-- Khalidah Nizma Fritz

'Aku tidak mahir dalam seni berpedang.... Aku sadar aku harus lebih menggunakan otak daripada tubuh, khususnya jika aku ingin kepalaku tetap menempel di leher'.

MEMBAHAS BUKU SWORDLESS SAMURAI: Peserta hadir dalam acara Obrolan
Pembaca Media Indonesia (OPMI) di Liberica Coffee, Pacific Place,
Jakarta, Sabtu (22/6). Obrolan kali ini membahas tentang buku Swordless
Samurai karya penulis Kitami Masao yang menceritakan tentang sejarah
singkat Jepang di masa samurai berkuasa, hingga prinsip-prinsip
kepemimpinan Toyotomi Hedeyoshi. MI/IMMANUEL ANTONIUS
NAMA Hideyoshi bagi rakyat Jepang sudah merasuk dalam sejarah bangsa. Bagaimana tidak? Selama ratusan tahun Jepang dilanda kegelapan. Kekuasaan kaum bangsawan tidak terbantahkan kala hukum yang berlaku hanya pedang.

Pada abad ke-15 Hideyoshi tampil mengubah wajah Jepang. Terlahir dengan tinggi hanya 150 cm, wajah seperti yang diakuinya mirip monyet, tidak mahir bermain pedang, dan dilahirkan dalam keadaan miskin, itulah gambaran Hideyosi.

Namun, ternyata tekadnya melampaui semua kekurangannya. Hideyoshi bermimpi membawa Jepang keluar dari zaman kegelapan dan menciptakan perdamaian. Sadar tak punya hal yang dibanggakan, Hideyoshi memilih satu-satunya harapan: menggunakan akal dan hati! Sebelum mengabdikan diri pada sebuah kelompok, Hideyoshi mengecap kerasnya hidup sebagai rakyat miskin. Dia melakukan yang terbaik dalam perdagangan, menjadi pekerja kasar, bahkan pernah terlibat dengan kelompok preman. Mengeluhkan dia? Tidak! Dari pengalaman yang kelak terbukti mahal itu, jiwa welas asih Hideyoshi muncul. Seorang yang pernah merasakan menjadi sangat miskin, ketika memimpin punya peluang besar untuk merasakan penderitaan rakyat dan bawahannya.

Keputusan Hideyoshi remaja untuk memilih atasan sangat diperhatikan dengan cermat. Dari sini saja pembaca diajak merenungkan sesuatu yang sering terlewat, memilih pemimpin. Hideyoshi tahu betul, kalau dirinya ingin sukses, harus memilih orang yang tepat pula. Lord Nobunaga-lah yang menurutnya pas dengan visi misinya.

Setelah mendapatkan hati Lord Nobunaga, atasan yang paling dikaguminya, Hideyoshi membuktikan siapa dirinya lewat dedikasi. Sigap, cekatan, penuh inisiatif dan tidak mengeluh, merupakan di antara keunggulan Hideyoshi. Perlahan tapi pasti, Hideyoshi menduduki jabatan yang lebih tinggi. Setiap pekerjaan yang dipercayakan padanya tak pernah mengecewakan.

Usaha keras dipadu dengan akal cerdas akan memutuskan kebiasaan yang terdengar mustahil. Siapa yang mau percaya Hideyoshi ialah calon pemimpin besar saat tugasnya hanyalah menghangatkan sandal?

Akan tetapi, totalitasnya mengantarkan Hideyoshi menjadi pemimpin yang unik, belum ada dalam sejarah Jepang, dan yang pasti, tanpa pedang.

Rasa autobiografi buku yang berlatar belakang sejarah Jepang sudah sejak lama memasuki toko buku Indonesia. Cerita seputar kekaisaran, perang, dan samurai merupakan yang paling banyak. Penggemar budaya Jepang tentu tak melewatkan buku-buku tersebut. Uniknya, buku sejarah Jepang yang satu ini menarik tidak hanya bagi pecinta budaya Jepang, tetapi juga pecinta buku pada umumnya. Swordless Samurai, karya Kitami Masao, punya gaya bercerita lain daripada yang lain.

Alih-alih menceritakan sejarah dengan membosankan, Masao mengadakan riset dengan mengambil berbagai referensi dan menulis dengan gaya novel autobiografi. Jika tidak jeli membaca pengantar bukunya, Anda pasti mengira ini memoar pribadi yang ditulis oleh sang tokoh sendiri, Toyotomi Hideyoshi.

Meskipun beberapa validitas sejarah diragukan atau tidak jelas, buku ini sangat inspiratif. Terbagi menjadi sepuluh bab, setiap subbab menceritakan sebuah kiat. Ya, rasanya seperti membaca buku how to be a good leader berikut penjelasan nyatanya.

Alur acak

Meskipun buku ini sangat inspiratif dan mudah ditangkap pesannya, alur ceritanya acak dan melompat-lompat. Kisah kematian Lord Nobunaga yang seharusnya bisa ditulis dramatis ternyata hanya selewat saja. Masao, sang penulis, lebih dulu membocorkan siapa pembunuhnya dan menceritakannya di bagian buku lain.

Gaya bercerita dengan alur acak memang bukan hal baru. Sering kali malah menjadi keunggulan sebuah buku. Sayangnya, untuk buku terjemahan yang tokoh-tokohnya mempunyai nama Jepang, alur acak membuat pembaca kesulitan mengingat nama asing itu.

“Cerita kurang kronologis ditambah banyaknya nama asing membuat pembaca bingung. Agak mengganggu,” kata Silvi, salah satu peserta Obrolan Pembaca Media Indonesia.

Hanya pecinta sastra Jepang atau terbiasa dengan nama-namanya yang sepertinya tidak akan merasa terganggu dengan hal tersebut.

Seimbang bergelimang harta dan kekuasaan sudah menyilaukan banyak pemimpin dan menghancurkannya. Hal itu pula yang dialami Hideyoshi. Setelah mencapai posisi puncak, Hideyoshi melakukan berbagai kebodohan yang mencelakakan dirinya sendiri dan para pengikutnya.

Terlalu murah menghambur-hamburkan uang, tergoda memiliki ratusan selir, sampai keputusan fatal menginvasi negara tetangga, China dan Korea. Hideyoshi mengakui sejak kehilangan sahabat sekaligus penasihatnya, Koroku, hidupnya lebih tidak terkendali. Tak ada orang yang berani menegur jika dia salah.

Cerita buku ini terasa lengkap dan seimbang tatkala pembaca diajak menyelami sisi lain pribadi Hideyoshi dan menarik pelajaran darinya. Kiat kepemimpinan ataupun peringatannya terhadap godaan setelah duduk di atas sana memang bukan cerita baru, apalagi tips rahasia. Semua sudah sering kita dengar. Namun tetap saja sedikit orang yang bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah setiap kita ialah pemimpin, minimal memimpin diri sendiri?

Ambillah pelajaran berharga dari perjuangan si miskin Hideyoshi menjadi orang nomor satu di Jepang. Jangan pula abaikan peringatannya akan kekuasaan yang melenakan. Dari beberapa abad yang lalu, Hideyoshi berbagi rahasia suksesnya. Tinggal bagaimana pembaca menyarikannya dalam kehidupan sekarang.  (M-2)
           
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 30 Juni 2013

Nak Nik Etnik Warna Baru Hiburan Di Pekanbaru

-- Aristofani Fahmi

SETIAP tahun perhelatan dalam rangka ulang tahun kota Pekanbaru, panitia selalu menghadirkan panggung seni sebagai ajang hiburan. Namun, panggung expo yang bertajuk “panggung seni  melayu” tahun ini sedikit berbeda. Perbedaannya adalah pengisi acara pada malam ketiga tanggal 21 Juni 2013 penyelenggaraan kegiatan. Jika pada malam sebelumnya pengisi acara didominasi oleh sajian budaya melayu, malam ketiga dihadirkan pengisi acara dari kebudayaan Bali. Komunitas Nak Nik Etnik memberi warna lain pada ruang pertunjukan malam itu.

Nak Nik Etnik menyajikan tiga musik garapan pada penampilannya sebagai penutup acara malam ketiga Pekanbaru Expo. Pertunjukan mereka dimulai dengan sebuah karya musik yang diberi judul Gebyar. Kemungkinan judul ini diambil dari nama perangkat gamelan yang paling populer di Bali saat ini, yaitu Gong Kebyar: instrumen yang digunakan merupakan sebagian kecil dari perangkat gamelan Gong Kebyar. Kalau boleh memperkenalkan beberapa instrumen tersebut antara lain, Jublag, Gangsa polos, Gangsa Nyangsih, Kantil Polos, Kantil Nyangsih, dan Kempluk. Selain itu juga ada dua buah gitar akustik sebagai instrumen yang turut melengkapi garapan.

Karya ‘’Gebyar’’ memang pas sengaja dimainkan sebagai pembuka Tempo yang cepat dan penuh semangat berhasil menarik perhatian penonton yang memadati area Expo di kawasan purna MTQ. Menarik, sebab tanpa sadar interval nada slendro khas Bali dihadirkan secara ‘live’ yang selama ini mungkin hanya dapat dikenali melalui media. Selain itu teknik Polos-Nyangsih atau bersahutan antara gamelan satu dengan yang lainnya makin menambah “Gebyar” pertunjukan Nak Nik Etnik. Ya... Itulah yang menjadi salah satu daya tarik gamelan Bali: pertunjukan sekaligus akrobat bunyi.

Karya kedua berjudul Janger. karya ini ditandai dengan masuknya seorang perempuan sambil menari dengan gemulai bergerak ke tengah panggung. Rupanya perempuan tadi seorang vokalis. Karya ini merupakan garapan baru terhadap lagu dolanan anak-anak yang juga berjudul Janger. Berbeda dari karya pertama, karya Janger digarap lebih ‘soft’ dengan tempo yang lambat. Tak ketinggalan pola pola permainan cecandetan yang mirip dengan teknik bersahutan dalam polos-nyangsih kembali menjadi andalan. Lagu Janger pernah digarap juga oleh gitaris I Wayan Balawan. Hanya saja gitaris yang berjuluk magic fingers ini menggarap lagu Janger dengan konsep rock.

Karya terakhir penampilan Nak Nik Etnik menggarap lagu slow rock berjudul “ ‘ada yang hilang’ band Bip. Pada garapan ini, teknik berpadu dengan teknik undur-undur atau permainan cecandetan mengisi sajian. Secara keseluruhan sajian terakhir ini memberikan kesempatan yang lebih leluasa kepada dua buah gitar akustik untuk bermain mengisi jalinan pola melodis yang dibentuk oleh gamelan. Lagu slow rock yang dibawakan menjelma menjadi rock dengan wajah yang lain: world music?

Diakui oleh komposer Nak Nik Etnik,  Ida Bagus Gede Dharma karya yang dibawakan mencoba memadukan dua unsur musik, yakni etnik dan akustik (unplugged). Teknik permainan Gamelan didapat semasa kecil di Banjar (sebutan untuk desa) di Bali. Perdaduan musik Bali dan unsur lainbukan pertama kali dilakukannya. ‘’Semasa kuliah di Surabaya pernah membentuk kelompok bersama kawan-kawan di kampus,’’ kata Gede Dharma saat latihan di Pura 20 Juni 2013.

Sebagaimana proses kreatif yang diterapkan Gede Dharma di Surabaya, karya digarap dengan gitar atau piano pada seputar akor A. Hal ini disebabkan instrumen interval nada gamelan Bali dekat dengan frekuensi akor A dalam interval nada musik barat. Namun jika disimak lebih detail, perpaduan dua instrumen ini (gitar dan gamelan) tidak sepenuhnya memainkan nada yang tepat. Sesekali terdengar nada yang agak false di antara jalinan melodi yang dimainkan. Bagi penulis, hal ini merupakan keunikan tersendiri. Kesan false tersebut memberi tanda bahwa dua unsur masing-masing memiliki kontribusi dalam pembentukan estetetika: bukan barat bukan timur, tapi keduanya. Dalam dunia gamelan, baik Jawa maupun Bali fenomena ini disebut dengan ‘blero’ atau dia nada yang tidak persis sama. Dan memang tidak akan pernah ada dua nada yang sama frekuensinya dalam satu atau dua buah instrumen. Dalam musik barat hal ini dikenal dengan istilah dissonan.

Menurut Manager Nak Nik Etnik, Putu Andy, Nak Nik Etnik berasal dari bahasa Bali anak kecil. Makna dari anak kecil adalah sesuatu yang masih baru. Maksudnya adalah kesadaran kami mengenai keberadaan kami di kota Pekanbaru. Komunitas ini dibentuk sebagai upaya untuk menjadi bagian dari Kota Pekanbaru.

Nak Nik Etnik yang personilnya antara lain: Ida Bagus Gede Dharma, Putu Andy, Gede Artha, Agung Wira, Putu Nita, Made Faramita, Badai, Gede Eben dan mahasiswa Sendratasik UIR Joserizal. Kecuali Joserizal, peraonil Nak Nik Etnik adalah umat Hindu di Pura Jagatnatha Pekanbaru ini yang mencoba berkenalan dengan publik kota Pekanbaru. Sambutan hangat publik Pekanbaru malam itu  menjadi awal yang baik bagi eksistensi komunitas Nak Nik Etnik kedepannya. ‘’Semoga masyarakat Pekanbaru dapat menerima keberadaan kami,’’ tutur Putu Andy.***

Aristofani Fahmi, penonton kesenian. Tinggal di Pekanbaru

Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Juni 2013

Pementasan Teater Rumah Sunting Sengketa Cinta: Memperkokoh Sejarah atau Memperlemah Sejarah

-- Hang Kafrawi

GAGASAN atau ide untuk sebuah pementasan teater atau lebih tepatnya untuk naskah teater, tak terbatas. Kehidupan terbentang ini, baik itu masa lalu, masa kini, ataupun masa yang akan datang, dapat dijadikan ‘bahan dasar’ naskah teater. Tentu saja imajinasi penulis (penulis naskah teater) ‘bermain’ untuk merangkai peristiwa demi peristiwa menjadi sebuah teks naskah teater. Dengan demikian, naskah teater yang ditulis berdasarkan imajinasi penulis menjadi cerita rekaan. Penulis dengan otoritas kebebasan diperbolehkan merekayasa fakta-fakta dalam menyusun cerita. Tapi bagaimanakah tanggung jawab penulis merangkai peristiwa dijadikan cerita yang didapat dari sejarah?

Hal inilah yang terasa ketika menyaksikan pementasan teater Rumah Sunting berjudul ‘’Sengketa Cinta’’, dipentaskan di Anjung Seni Idrus Tintin, 20-21 Juni 2013. Naskah yang ditulis SPN GP Ade Dharmawi ini, berangkat dari sejarah Raja Kecil (Pendiri Kerajaan Siak), terlihat ada beberapa fakta sejarah yang berbeda. Keganjilan pertama, bahwa Raja Kecil tidak pernah mengusir ayahanda Tengku Tengah, Tengku Sulaiman dan Tengku Kamariah. Malahan ayahanda Tengku Tengah ini, sebelumnya menjadi sultan di Johor setelah wafatnya Sultan Mahmud, di posisikan oleh Raja Kecil sebagai orang penting di kerajaan Johor. Namun di naskah ‘’Sangketa Cinta’’, GP Ade Dharmawi menuliskan Raja Kecil mengusir ayahanda Tengku Tengah itu.

Kedua, perjodohan antara Tengku Tengah dan Raja Kecil, digagas oleh ayahanda Tengku Tengah. Perjodohan ini merupakan bujukan ayahanda Tengku Tengah untuk meredam kemarahan Raja Kecil. Namun perjodohan ini batal disebabkan Raja Kecil lebih memilih Tengku Kamariah, adik kandung Tengku Tengah menjadi istrinya, padahal perjodohan itu telah disepakati Raja Kecil. Penolakan Raja Kecil inilah yang menjadi dendam di hati Tengku Tengah. Dalam naskah GP Ade Dharmawi tidak dipaparkan fakta ini.

Ketiga, ketika perjodohan ini dibatalkan sepihak oleh Raja Kecil, Tengku Tengah dibantu saudaranya (abang), Sultan Sulaiman, mencari dukungan untuk membalas dendam kepada Daeng Parani, Daeng Celak dan Daeng Parewa. Dalam ‘’Sengketa Cinta’’, Tengku Tengah dan Tengku Sulaiman minta bantuan ke negeri Bugis, padahal ketiga bersaudara keturunan Bugis itu berada di kawasan Riau. Mereka, ketiga bersaudara itu berada di Riau untuk membantu Raja Kecil menyerang Johor.

Pada awalnya, Raja Kecil meminta bantuan kepada ketiga bersaudara itu untuk menyerang Johor. Namun merasa belum kuat, ketiga bersaudara keturunan Bugis itu, mencari bantuan ke negeri Bugis. Kepergian ketiga bersaudara itu ke negeri sangat lama, maka Raja Kecil pun menyerang Johor tanpa ketiga bersaudara Bugis. Merasa ditinggalkan dan dikhianati Raja Kecil untuk menyerang Johor bersama-sama, ketiga bersaudara Bugis menaruh dendam yang dalam. Namun di dalam naskah ‘’Sengketa Cinta’’, GP Ade Dharmawi tidak menulis seperti demikian. Tidak terlihat ada dendam antara ketiga bersaudara Bugis dalam naskah GP. Pada naskah ‘’Sengketa Cinta’’ tokoh Bugis hanya Daeng Parani.

Kenyataan naskah teater ‘’Sengketa Cinta’’ ini memang bukan kenyataan sejarah, namun demikian seharusnya penulis menyatakan fakta tersebut di dalam naskahnya. Dengan demikian, naskah tersebut tidak ‘mengkhianati’ sejarah. Atau paling tidak, dalam hal ini,  Rumah Sunting harus mencantum buku panduan pementasan dan menjelaskan bahwa naskah ‘’Sengketa Cinta’’ diangkat dari buku sejarah mana, sehingga penonton dapat memahami dan sekaligus dapat diperbandingkan dengan buku yang pernah dibaca penonton.

Penonton ‘’Sengketa Cinta’’ yang disajikan oleh Rumah Sunting pada malam itu, dibenturkan dengan ketidakjelasan sejarah Raja Kecil. Dalam naskah ini, peran Datuk Tanah Datar mendapat porsi yang lebih, tersebab cuma tokoh ini yang dimunculkan GP Ade Dharmawi. Tokoh-tokoh lain (tokoh Melayu) tidak ada. Raja Kecil yang memiliki pengikut Melayu yang banyak dan setia, baik dari Johor, maupun dari negeri Melayu lainnya, tidak dimunculkan. Sehingga terkesan naskah ‘’Sengketa Cinta’’ menafikan pengorbanan dan pengabdian orang Melayu kepada Raja Kecil. Padahal diketahui bersama, bahwa kemenangan Raja Kecil menguasai Johor disebabkan pembesar-pembesar kerajaan Johor memihak Raja Kecil. Disebabkan ‘pembusukan’ dari dalam kerajaan Johor inilah, Raja Kecil dapat dengan mudah menguasai Johor. Pembesar-pembesar Johor yang berpihak kepada Raja Kecil yakin, bahwa Raja Kecil inilah pewaris sah Kerajaan Johor dari keturunan Sultan Mahmaud Mangkat Di Julang dengan Cik Apung.

Pementasan teater dan karya seni pada umumnya, selain sebagai sarana hiburan, yang paling penting adalah karya seni dapat dijadikan tempat ‘berpijak’ mengenali diri lebih dekat lagi. Namun harapan ini akan menjadi sia-sia seandainya pementasan teater dan karya seni pada umumnya, mencoba memperkokoh pandangan sepihak. Maka jadilah karya seni memperlemah kenyataan.

Pemanggungan Setengah-setengah
‘’Sengketa Cinta’’ yang disutradarai Kunni Masrohanti ini, terkesan setengah-setengah. Kunni memaksakan karya yang ‘belum matang’ ini dipentaskan di khalayak ramai. Kesan ini dapat ditangkap dari garapan Kunni yang tidak memikirkan kebolehan aktor, bloking yang belum sempurna, penataan panggung terkesan asal jadi dan ‘penyulaman’ plot yang kurang tergarap.
Apapun bentuk pementasan teater, di atas panggung, aktor mempunyai peranan yang sangat penting. Dari kepiawaian aktor berakting inilah cerita dibangun dan pesan naskah dapat dicerna penonton. Kunni seakan mengeyampingkan hal ini. Aktor-aktor yang ‘dipasang’ Kunni tidak mampu memunculkan aura tokoh yang diperankan.

Tokoh Raja Kecil yang menjadi pusat perhatian dalam cerita ini, tidak mampu memerankan sebagai Raja Kecil yang baik. Lemah, tidak berdaya, kesan inilah yang dapat ditangkap dari Raja Kecil dalam ‘’Sengketa Cinta’’. Padahal selama ini, dalam benak orang banyak (dari peristiwa-peristiwa sejarah yang diciptakan Raja Kecil), melekat imej perkasa, tegas, berani dan pantang menyerah dari sosok Raja Kecil. Namun dalam ‘’Sengketa Cinta’’ hal itu sirna. Tokoh yang memerankan Raja Kecil, tidak mengolah sukmanya menjadi tokoh ‘besar’ dari Raja Kecil. Vokal, gestur yang digunakan juga, jauh dari sosok Raja Kecil.

Begitu juga pemeran yang menjadi tokoh Tengku Kamariah. Pemeran ini belum jadi tokoh yang ia mainkan. Sosok Tengku Kamariah yang bisa mengubah hati Raja Kecil berpaling arah dari Tengku Tengah, tidak dimanfaatkan dengan baik. Kemanjaan, kesetiaan, memiliki aura memikat, luncah dari pemeran ini. Dialog-dialog yang diucapkan oleh pemeran ini juga, sangat datar. Tidak memperlihatkan kepintaran seorang perempuan yang diidam-idamkan oleh lelaki, seperti Raja Kecil.

Tidak jauh berbeda, aktor yang memerankan tokoh Daeng Parani, juga mengalami hal yang sama. Ia belum mampu memperlihatkan sosok orang Bugis yang perkasa. Berani berhadapan dengan siapapun. Kelemahan aktor-aktor ini disebabkan mereka tidak mengetahui bahwa seorang aktor membawa peristiwa dalam dirinya. Maksudnya, seorang aktor harus tahu bahwa tokoh yang diperankannya memiliki bermacam latar belakang, sehingga aktor harus menjadi tokoh itu secara utuh, apalagi naskah yang berangkat dari sejarah.

Pemeran tokoh Tengku Tengah (Rose), Tengku Sulaiman (Rian), Datuk Tanah Datar (Bone), Bujang Selamat (Aril) dan Inang, menjadi pengobat ‘luka’ pementasan Kunni. Pemeran-pemeran ini, dengan piawai memainkan intonasi, gestur, akting mereka masuk menjadi tokoh-tokoh yang diperankan. Memang jadi seorang aktor memerlukan proses yang lama, sehingga mereka mampu menjadi tokoh yang mereka perankan.

Kelemahan lain dari pementasan ‘’Sengketa Cinta’’ yang disutradari tokoh teater perempuan Riau ini, terletak pada logika peristiwa. Kunni, entah itu sengaja atau tidak, dengan ‘berani’ meletakkan peristiwa melipat pakaian di balairung. Sebagaimana diketahui bersama, balairung merupakan tempat musyawarah raja untuk mengambil sikap kepentingan kerajaan. Tidak mungkinlah tempat yang mulia ini dijadikan ‘ruang’ melipat pakaian. Apapun alasannya, hal ini tidak dapat dibenarkan.

Bloking pemain merupakan kelemahan Kunni berikutnya. Mengangkat naskah yang terikat oleh kovensi-konvensi teater teradisi, dalam hal ini teater bangsawan, sebagai sutradara, Kunni seharusnya juga taat akan hukum-hukum tersebut. Beberapa kali pemain membelakangi penonton sambil mengucapkan dialog-dialog penting, sehingga dialog-dialog tersebut tidak sampai kepada penonton.

Keberanian Kunni Masrohanti mementaskan ‘’Sengketa Cinta’’ memang penuh cacatnya. Walaupun demikian, sebagai penonton dan praktisi teater, saya mengucapkan salut kepada Kunni dengan Rumah Suntingnya, yang telah membentangkan karyanya. Bagaimanapun juga, berkarya lebih baik dibanding tidak berkarya. Anggaplah tulisan ini sebagai masukan untuk kita bersama dalam membangun teater di Riau ini.***

Hang Kafrawi, Ketua Jurusan Sastra Indonesia, Unilak dan Ketua Teater MATAN, serta tenaga pengajar di STSR. Selain dikenal sebagai teaterawan dan sastrawan, dia juga menjabat sebagai Ketua II DKR.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Juni 2013

[Alinea] Kerusakan Lingkungan dalam Cerpen ‘’Ucu Sam’’

-- Imelda

KABUT asap yang melanda hampir di seluruh kota dan kabupaten di Provinsi Riau tiga minggu terakhir salah bentuk parahnya kerusahan lingkungan. Tidak saja menjadi kupasan di media cetak dan elektronik, tema tentang kerusakan lingkungan sebenarnya juga sudah menjadi pusat perhatian sejumlah sastrawan dengan menuangkannya dalam bentuk cerpen, novel, puisi dan tulisan lepas lainnya.

Menarik, humanis, dan punya nilai jual adalah alasan kenapa para sastrawan Riau mau mengangkat tema tentang kerusakan lingkungan. Cerpen ‘’Ocu Sam’’ karya sastrawan Riau Marhalim Zaini dalam kumpulan cerpen Amuk Tun Teja adalah salah satu bentuk karya sastra yang sarat dengan kritik sosial.

Marhalim mampu menggugah para pembaca dengan penyajian cerita yang detail dan latar kehidupan petani desa pemilik tanah kebun di bawah ‘jajahan’ para pendatang. Ceritanya bermula dari seorang laki-laki tua berumur hampir satu abad mengalami depresi berat karena para pendatang telah membakar kebun karet miliknya. Ucu Sam namanya, tinggal seorang diri di rumah panggung reot yang beratapkan rumbia. Lelaki tua tersebut terus menghunuskan sebilah parang  panjang sambil berkeliling kampung sembari terus berjalan mengintari kampung sungai Rambai. Ucu Sam terus mengumpat dan mencaci maki para pendatang yang telah membakar habis kebun karet miliknya untuk dijadikan tanaman sawit. Ucu Sam tidak terima dengan semua kejadian itu, sampai akhirnya dia pingsan di tengah jalan dan para penduduk sungai Rambai segera menggotong tubuh renta itu ke rumahnya.

Penduduk sekitar datang berbondong-bondong melihat kejadian pagi itu. Ucu Sam terus berbicara sendiri dalam alam bawa sadarnya. Cacian serta makian terus keluar dari mulutnya. Dia tidak terima terhadap perbuatan para pendatang yang berpura-pura baik bertamu ke kampungnya. Mereka para pendatang telah merampas hak penduduk kampung dan menukarnya dengan kesengsaraan. Kedatangan mereka dengan tujuan ingin menguasai kampung yang sudah ratusan tahun dipeliharanya dengan segala keasrian yang mempesona.

Oleh sebab itu, Ucu Sam ingin membuka mata hati penduduk kampungnya agar tidak terkecoh oleh bujuk rayu pendatang yang berpura-pura baik. Ucu Sam tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya karena tidak satupun orang yang mengerti apa yang dirasakannya. Jangankan orang lain, keluarganya sendiri telah meninggalkannya.

Cerpen ‘’Ocu Sam’’ karya Marhalim Zaini, mengalir, tersaji apik, menarik dan bahasa yang menggugah. Kental dengan bahasa Melayu.

‘’Pukimak! Ini pasti ulah bule bedebah itu! Betul cakapku dulu, pasti budak-budak yang sok pandai tu telah mulai berani buat rusuh, telah berani membawa penjajah ke kampung kita ni. Tengoklah kebun karetku satu-satunya telah mereka bakar. Mereka kira aku ni bengal, tak tau menahu tentang politik kotor mereka tu. Pukimak! Mentang-mentang aku tak sekolah, mereka seenaknya nak menukar kebun karet aku tu dengan janji-janji busuk mereka tu. Oi...ke sinilah! kubabat batang leher kalian...’’! (Amuk Tun Teja, 85).

Kata Pukimak adalah sesuatu ungkapan kebencian dan kemarahan yang tidak tertahankan. Dalam cerpen ini pengarang ingin menyampaikan kesedihan dan kekecewaannya karena negeri yang sangat dicintainya itu telah dirusak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Pengarang melihat penyerobotan lahan-lahan perkebunan yang terjadi di sekitarnya. Pembakaran kebun karet dilakukan para pemilik HPH (Hak Penguasaan Hutan). Itulah yang terjadi pada kebun karet milik Ucu Sam, yang kemudian juga menimpa kebun karet Wak Loyang dan warga lainnya.

Keluguan, hingga menyebabkan pembakaran lahan di Riau dalam cerpen “Ocu Sam” merupakan gambaran masyarakat kebanyakan yang ada di banyak perkebunan di tanah air. Pengarang piawai menggambarkan peristiwa-peristiwa yang melanda negerinya dengan perantaraan tokoh utama Ucu Sam.

Novel Pasca-Orba
Kritik sosial yang bertema kerusakan lingkungan sebenarnya juga sering diangkat sastrawan Riau yang lain dalam bentuk novel. Dessy Wahyuni dalam tulisan berjudul ‘’Konflik Sosial-Lingkungan dalam Tiga Novel Karya Sastrawan Asal Riau Pasca-Orde Baru’’, menyebut nama Ediruslan Pe Amanriza (Dikalahkan Sang Sapurba, 2000), Hary B Kori’un (Nyanyi Sunyi dari Indragiri, 2004), dan Marhalim Zaini (Hikayat Kampung Mati, 2007).

Beberapa novel yang terbit pasca-Orde Baru ini telah mampu melontarkan kritik sosial-lingkungan, khususnya yang terjadi di Riau, baik secara eksplisit maupun implisit. Konflik yang digambarkan para pengarang tersebut terjadi akibat adanya perbedaan kepentingan beberapa pihak, yaitu masyarakat yang hidup di sekitar hutan, pengusaha, dan juga pemerintah, dalam pengelolaan sumber daya hutan yang ada.

Sebut saja, Dikalahkan Sang Sapurba, karya Ediruslam, secara nyata mengambil latar tempat yang pernah menjadi lokasi persengketaan lahan. Selain latar tempat, Ediruslan juga menciptakan tokoh dan peristiwa yang persis dengan karakter dan kejadian yang ada di dunia nyata. Dengan berasumsi bahwa kelahiran sastra tidak dari kekosongan sosial, maka sastrawan ini telah berhasil merefleksikan realitas sosial ke dalam karyanya.

Ketiga sastrawan ini telah secara lugas menyuguhkan kepada pembaca tentang konflik lahan yang terjadi antara masyarakat di sekitar hutan dengan pihak perusahaan yang sering berlindung di balik punggung pemerintah. Dalam novel-novel tersebut terlihat bahwa masyarakat harus terusir dari tanahnya sendiri akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan atau pabrik kayu. Namun dalam situasi seperti ini, pemerintah tetap saja berpihak pada pemilik modal.

Perusakan lahan dan hutan yang tergambar dalam cerpen “Ocu Sam” (Amuk Tun Teja) dan ketiga novel tersebut memperlihatkan betapa kritisnya para satrawan menyikapi persoalan yang ada di Provinsi Riau. Lewat tulisannya, para sastrawan menyintil, menggoda dan mengkritik orang-orang yang merusak lingkungan. Seakan mereka sadar betul, kerusakan lingkungan berakibat terjadinya kebakaran lahan/hutan, banjir dan punahnya sejumlah satwa. Parahnya lagi, kerusakan lingkungan juga berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat, sehingga timbulnya kemiskinan dan penduduk pun hidup dalam kemelaratan. Masihkah kita terus membiarkan kerusakan lingkungan? n

Imelda, Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau

Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Juni 2013

[Pustaka] Saat Sejarah dan Romansa Percintaan Berkelindan

-- Dodiek Adyttya Dwiwanto

Judul buku: Amba
Penulis: Laksmi Pamuntjak
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 2012
Tebal: 494 halaman
AMBA adalah putri seorang guru di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Dia memiliki dua adik, Ambika dan Ambalika. Melalui ayahnya, Amba belajar serat centhini, wedhatama, dan sederetan puisi-puisi Jawa lainnya. Amba yang berjiwa pemberontak memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya untuk melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada.

Sebenarnya, dia telah ditunangkan dengan lelaki pilihan orangtuanya, Salwa Munir. Namun kemudian dia malah hamil di luar nikah dengan Bhisma Rashad, seorang dokter lulusan Jerman yang bekerja di Kediri, Jawa Timur. Bhisma memiliki simpati terhadap golongan kiri.

Bhisma ditangkap di Yogyakarta dan dibuang ke Pulau Buru. Saat para semua tahanan politik dipulangkan, Bhisma memilih menetap. Amba yang telah tua terus mencari Bhisma yang telah memberi dia satu putri. Akhirnya, dia pun mengetahui alasan kenapa Bhisma tidak kembali.

Salwa, Bhisma, dan Amba adalah tokoh-tokoh pewayangan. Bhisma adalah putra Prabu Santanu dan Dewi Gangga. Dia memiliki saudara lain yaitu Chitrangada dan Wicitrawirya. Bhisma memutuskan tidak menikah sehingga Chitrangada menjadi raja, tetapi kemudian dia tewas.

Saat Wicitrawirya naik takhta dan membutuhkan kehadiran permaisuri, Bhisma mengikuti sayembara yang diselenggarakan oleh Prabu Kasi. Bhisma memenangkan dan membawa pulang Amba, Ambika, dan Ambalika. Bhisma tidak mau menikahi Amba lantaran janjinya. Amba sendiri telah menjalin kasih dengan Salwa, namun Salwa tidak mau menikahi Amba setelah kalah dari Bhisma.

Seperti kisah aslinya dalam pewayangan, Amba dalam novel Amba seolah ditakdirkan merana karena cinta. Kisah sejatinya, Bhisma Rashad malah ditangkap, dibuang, dan tidak pernah kembali.

Kisah romantika setiga antara Amba-Salwa-Bhisma ini memang indah. Cerita cinta yang berkelindan dengan sejarah kelam bangsa Indonesia yaitu Tragedi 30 September 1965. Riset yang mendalam dan bahasa yang indah menjadikan semua kisah ini seperti nyata adanya, meski ini sejatinya fiksi.

Cerita novel soal Tragedi 30 September 1965 sebenarnya bukan yang pertama dan pasti bukan yang terakhir, tetapi tidak banyak yang bertutur soal Pulau Buru, salah satunya adalah novel Kubah karya Ahmad Tohari yang berkisah soal Karman yang baru pulang dari Pulau Buru dan berupaya menjadi Muslim yang taat. n

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 Juni 2013

[Pustaka] Rindu Tanah Air, Kangen Kampung Halaman

-- Dodiek Adyttya Dwiwanto

Sekali lagi, novel berbalut kisah peristiwa kelam 1965. Satu lagi karya terbaik Leila S. Chudori setelah 9 dari Nadira.

Judul buku: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan: pertama, Desember 2012
Tebal: 464 halaman
“Rumah adalah tempat keluargamu menetap,‘ aku menyusul Dimas ke teras. Mencoba mempertahankan pendirianku tanpa menyinggungnya.

“Rumah adalah tempat di mana aku bisa merasa bisa pulang,‘ jawab Dimas. Dingin. Datar. (halaman 201).

Dimas Suryo adalah eksil. Dia tidak bisa pulang setelah pecahnya Tragedi 30 September 1965. Dia adalah jurnalis yang menghadiri sebuah pertemuan jurnalis beraliran kiri di luar negeri. Dimas Suryo pun harus berpindah negara, berganti pekerjaan, dan lainnya hingga akhirnya tiba di Prancis.

Bersama sejumlah rekannya yang juga tidak bisa pulang lantaran bakal ditangkap oleh rezim Orde Baru, Dimas mendirikan restoran di Paris. Kisah hidupnya pun berlanjut dengan berjumpa perempuan Prancis, Vivienne Deveraux. Tidak lama berselang, dia ikut menyaksikan peristiwa besar lainnnya pada Mei 1968 di Prancis.

Kelak, putri Dimas dengan Vivienne, Lintang Utara juga menjadi saksi peristiwa besar lainnya, Mei 1998 saat Indonesia dilanda kerusuhan besar tidak lama setelah lengsernya Presiden Soeharto. Lintang berjumpa dengan Segara Alam, putra dari Hananto Prawiro dan Surti Anandari. Hananto adalah senior Dimas, sementara Surti pernah dicintai oleh Dimas, namun kemudian dinikahi oleh Hananto.

Dimas dan sejumlah eksil lainnya tidak dapat pulang meskipun banyak dari mereka bukan golongan kiri atau komunis. Mereka merasa bersalah lantaran sejumlah rekan atau keluarga mengalami perlakuan buruk dari aparat pemerintah.

Surti harus menjalani interogasi, Hananto akhirnya tertangkap dan dieksekusi, sedangkan ketiga putra putri mereka mengalami kisah kehidupan getir sejak belia. Sesekali, Dimas membantu Surti, masih ada cinta terpendam meski terkendala segalanya.

Sementara keluarga Dimas dan para eksil lainnya yang tinggal di tanah air juga mengalami hal yang tidak mengenakkan. Mereka dicap bagian dari golongan kiri. Ada yang berupaya menyembunyikan sejarah keluarganya, ada yang doyan berantem lantaran selalu diejek, ada yang bisa menerima, ada yang harus menjadi bulan-bulanan, dan lainnya.

Lintang yang kembali lagi ke Indonesia untuk membuat tugas akhir kuliahnya mendapati banyak hal. Dia berupaya menguak lagi pengalaman buruk para korban tragedi berdarah itu, plus mendapatkan hal lain soal kisah kasih ayahnya dengan Surti.

Inilah sisi lain dari Tragedi 30 September yang kadang terlupa dan dilupakan, soal orang-orang yang terbuang dari tanah air dan tidak bisa pulang. Atau soal orang-orang yang tidak punya kaitan apa-apa dengan tragedi itu dan hanya punya hubungan dengan para pelaku, tetapi malah mendapatkan dosa turunan dan cap buruk hingga berpuluh-puluh tahun lamanya. Mereka tidak punya tanah air bagi eksil, sementara yang masih di sini berupaya menyembunyikan jejaknya agar bisa berbaur dengan masyarakat.

Tragedi 30 September 1965 memang masih menjadi “topik seksi‘ untuk dijadikan karya sastra terutama novel. Tapol (Ngarto Februana), Jentera Lepas (Ashadi Siregar), Kubah (Ahmad Tohari), Mencoba Tidak Menyerah (Yudhistira ANM Massardi), Para Priyayi & Jalan Menikung (Umar Kayam), hingga 65 & Blues Merbabu (Gitanyali) serta Amba (Laksmi Pamuntjak) menjadi sederetan novel yang menjadikan tragedi ini sebagai bagian dari kisahnya.

Pulang menjadi karya terbaru Leila S. Chudori setelah kumpulan cerita pendeknya 9 dari Nadira. Dua karya yang terbilang bagus. Pulang menjadi sebuah karya yang komplet dengan berkisah kemanusiaan, tidak hanya melulu berkisah soal cinta, keluarga, atau politik. Pulang mengungkapkan manusia-manusia yang tersingkir karena hanya peristiwa politik.   n

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 Juni 2013

[Hobi & Komunitas] Membudayakan Baca Buku Sedini Mungkin (Komunitas 1001 Buku)

-- Vien Dimyati

Ingin memberikan akses kepada anak Indonesia untuk membaca buku sepuasnya. Sudah menyebarkan 500 ribu buku ke seluruh Indonesia.

Jika saat ini minat anak Indonesia dikatakan sangat minim dalam membaca buku, tanggapan itu adalah salah. Minimnya anak Indonesia dalam membaca buku dikarenakan minimnya akses anak-anak Indonesia terhadap buku-buku bacaan, terutama buku bacaan ‘ringan‘ atau buku bacaan yang mudah dimengerti oleh anak.

Untuk menjadi negara maju dan beradab membutuhkan banyak intelektual mapan. Agar bisa mencapai hal tersebut, tentu dibutuhkan anak-anak bangsa yang rajin membaca buku-buku. Minimnya akses bagi anak-anak membaca buku di Indonesia membuat Komunitas 1001 buku berusaha memberikan akses bacaan seluas-luasnya.

Ketua Yayasan dan Komunitas 1001buku, Dwi Andayani menjelaskan, komunitas 1001buku memliki visi ke arah pemerataan literasi di antara anak Indonesia. Meski ia sering dengar orang bilang, “Anak Indonesia malas membaca‘, Dwi menyatakan Itu tidak benar. Mereka hanya kekurangan akses untuk bahan bacaan. Maka, 1001buku punya misi memberi akses bacaan sebanyak-banyaknya buat anak Indonesia.

Seperti diketahui, selama ini bangsa Indonesia masih termasuk negara dengan minat baca yang sangat minim. Masyarakat Indonesia lebih suka mencari informasi lewat televisi dan radio ketimbang buku atau media baca lainnya. Laporan bank Dunia no.16369-IND (Education in Indonesia from Crisis to Recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0).

Data Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukan bahwa penduduk Indonesia yang menjadikan baca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5 persen. Sedangkan yang menonton televisi 85,9 persen dan mendengarkan radio 40,3 persen.

Yang lebih menyedihkan, dari penelitian yang dilakukan Center for Social Marketing (CSM) tahun 2006, perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, Indonesia mendapat poin nol. Perbandingannya, di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku.

Pada Tahun 2011 berdasarkan survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau badan Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan bahwa rendahnya minat baca di Indonesia sangat buruk, yakni 0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi).

Tahun 2012, Indonesia berada pada posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk di dalamnya kebutuhan pendidikan, kesehatan dan melek huruf. Indonesia sebagai negara berpenduduk 165,7 juta jiwa lebih, hanya memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Itu artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang. By the way pada 2013 ini, penduduk Indonesia sudah mencapai 250 juta jiwa.

Minimnya minat baca ini menjadi keperihatinan mendalam, ditambah lagi buku bacaan mereka tidak sarat dengan pengetahuan. Artinya, dari jumlah hasil penelitian terhadap minat baca masyarakat Indonesia yang sangat minim itu, buku-buku yang dibaca itu pun tidak sarat dengan pengetahuan.

Berangkat dari keprihatinan atas keterbatasan anak-anak membaca buku tersebut, 1001buku membuat gerakan mengumpulkan bahan bacaan anak dari masyarakat, untuk didistribusikan ke taman-taman bacaan swadaya masyarakat yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

1001buku sendiri adalah organisasi relawan dan pengelola perpustakaan anak yang secara aktif membuka akses pendidikan anak-anak melalui taman baca anak (TBA) independen dan nirlaba. Melalui TBA, anak-anak tak hanya dapat mengakses bacaan berkualitas, tapi juga pendidikan yang membangun karakter.

1001buku dirintis sejak Mei 2002 dan diresmikan pada tanggal 10 Januari 2003. Hingga saat ini, lebih dari 50 relawan aktif 1001buku telah mengumpulkan dan mendistribusikan lebih dari 500.000 buku ke 309 TBA. Untuk itu, 1001buku terus berusaha mendukung keberlangsungan TBA dengan mengadakan pelatihan-pelatihan, seperti yang digelar pada 20-21 April 2013 lalu. Dalam workshop ini, para pengelola TBA belajar bersama bagaimana mengelola TBA secara profesional, mencari dukungan dana, sekaligus menjadikan TBA sebagai agen perubahan.

Bahkan, tahun ini, untuk pertama kalinya, 1001buku bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengampanyekan gerakan antikorupsi pada anak-anak, melalui sosialisasi kepada para pengelola TBA. “Kami menemukan kesamaan visi 1001buku dengan KPK yang ingin menumbuhkan karakter anak yang berani berkata jujur,‘ kata Dwi Andayani. n

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 Juni 2013

Saturday, June 29, 2013

Jepang dari Syibumi, Tsunami, dan Teks Sastra

-- Tjahjono Widijanto

JEPANG adalah sebuah dunia yang penuh paradoksal. Di Jepang, teknologi yang demikan canggih bersilang sengkarut dengan kesemestaan, dimana mesin bersanding mesra dengan laut dan danau. Nun di sana pula kekerasan dan kelembutan berkelindan, kesunyian dan keramian dapat bersintesa, alam suatu saat dapat dikendalikan teknolgi sekaligus kesadaran persatuan manusia dengan alam yang tak kikis oleh zaman. Di Jepang wujud keindahan tertinggi adalah syibumi, sesuatu yang menyimpan amanat alam yakni kesejatian sifat alam itu sendiri. Syibumi menjadi citra keindahan tertinggi.

    Syibumi dalam usia paling tua terejawantah dalam haiku pusi klasik Jepang yang terdiri atas tujuh belas suku kata dengan susunan baris pertama lima suku kata, baris kedua tujuh suku kata dan baris ketiga lima suku kata. Dengan bentuknya yang alit ini, penyair-penyair klasik Jepang seakan-akan menghadirkan misteri alam yang sederhana namun juga dalam tak terduga. Dalam haiku seperti halnya kesejatian alam tidak ada tempat bagi permainan retorika dan pemuatan beban pesan dan filsafat dalam sebuah puisi. Dalam bentuknya yang serba alit itu, alam dijunjung dalam tempat yang begitu terhormat yang sekaligus dapat menyampaikan dimensi emosional yang melampui batas rasional.

    Haiku merupakan eskpresi dari ajaran Zen yang mengajarkan kesederhananaan. Ajaran Zen ini.berawal dari ndia melalui Cina dan masuk ke Jepang sejak abad XII dalam periode Kamakura dan hingga kini mengambil tempat penting dalam kepercayaan masyarakat Jepang.

    Zen adalah cara memandang sebuah keberadaan atau hakekat diri seseorang yang membebaskan diri dari keterkungkungan. Kehadiran Zen ini dijelaskan dalam syair klasik dari masa dinasti Tang di Cina sebagai "sebuah warisan di luar kitab-kitab suci/ tidak bergantung pada aksara dan kata-kata/ langsung mengarah pada pikiran/ tentang hakekat diri sendiri dan menyadari ke-Budhaan. Hubungan manusia dengan alam dalam Zen di Jepang dungkpkan oleh D. T Suzuki (1956) sebagai jika manusia sementara memisahkan dirinya dari alam, dia tetap tergantung dan menjadi bagian dari alam karena merupakan simbol pemisahan itu sendiri menunjukan ketergantungannya pada alam. Alam menghasilkan manusia di luar dan di dalam dirinya namun manusia melihat alam demi dirinya sendiri karena itu sebenarnya tidak ada pemberintakan bagi mereka. Kedekatan dengan alam ini juga memberikan kecenderungan yang kuat untuk membuat symbol dan cara berpikir dengan symbol, sesuai dengan Zen yang mengatakan "Zen tidak bergantung pada kata-kata dan aksara". Begitu substansialnya alam bagi Jepang juga nampak dengan konsep pergantian waktu atau perayaan akhir tahun.

    Temuan dari Dr. Masoa Oka seorang ahli etnografi menyebutkan bahwa dalam masyarakat tradisi Jepang yang lebih tua sebelum masuknya Zen sudah begitu menghormati alam dan diwjudkan pada perayaan ritual yang disebut tama. Tama merupakan substansi spiritual yang ditemukan pada manusia, di dalam roh orang mati dan di dalam orang suci yang ketika musim gugur akan berganti dengan musim semi bergerak dan berusaha meninggalkan jasad.

    Peralihan musim dari musim gugur ke musim semi ini merupakan symbol reaktualisasi chaos menuju kosmos, keruskan menuju keteraturan. Tama merupakan penanda tidak dapat dihindarinya kekacauan yang harus diakhiri pada satu epos historis tertentu dalam rangka pembaharuan dan regenerasi, memulai kembali sejarah pada awalnya.

    Kesadaran sekaligus kekaguman dan penghayatan pada alam ini pada gilirannya melahirkan mentalitas manusia Jepang yang setia, loyal, ulet, tabah, tegar dan cenderung tenang.

    Di dalam teks-teks sastra Jepang terekam bagaimana keuletan, ketabahan, ketegaran dan ketenangan ini bersanding dengan kesendirian dan kesunyian.

    Di dalam teks-teks sastra Jepang dimulai dari haiku hingga novel-novel seperti Shiosai (senandung Ombak) karya Yukio Mishama, keindahan dan Kepiluan kaeya Yasunari Kawabata, Sunkinsho (Wajah Sunkin) karya Tazaki Junichiro hingga novel Jeritan Lirih karya Kenzaburo Oe semua menunjukan kesendirian, kesunyian dan bicara adalah satu.

    Kesendirian dan kesunyian adalah manifestasi alam yang dapat menumbuhkan kehendak yang kuat dan pantang menyerah, karena itu pula symbol-simbol dalam haiku dan novel-novel Jepang sarat dengan symbol yang bernuansa kesendirian dalam konsep Zen seperti burung hotogitsu, kuil, ranting kering,dan musim gugur Majas dalam haiku juga bertema kesendirian seperti majas chokuyu (simile), inyu (metafora) dan gijinho.

    Dari karya-karya sastra Jepang ini nampak kecenderungan cara berpikir intuitif dalam menyikapi alam beserta segala gejalanya. Bagi masyarakat Jepang segala kejadian sudah menjadi kehendak alam sehingga mereka mengalaminya dengan intuisi kebenaran, pengalaman adalah kenyataan itu sendiri. Dalam Zen itu dilukiskan dengan kalimat penuh metaphor "bambu-bambu itu lurus dan cemara bercabang-cabang".

    Dengan konsep itu gambaran sosok manusia Jepang selalu tampil dengan ketenangan, ketabahan dan ketegaran meski menyimpan konflik-konflik di dalam dirinya.

    Hal ini pula yang nampak pada realitas nyata saat mereka diterjang tsunami berapa waktu lalu, mereka tetap cenderung tenang, tabah, dan tegar seperti danau di tengah hutan, seperti temaram puncak gunung di gugusan salju, seperti bayangan kuil tercermin di kilau sungai, seperti musim gugur yang selalu berganti musim semi. n

Tjahjono Widijanto, penyair dan esais, tinggal di Ngawi, Jawa Timur.
   
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 29 Juni 2013

Sunday, June 23, 2013

Narasi Celana

-- Riza Multazam Luthfy

Celana menyimpan berbagai narasi. Dari yang sederhana hingga paling luks sekalipun. Narasi-narasi tersebut melekat seiring dengan laju perjalanan kehidupan manusia yang semakin kencang.

DAHULU kala, penggunaan celana ditengok dari satu sudut pandang saja, yaitu berdasarkan fungsi. Siapapun yang memakai celana pada umumnya bertujuan untuk menutupi alat vital dari penglihatan orang lain. Celana juga dimanfaatkan untuk menghindarkan tubuh dari kebekuan saat musim dingin tiba. Berbakal kain atau bahan baku lainnya, celana dipercaya mampu mengusir bengalnya kedinginan dan menghadirkan bulir-bulir kehangatan.

Namun demikian, menggelindingnya roda waktu nyatanya menunjukkan kegunaan celana kian beragam. Celana tidak lagi melulu sebagai pelindung tubuh. Lebih dari itu, celana telah dilegitimasi menjadi simbol kebebasan hingga medium pemberontakan budaya.

Pasca berakhirnya perang di Eropa, orang-orang muda—terutama mahasiswa—merayakan dengan beramai-ramai memakai celana. Barang tentu bukan semua jenis celana yang bisa digunakan. Entah atas dasar apa akhirnya jeans menjadi satu-satunya alternatif yang telak guna mewakili kondisi batin mereka. Pada waktu itu, celana jeans tak ubahnya lambang kebebasan, yang berhasrat meninggalkan segala keterkungkungan menuju bilik kemerdekaan. 

Mengenai celana jeans ini juga, Tia Meutiawati (2007) mencatat bahwa pada 1950-an kerap ditemukan fenomena gerombolan pemuda Jerman memakai celana jeans ketat, sebagai suatu cara Halbstarke—julukan bagi penggandrung musik Rock’n Roll—menggelar aksi dalam rangka menentang standar kehidupan masyarakat tradisional. Pemberontakan kaum muda melawan generasi tua merupakan di antara proses seseorang tumbuh menjadi dewasa. Pertentangan ini di belahan dunia barat mendapat dimensi baru, karena untuk pertama kalinya timbul kebudayaan anak muda yang tidak bergantung pada kebudayaan orang tua, bahkan cenderung melepaskan diri dari cengkeramannya.

Celana juga pernah menjadi penunjuk penting dalam mengidentifikasi identitas agama seseorang. Hanya dengan memakai celana, bisa diketahui bahwa seseorang menganut agama tertentu. Misalnya, ketika bendera VOC masih berkibar di bumi pertiwi, celana merupakan penanda yang pasti mengenai agama para tuan tanah asing. Dengan menjunjung tinggi egosentrisme, Belanda bernafsu untuk senantiasa mempertahankan busana Eropa. Oleh dasar itu, hanya orang-orang pribumi pengikut Kristiani-lah yang diperbolehkan mengenakan pakaian bercorak Eropa di daerah-daerah, tentunya dengan pengawasan VOC. Tak ayal, celana dijadikan sebagai pembeda orang-orang ini dari orang-orang lainnya di Batavia, yang berkewajiban untuk setia pada pakaian tradisional serta tutup kepala mereka. Orang-orang Indonesia non-Kristiani dilarang berpakaian layaknya orang Eropa. (Henk Schulte Nordholt [ed.], terj. M. Imam Aziz, 2005: 66)

‘Melawan’ dengan Celana Dalam

Sejarah berceloteh bahwa ikhtiar perjuangan kaum Hawa dalam menuntut persamaan derajat dengan kaum Adam enggan surut. Mereka merasa tidak puas, jika hanya mempermasalahkan posisi suami dalam keluarga—yang leluasa ‘keluyuran’ di luar rumah, sedangkan istri berdiam diri di kamar, bersolek, mengurus anak, dan menyiapkan hidangan untuk makan. Lebih dari itu, mereka juga mendesak agar cara pandang dan penetapan standar masyarakat mengenai busana diadakan perombakan. 

Menggelar aksi perlawanan luar biasa, kaum wanita berjuang untuk mengantongi persamaan dengan kaum pria dalam hal berbusana. Akhirnya pada tahun 1960-an apa yang mereka lakukan membuahkan hasil; celana menjadi bagian dari pakaian wanita, meskipun hanya boleh dikenakan sebagai pakaian dalam. Setelah perjuangan mereka yang tak kenal lelah, pada tahun 1970-an peraturan-peraturan serta tolok ukur masyarakat mengenai busana lambat laun berubah. Celana dengan modelnya yang bervariasi telah diakui sebagai bagian dari busana wanita, baik untuk perlengkapan casual (santai) maupun formal.

Di Indonesia, saat kasus perkosaan sedang marak, Pita Venus—celana dalam anti perkosaan—menjadi peranti jitu bagi para wanita dalam menolak kesewenangan pria yang ingin menikmati tubuh mereka. Produk celana dalam ini menjadi pilihan tepat agar virginitas wanita tetap dipertahankan dan gangguan mental sebab ulah kurang senonoh pria hidung belang bisa dihindarkan.

Demikianlah, celana dalam menjadi salah satu sarana penting bagi kaum wanita untuk mengekspresikan gejolak batin dan perlawanan terhadap kultur patriarkis yang sukar bergeser. Dengan mengenakannya, mereka berharap agar posisi kaum pria tidak selamanya bertengger di atas serta penjajahan atas ruang pribadi wanita semakin berkurang.

Menyuguhkan Ilham

Meskipun terkesan remeh, fakta berkoar bahwa dalam celana terkandung kekuatan besar yang tak boleh dipandang sebelah mata. Itulah mengapa, bagi para sastrawan, sering kali celana menjadi pemantik bagi lahirnya sejumlah karya sastra yang bernas sekaligus orisinal. Sebutlah Joko Pinurbo (Jokpin), yang rajin menjemur celana pada puisi-puisinya. Begitu cintanya pada celana, sampai-sampai himpunan puisinya pun bertajuk Celana (Indonesia Tera, 1999), yang juga memuat puisi tentang celana, di antaranya: Lalu ia ngacir/ tanpa celana/ dan berkelana/ mencari kubur ibunya/ hanya untuk menanyakan,/ “ibu, kausimpan dimana celana lucu/ yang kupakai waktu bayi dulu?”// (Celana, 1).  

Berbekal celana, Jokpin menganggit puisi-puisi humor dengan menawarkan metafora-metafora baru dan menyegarkan. Bermodal alur bahasa sederhana serta balutan kalimat yang mudah dipahami, puisi Jokpin bersikeras menyelipkan pesan yang kuat dan melanting kritik sosial yang pedas dan menukik. Dalam gurauannya tersemat filosofi mendalam tentang kehidupan. Hal ini mengantarkan puisi-puisinya memungut label nakal sekaligus cerdas, bukan sekadar puisi mbeling yang dangkal dan asal-asalan. Tak heran, jika oleh para kritikus sastra, usahanya yang gigih tersebut dinilai sanggup mengadakan pembaruan pada puisi Indonesia. Walhasil, atas berkah celana, Jokpin pun menerima beberapa penghargaan bergengsi, seperti Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2005 dan buku terbaik pilihan Tempo tahun 2012.

Adalah celana dalam, yang mengilhami David Beckham untuk mengukuhkan ikatan persahabatan. Betapa tidak! Sebagai tanda persahabatan, pesebak bola tersohor yang gemar mendermakan kekayaannya tersebut pernah menghadiahkan 50 pasang celana dalam kepada Presiden Amerika Serikat Barack Obama.

Di luar dugaan, ternyata Ibu Negara Michelle Obama mengungkapkan bahwa suaminya sangat senang memakai celana dalam pemberian Beckham. Hal yang barangkali berbanding terbalik apabila suatu hari presiden Indonesia mendapat kiriman berupa bingkisan celana dalam dari seorang warga. Pastilah celana dalam tersebut diyakini selaku markah penghinaan!

Riza Multazam Luthfy, sastrawan, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Juni 2013

[Buku] Pujangga Sepanjang Masa

Data buku
Baju Bulan
Joko Pinurbo
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2013
82 hlm
JOKO Pinurbo (Jokpin) mengakui bahwa penerbitan buku puisi Celana (1999) menandai masa belajar menulis puisi selama 20 tahun. Pujangga memang hidup bersama kata, berperistiwa dan mengolah makna. Jokpin tak jemu, enggan minggat dari “rumah kata”. Masa belajar menulis puisi pun bertambah, terbukti dengan penerbitan buku puisi berjudul Baju Bulan (2013). Pujangga bertubuh kurus itu tak mengenal tamat. Berpuisi adalah peribadatan sepanjang masa, sampai tubuh menjadi fana.
Kegandrungan berpuisi pernah dijelaskan Jokpin melalui puisi pendek, berjudul Puisi Telah Memilihku (2007). Pujangga itu mengakui: Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi/ di antara baris-barisnya yang terang./ Dimintanya aku tetap redup dan remang. Puisi ini cuma ingatan, keterpilihan Joko Pinurbo sebagai penggembala kata. Jokpin tak melulu “redup” dan “remang”. Ketelatenan menulis puisi, mempersembahkan pada pembaca telah memberi “terang” etos kapujanggan. Jokpin  membuktikan diri, berjalan tanpa lelah, menggembala puisi melintasi waktu demi waktu sampai diri menua.

Buku Baju Bulan merupakan kumpulan 60 puisi, terpilih di rentang waktu 1991-2012. Pembatasan waktu penulisan-publikasi dan jumlah puisi seolah mengandung nalar-selektif. Pembaca dipersilakan menikmati puisi tanpa keutuhan mengacu episode-episode di masa silam. Kita tak bakal menemukan puisi-puisi wagu dan lugu dari masa 1980-an, episode Jokpin menempatkan diri di deretan pujangga Indonesia dan “merumuskan” bentuk-greget berpuisi. Pembatasan waktu lumrah dijadikan dalil jika berkaitan kepatutan dan keterikatan.

Penerbit memberi penjelasan bahwa mereka memilih 60 dari ratusan puisi Jokpin. Buku Baju Bulan diniatkan sebagai sejenis album puisi terpilih. Penggunaan kata terpilih tentu berterima ketimbang terbaik. Godaan dari penerbit: “Melalui buku ini kita dapat melihat semacam ikhtisar perpuisian Jokpin.” Ikhtisar berati ringkasan, tak utuh. Kita jadi merasa ada “kehilangan” atas pengenalan puisi-puisi Jokpin. Ikhtisar memang tak utuh, menghadirkan puisi-puisi pilihan saja dengan kriteria-kriteria. Pembaca cuma menerima 60 puisi sebagai representasi kerja puisi Jokpin.

Kita tentu lekas mendapati puisi-puisi moncer gubahan Jokpin. Puisi berjudul Celana pasti ada. Puisi ini sah sebagai puisi sepanjang masa. Puisi Celana berulang dimuat di buku-buku Jokpin, puisi khas untuk menobatkan Jokpin sebagai “pujangga celana”. Pembaca seolah menganggap puisi itu adalah cap resmi bagi Jokpin. Puisi terkenal sering mudah dihapal: Lalu ia ngacir/ tanpa celana/ dan berkelana/ mencari kubur ibunya. Puisi ini bakal tercatat dalam deretan puisi abadi di Indonesia. Melani Budianta (1999) justru berceloteh bahwa puisi Celana bisa merangsang pembaca menggandrungi sastra.

Jokpin termasuk pujangga tenar. Buku-buku puisi Jokpin merupakan persembahan unik, hadir dengan pengakuan-pengakuan fantastis. Buku-buku puisi Jokpin sering mendapat anugerah-penghargaan. Kita perlu mengingat masa lalu saat Jokpin merasa rikuh untuk mempersembahkan buku puisi. Buku puisi Celana (1999) memuat keterangan Jokpin: gelisah dan sungkan. Dalil menerbitkan buku puisi sering merujuk ke keseragaman tema atau gaya. Jokpin memilih kualitas, kepantasan puisi untuk dikumpulkan dalam buku. Pengakuan di masa lalu itu lekas berubah. Buku-buku puisi Jokpin justru rajin mengundang pembaca mengalami gairah sastra. Kita mendapati 9 buku puisi: Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja (2005), Kepada Cium (2007), Tahilalat (2012).

Kita perlu menagih pengakuan terbaru dari Jokpin, membandingkan dengan pengakuan di masa lalu. Jokpin belum lelah berpuisi. Gelisah dan sungkan telah berubah menjadi ketekunan mempersembahkan buku ke pembaca. Kita bisa menduga bahwa Jokpin telah menunaikan misi berpuisi sampai mati. Buku-buku itu menandai etos pujangga, amalan berpuisi tanpa kejemuan, lelah, keputuasasaan. Buku Baju Bulan mengingatkan kita atas keputusan Jokpin mengabdi di jagat puisi, menulis sejak puluhan tahun silam. Tindakan menulis puisi memang mirip peribadatan.

Jokpin selalu menggembala kata, berpuisi. Kita patut mengutip larik-larik terakhir di puisi Sudah Saatnya (2003). Jokpin menulis: Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi birahi/ supaya tetap bertunas kembali,/ supaya tumbuh dan berbuah lagi. Kata-kata mesti dihidupi, digandrungi, digembalakan untuk menjelma puisi. Jokpin pun beranggapan bahwa kata-kata bakal bisa disajikan sebagai puisi dengan ketekunan. Gairah berpuisi menghendaki iman. Jokpin beriman, mewartakan diri dan dunia melalui puisi.

Ingatan atas keimanan berpuisi hadir di puisi berjudul Pesan dari Ayah (2005). Jokpin menaruh memori di puisi, adegan menulis puisi di bawah pohon sawo. Jokpin menulis: … di bawah pohon sawo itu/ puisi pertamaku lahir. Di sana aku belajar menulis/ hingga jauh malam sampai tertidur kedinginan. Jokpin (Koran Tempo, 3 Juni 2007) mengungkapkan bahwa menulis puisi membutuhkan tempat kondusif. Tempat itu adalah di bawah pohon sawo kecik. Jokpin di bawah pohon sawo sering melakukan permenungan dan pengendapan ide.

Buku Baju Bulan memang album puisi pilihan, suguhan puisi-puisi menuruti pembatasan waktu dan kriteria. Kita bisa menikmati puisi-puisi impresif. Pembaca mungkin ingin melewati batas waktu, menengok puisi-puisi lawas Jokpin: wagu dan lugu. Usia Jokpin terus menua, puisi terus ada. Jokpin masih menggembala kata, berpuisi untuk peribadatan. Begitu.

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Juni 2013

[Tifa] Kala Cinta Terbenam Keangkuhan Tatanan Sosial

"WAYAN... Wayan... si tua itu tak pernah kelihatan kalau sedang dibutuhkan," teriak Gusti Biang (Ninik L Karim), seorang perempuan tua, memanggil Wayan (Irianto), pembantunya.

TEATER MANDIRI: Seniman dari Teater Mandiri mementaskan "Bila Malam
Bertambah Malam" karya Putu Wijaya pada gladi bersih di Teater
Salihara, Jakarta Selatan, Kamis (20/6) malam. Pertunjukan itu
bercerita tentang cinta remaja yang bahagia dan cinta tua bangka yang
terpendam dengan latar perbedaan kasta di Bali, diselenggarakan pada 21-
22 Juni. (ANTARA/Aldino Anatusa)
Adegan itu membuka lakon satu babak Teater Mandiri berjudul Bila Malam Bertambah Malam. Pementasan yang disutradarai Putu Wijaya itu bertutur tentang cinta yang bersemi di antara dua manusia terbentur dengan keangkuhan tatanan sosial di Bali.

Ratu Ngurah (Arswendy Nasution) dari kasta tertinggi di Bali jatuh hati dengan Nyoman Niti (Fien Herman) yang berkasta Sudra. Keangkuhan tatanan sosial itu tergambarkan dalam sosok Gusti Biang yang merupakan Ibu Ngurah.

Pementasan yang digelar di Teater Salihara pada 21-22 Juni itu diangkat dari novel Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya yang ditulis 49 tahun lalu.

Lakon Biang digambarkan Putu sebagai bangsawan tua sisa-sisa feodalisme yang hidup di masyarakat Bali ketika zaman kemerdekaan RI. Biang masih ingin mempertahankan tatanan lama yang menjerat manusia berdasarkan kasta dan status sosial.

Guncangan pun tak terhindarkan akibat perbenturan nilai lama yang akan melapuk dengan mekarnya nilai-nilai baru. Biang tak siap menerima kenyataan bahwa dunia sudah berubah. "Bahwa dunia sudah berubah, orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi," kata Wayan dalam satu adegan.

Ngurah bukannya tidak menyadari tabiat sang ibu. Ia terpaksa memendam lama bunga cintanya kepada Nyoman, pembantu yang sudah 10 tahun mengabdi di keluarganya. Dalam cerita ini, seluruh percikan konflik bersumber dari Biang yang diperankan dengan apik oleh Ninik.

Penonton terhanyut dengan karakter keras kepala, egois, serakah, angkuh, kikir, munafik, dan kejam. Seluruh sifat jahat manusia tercampur di dalam sosok Biang. Diam-diam, Biang juga menyembunyikan aib besar di balik kemasyhuran nama besar keluarganya. Cerita berakhir bahagia bagi semua.

Serbaminimalis Sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, Putu Wijaya berhasil membuat alur terasa hidup dengan percikan konflik yang sangat sederhana. Tata panggung yang serbaminimalis, hanya dua meja, satu kursi, dan sebuah foto I Gusti Ngurah Ketut, suami Biang, mampu ditutupi dengan akting brilian para pelakon. Lewat peran psikologi, setiap karakter digambarkan dan digali secara nyata dengan dialog yang singkat tapi terasa hidup.

Putra Bali ini hendak menunjukkan realitas bahwa manusia kerap membenam kebenaran demi menjaga apa yang diyakini sebagai harmoni. Topeng demi topeng saling bertukar untuk menutupi kebohongan dengan kebohongan lainnya. Lewat tokoh Biang, ia menyindir sikap diskriminasi yang masih tumbuh subur di masyarakat. Mulai dari pengusiran kelompok Syiah Sampang, Ahmadiyah, hingga sengketa Gereja Yasmin.

"Bila Malam Bertambah Malam relevan dengan kondisi sekarang. Kondisi yang membutuhkan perubahan hingga tercapai Indonesia tanpa diskriminasi," tegasnya. (Pol/M-2) 

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 23 Juni 2013

[Tifa] Memainkan Jemari tanpa Ruang Penyekat

-- Iwan Kurniawan

Tatang menghadirkan motif multitafsir lewat karya-karyanya. Ada kritikan terhadap keserakahan koruptor lewat goresan dan garis di atas kanvas.

Seniman lukis Tatang Ramadhan Bougie.
WANGI cat basah masih tercium di hidung. Tumpukan kuas hingga kanvas sengaja dibiarkan tergeletak di atas meja. Sejenak pelukis Tatang Ramadhan Bouqie melangkah perlahan seraya menunjukkan setumpuk karya yang baru ia selesaikan dalam beberapa hari sebelumnya.

"Maaf, sedikit berantakan. Silakan santai saja di sini," ujarnya ramah seraya mempersilakan Media Indonesia masuk ke rumahnya di bilangan Pulomas, Jakarta Timur, awal pekan ini.

Tatang memang sedang sibuk saat kami bertandang. Maklum, ia baru saja mengirimkan karya-karyanya untuk dipamerkan pada pameran bersama bertajuk Picturing Pictures di Ho Chi Minh City (HCMC) Fine Arts Museum, Vietnam, 19-29 Juni mendatang.

Pameran itu menyuguhkan 26 karya yang dihadirkan 21 seniman kontemporer Indonesia. Salah satunya ialah Tatang. Ia menghadirkan karya terbarunya Hunter Clow.

Dalam karya Tatang yang terdiri dari empat panel itu, ia menghadirkan para badut yang seolah-olah sedang berpesta. Pada panel empat, misalnya, terdapat tulisan 'We Must Find Mr Hitchcok!'.

Hal itu seakan mengingatkan kita pada beberapa buron yang lari ke luar negeri dan tak pernah kembali ke Tanah Air. Tatang seakan mau mengingatkan kepada negara untuk tak melupakan beberapa kasus yang sudah lama berakar dan belum diselesaikan.

Direktur HCMC Fine Arts Museum Ma Thanh Cao seperti disitat Vietnamcolors.net menilai pameran tersebut mengatakan lukisan khas tradisional Indonesia dan Vietnam memiliki kesamaan. "Corak budaya yang ada terlihat ada kesamaan karena Indonesia dan Vietnam memiliki latar belakang budaya yang cukup mirip," paparnya.

Pameran tersebut merupakan sebuah kesempatan bagi pelukis Indonesia untuk memamerkan karya sekaligus melihat dan berjumpa dengan pelukis Vietnam. Mereka pun dapat bertukar pengalaman dan berbagi informasi tentang negara masing-masing.

Filosofi

Selain karya Hunter Clow yang ia kirimkan ke pameran tersebut, sebenarnya Tatang tetap berkarya dalam waktu senggangnya. Sederet karya-karya yang sudah selesai ia kerjakan hanya ditumpuk di sebuah kamar khusus hingga di ruangan tamu rumah pribadinya.

"Setiap objek selalu memiliki makna yang berbeda-beda pula. Saya selalu simpan saja di rumah. Bila ada yang suka, saya akan lepaskan. Terpenting, orang yang mau lukisan saya harus bahagia," papar alumnus Fakultas Seni dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat (1980) ini.

Saat mencermati sederet karya yang disimpan di ruang tamu, misalnya, penuh dengan unsur kritikan kepada penguasa. Tengok saja Syair yang Dibocorkan (200x185 cm). Dalam karya itu, ia begitu bermain dengan grafis dan bidang datar. Itu seakan menandakan ada pengaruh Eropa, terutama kubisme, yang begitu kuat.

Entah Tatang sadar atau tidak, ia sebenarnya memiliki kecenderungan pada permainan warna-warna cemerlang. Karakteristik abstrak memang begitu kuat, tapi ia mencoba untuk menghadirkan penafsiran yang membuat kita harus sedikit lebih jeli.

Karya-karya lain lelaki kelahiran Bandung, 11 Mei 1953 ini juga lekat dengan unsur 'pedas'. Sebut saja pada karya Orang-orang dengan Tanda di Dada (200x200 cm), Cerita Tak Terselesaikan (200x1200 cm, 5 panel), dan Episode Setelah Pengusiran (160 x160 cm).

Ada kritikan terhadap penguasa yang sudah tak beradab dan berbudaya lagi. Kasus korupsi yang merajalela di negeri ini menjadi sebuah perhatian khusus. Karya Monolog Tentang Dadu (120x180 cm), misalnya, menjadi sebuah perenungan mendalam yang ia lakukan. Bahkan, baginya badut merupakan sindiran yang tepat bagi koruptor.

Dalam karya itu, tergambar seorang perempuan dengan bergaya badut sedang duduk dengan santai. Ia menaikkan kaki kanan di atas sehingga menunjukkan ada kesombongan yang begitu tersirat. Sang perempuan menggunakan badut yang begitu khas sehingga wajah asli pun tak terlihat.

"Sekarang koruptor sudah tak malu lagi. Padahal, mereka disoroti media setiap hari. Koruptor sekarang ini sudah seperti badut. Mereka kehilangan rasa kemanusiaan," tandasnya.

Tatang mampu memainkan simbol secara memikat. Ia tak ekstrem, tapi simbol-simbol yang ada menunjukkan ia tak main-main dengan kasus korupsi.

Sebuah corak yang jarang dimiliki pelukis di Indonesia. Tak hanya itu, corak lukisan dengan objek telanjang juga menjadi sebuah etalase bagi kita untuk melihat sebuah dunia estetika tanpa pornografi. Ia mampu menari dan memainkan jemarinya tanpa ruang penyekat. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 23 Juni 2013

[Jendela Buku] Dari Kampung Menuju Kota

PENGALAMAN dalam hidup membawa Iwel Sastra menuangkan setiap kegetiran dan harapan lewat sebuah buku. Ada petuah yang ia tuangkan secara jeli, tapi terkadang ada balutan sarkasme dan optimisme sehingga membuat semuanya mengalir bagai gelombang pasang.

Melalui perjalanan dari nol hingga meraih sebuah kesuksesan bukanlah perkara muda. Terkadang Iwel terbelenggu untuk menentukan pilihan meski terkadang sangat sulit. Ia harus memilih sebuah harapan agar semuanya dapat menjadi mimpi atau mati kelak.

Lewat buku Motivaction: Mimpi atau Mati (Noura Books, Jakarta, 2013), ia seakan menuangkan segudang pengalaman man
is. Ia mau agar setiap langkah yang telah menuntunnya meraih sebuah kesuksesan dapat juga dirasakan orang lain.

Pada buku perdana ini, Iwel menghadirkan lima bab dengan bahasa yang mudah dicerna. Kelima bab itu yaitu Action, Memasarkan Diri, Langkah-langkah Ringan, Faktor XYZ, dan Bonus Track.

Jika dilihat dari isi setiap bab, lelaki asal Padang, Sumatra Barat, itu menggabungkan teori dan pengalamannya. Setiap kajian diselingi dengan contoh sehingga membuat pembaca seakan mendapatkan cermin untuk optimistis menghadapi hidup.

Pengalaman tentang kisah sebagai penjual koran hingga menjadi presenter dalam dunia lawakan parodi membuat ia tak jemawa. Bahkan, ia memanfaatkan keberuntungan itu untuk dituangkan dalam buku bersampul kuning itu.

Sebagai entertainer, Iwel mencoba menghadirkan pengalaman dengan cara yang kocak, humoris, dan sederhana. Berbagai sudut pandang tentang kesuksesan ia suguhkan secara terperinci. Tak ayal, buku ini menjadi sebuah pegangan dan motivasi bagi mereka yang ingin meraih kesuksesan.

Teori pemasaran, sosial, hingga psikoanalisis tanpa disadari begitu lekat dalam buku setebal 320 halaman ini. Pada subbagian Semua Berawal dari Kecil (hlm 9), misalnya, Iwel begitu bergumul dalam sebuah peristiwa pada 2011 saat ia mengunjungi Bandung.

Sebuah produk keripik membuat ia dan rombongan memutuskan untuk berbelanja. Yang menarik, penjualan keripik dilakukan dengan sebuah mobil boks dan selalu berpindah-pindah. Itu yang membuat rasa penasaran pun tercuat setelah dijelaskan seorang teman.

Keripik yang cukup pedas itu menjadikan Iwel menganggukkan kepala. Pasalnya, proses pemasaran dilakukan lewat jejaring sosial. Setiap orang yang mau membeli harus melihat status yang telah diperbarui si penjual.

Tak hanya itu. Persoalan pemasaran diri juga menjadi pembahasan di subbab lainnya. Kaya dengan memasarkan diri (hlm 84) juga menjadi sebuah cermin. Iwel pasti melakukan cara itu untuk meraih popularitas.

Ada pengalaman, yaitu saat ayah dua anak itu menulis surat lamaran, tetapi isinya seperti cerpen. Itu membuat ia tersenyum sinis setelah pewawancara membacanya. Kendati demikian, ada hal menarik karena Iwel mencoba untuk membuat sebuah diferensiasi.

Rezeki menulis

Pembahasan mengenai ilmu rezeki (hlm 255) cukup menantang karena sumber rezeki beras dari Sang Khalik. Iwel menuliskan, ‘Jangan melihat siapa yang bicara, tetapi lihatlah apa yang dibicarakan’.

Kalimat petuah itu tentu bukanlah dari mulutnya sendiri. Ia mengutip ucapan seorang kiai yang menjadi tempat menimba ilmu, Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tentunya, itu menjadi penguat baginya selain meyakini Tuhan Yang Mahakuasa itu sendiri.

Kendati mampu menghadirkan sejuta pengalaman yang dipadukan dengan teori dan petuah sederet orang-orang yang ia jumpai, buku ini memang masih lemah dalam penggambaran deskriptif dan runut waktu yang masih berlompat-lompat dalam beberapa subpembahasan.

Ketidakjelasan penggambaran runut waktu itulah yang membuat pembaca cepat bosan dan mudah untuk tak melanjutkan ke bab-bab berikutnya. Meski begitu, sebuah buku motivasi konstruktif dapat menjadi pilihan bagi Anda untuk mengembangkan karier, melihat pengalaman orang lain, dan mendapatkan ilmu lewat buku ini. (Iwa/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 23 Juni 2013

[Jendela Buku] Keteguhan Hati Mencari Makna Hidup

-- A Wahyu KristiantoMungkin dengan menjadi penulis dan wartawan, aku bisa merintis jalan untuk bisa awet muda dengan tulisan dan karya jurnalistik yang berguna dan abadi, bisa mengubah dunia hanya dengan kata-kata.”

Data:
Judul: Rantau 1 Muara
Penulis: A Fuadi
Penerbit: Kompas Gramedia
Cetakan: Juni 2013
Tebal: 407 halaman
ALIF baru saja menyelesaikan tugasnya menuntut ilmu di jurusan hubungan internasional, Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat. Ia telah menjadi seorang sarjana. Lepas dari bangku kuliah, tokoh utama yang dikisahkan sebagai seorang anak berdarah Minang yang merantau ke Pulau Jawa itu dihadapkan pada situasi yang tidak mengenakkan.

Saat itu adalah titik awal masa reformasi Indonesia yang berbalut krisis ekonomi. Tak berbeda dengan kebanyakan orang di masa itu, Alif juga merasakan kesengsaraan yang teramat sangat. Ia kehilangan ladang pendapatan yang berasal dari salah satu koran lokal Bandung tempat dia biasanya menjadi kontributor.

Tak ada lagi uang saku yang membiayai perantauannya. Tak ada pula uang kiriman untuk menghidupi ibu dan adik-adiknya di kampung. Berbekal prestasi yang ciamik di bangku kuliah, Alif ke sana kemari mencari pekerjaan yang lebih banyak berujung penolakan.

Saat ia hampir tanpa harapan, takdir mempertemukan Alif dengan profesi kewartawanan. Ia diterima sebagai jurnalis di majalah Ibu Kota yang sangat populer di kala itu, Majalah Derap. Alif pun pindah ke Jakarta untuk merintis profesi barunya.

Begitulah kisah yang membuka halaman-halaman awal buku Rantau 1 Muara ini. Seri terakhir dari trilogi kisah Negeri 5 Menara baru saja diluncurkan oleh penulis Ahmad Fuadi. Novel Rantau 1 Muara mempunyai daya tarik tersendiri sejak melihat sampulnya. Berbalut desain sampul yang sederhana dan permainan warna hijau toska yang menyejukan mata, visualisasi novel itu terlihat elegan.

Dengan desain buku yang menarik, alangkah tergodanya untuk menilai buku tersebut dari sampulnya dengan berujung ekspektasi besar pada jalan cerita buku pamungkas yang ditulis selama dua tahun itu. Semiotika yang dipakai pada sampul buku ini berjalan dengan sempurna. Waktu dua tahun untuk merampungkan novel anyar itu bagi Ahmad Fuadi seperti jalan panjang yang membuatnya berutang budi pada banyak orang. Hal tersebut terlihat dari kata pengantar yang lebih banyak disisipi ucapan terima kasih pada karib kerabat sanak keluarga daripada memaparkan benang merah novel 407 halaman ini.

Melahap halaman demi halaman novel ini membuat fungsi bacaan sebagai hiburan menjadi sangat kentara. Empat puluh enam bab dijalin dengan alur yang mengalir, deskripsi yang sangat rinci hingga pesan-pesan sederhana yang terasa tidak dipaksakan. Berbicara pesan, novel ini dipenuhi berbagai pesan kehidupan yang memang menjadi senjata utamanya.

Motivasi hidup

Sejak buku pertama berjudul Negeri 5 Menara rampung, penulis konsisten meramu pesan dan motivasi hidup dalam setiap cerita yang ditulisnya. Hal itu pula terasa di buku ini. Meskipun banyak pesan dan motivasi, buku ini tidak seperti menggurui pembaca. Cerdiknya, penulis membiarkan pembaca memahami dengan persepsi setiap artian pesan yang disisipkan. Sepeti salah satu kalimat di halaman 221. “Bagi Mas Garuda makan bersama itu penting. Dan memasak makanan buat teman itu lebih penting lagi.” Penulis cukup cerdas membuat adonan cerita yang legit untuk disantap. Tak ada halaman yang mengharuskan pembaca untuk mengerinyitkan kening mencerna cerita yang ditulis Ahmad Fuadi. Semuanya bisa dinikmati sembari menghabiskan sore yang bermandikan kemilau matahari ataupun sembari duduk di kereta menuju rumah. Ciri khas lain yang terasa dari buku ini adalah bagaimana penulis meramu romansa dalam cerita Rantau 1 Muara.

Tak hanya menjadi sebuah bumbu semata, romansa anak muda yang dikisahkan dalam buku ini memiliki porsi tersendiri yang cukup esensial. Ramuan romansa tersebut juga begitu kental dengan karakter anak muda Minang yang tetap menjunjung kesopanan walaupun berbicara cinta. Dengan latar belakang yang memang berdarah Minang tidak sulit bagi penulis untuk menjelmakan karakter pemuda Minang yang kuat pada diri Alif.

Romantisme dari meja redaksi Majalah Derap juga menjadi sebuah hiburan yang maksimal untuk pembaca. Pengisahan hari-hari Alif yang berprofesi sebagai seorang jurnalis terasa begitu nyata. Pembaca bahkan bisa dengan sangat jelas membayangkan tugas-tugas yang ditunaikan Alif selama berkarier di Derap.

Latar belakang wartawan yang pernah ditekuni penulis memang banyak membantu mengejawantahkan kisah apik kewartawanan Alif. “Saya sampai minta izin pada teman-teman wartawan untuk kembali ikut rapat redaksi demi mendapatkan kembali i sebagai wartawan,” beber Ahmad Fuadi yang sangat mementingkan riset untuk membangun imajinasi kisah-kisah yang ia tulis.

Setiap buku pasti memiliki kekurangan, begitupun buku Rantau 1 Muara. Satu kekurangan yang sangat terasa ialah penulis yang terlalu berani dan sering menggunakan kata-kata serapan dari bahasa Minangkabau ke dalam kalimat.

Kata-kata yang dipakai pun bukanlah kata-kata serapan yang populer, bukan kata-kata yang familiar oleh orang di luar Sumatra Barat misalnya penggunaan kata lindap di kalimat "Di bawah sinar lindap, aku melihat kamarku masih persis seperti waktu aku tinggalkan." Penggunaan kata serapan yang kurang familiar memang baik untuk mengenalkan ke khalayak, tapi alangkah lebih baik menggunakan kata yang dimengerti orang banyak.

Meskipun begitu, kisah dari novel ini memperlihatkan kesinambungan dengan dua novel terdahulu karena kisah yang disampaikan dalam buku ini melanjutkan periode terdahulu kehidupan Alif.

Di buku ini, sosok Alif dihadapkan pada pencarian paling krusial dari periode hidup manusia yang terdiri dari pencarian passion pekerjaan, belahan jiwa, hingga pencarian makna hidup itu sendiri yang membawa Alif ke Amerika. Rantau 1 Muara dirasa cukup pas untuk merepresentasikan kepamungkasan cerita trilogi Negeri 5 Menara. (M-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 23 Juni 2013