-- Vien Dimyati
Ingin memberikan akses kepada anak Indonesia untuk membaca buku sepuasnya. Sudah menyebarkan 500 ribu buku ke seluruh Indonesia.
Jika saat ini minat anak Indonesia dikatakan sangat minim dalam membaca buku, tanggapan itu adalah salah. Minimnya anak Indonesia dalam membaca buku dikarenakan minimnya akses anak-anak Indonesia terhadap buku-buku bacaan, terutama buku bacaan ‘ringan‘ atau buku bacaan yang mudah dimengerti oleh anak.
Untuk menjadi negara maju dan beradab membutuhkan banyak intelektual mapan. Agar bisa mencapai hal tersebut, tentu dibutuhkan anak-anak bangsa yang rajin membaca buku-buku. Minimnya akses bagi anak-anak membaca buku di Indonesia membuat Komunitas 1001 buku berusaha memberikan akses bacaan seluas-luasnya.
Ketua Yayasan dan Komunitas 1001buku, Dwi Andayani menjelaskan, komunitas 1001buku memliki visi ke arah pemerataan literasi di antara anak Indonesia. Meski ia sering dengar orang bilang, “Anak Indonesia malas membaca‘, Dwi menyatakan Itu tidak benar. Mereka hanya kekurangan akses untuk bahan bacaan. Maka, 1001buku punya misi memberi akses bacaan sebanyak-banyaknya buat anak Indonesia.
Seperti diketahui, selama ini bangsa Indonesia masih termasuk negara dengan minat baca yang sangat minim. Masyarakat Indonesia lebih suka mencari informasi lewat televisi dan radio ketimbang buku atau media baca lainnya. Laporan bank Dunia no.16369-IND (Education in Indonesia from Crisis to Recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0).
Data Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukan bahwa penduduk Indonesia yang menjadikan baca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5 persen. Sedangkan yang menonton televisi 85,9 persen dan mendengarkan radio 40,3 persen.
Yang lebih menyedihkan, dari penelitian yang dilakukan Center for Social Marketing (CSM) tahun 2006, perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, Indonesia mendapat poin nol. Perbandingannya, di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku.
Pada Tahun 2011 berdasarkan survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau badan Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan bahwa rendahnya minat baca di Indonesia sangat buruk, yakni 0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi).
Tahun 2012, Indonesia berada pada posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk di dalamnya kebutuhan pendidikan, kesehatan dan melek huruf. Indonesia sebagai negara berpenduduk 165,7 juta jiwa lebih, hanya memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Itu artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang. By the way pada 2013 ini, penduduk Indonesia sudah mencapai 250 juta jiwa.
Minimnya minat baca ini menjadi keperihatinan mendalam, ditambah lagi buku bacaan mereka tidak sarat dengan pengetahuan. Artinya, dari jumlah hasil penelitian terhadap minat baca masyarakat Indonesia yang sangat minim itu, buku-buku yang dibaca itu pun tidak sarat dengan pengetahuan.
Berangkat dari keprihatinan atas keterbatasan anak-anak membaca buku tersebut, 1001buku membuat gerakan mengumpulkan bahan bacaan anak dari masyarakat, untuk didistribusikan ke taman-taman bacaan swadaya masyarakat yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
1001buku sendiri adalah organisasi relawan dan pengelola perpustakaan anak yang secara aktif membuka akses pendidikan anak-anak melalui taman baca anak (TBA) independen dan nirlaba. Melalui TBA, anak-anak tak hanya dapat mengakses bacaan berkualitas, tapi juga pendidikan yang membangun karakter.
1001buku dirintis sejak Mei 2002 dan diresmikan pada tanggal 10 Januari 2003. Hingga saat ini, lebih dari 50 relawan aktif 1001buku telah mengumpulkan dan mendistribusikan lebih dari 500.000 buku ke 309 TBA. Untuk itu, 1001buku terus berusaha mendukung keberlangsungan TBA dengan mengadakan pelatihan-pelatihan, seperti yang digelar pada 20-21 April 2013 lalu. Dalam workshop ini, para pengelola TBA belajar bersama bagaimana mengelola TBA secara profesional, mencari dukungan dana, sekaligus menjadikan TBA sebagai agen perubahan.
Bahkan, tahun ini, untuk pertama kalinya, 1001buku bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengampanyekan gerakan antikorupsi pada anak-anak, melalui sosialisasi kepada para pengelola TBA. “Kami menemukan kesamaan visi 1001buku dengan KPK yang ingin menumbuhkan karakter anak yang berani berkata jujur,‘ kata Dwi Andayani. n
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 Juni 2013
Ingin memberikan akses kepada anak Indonesia untuk membaca buku sepuasnya. Sudah menyebarkan 500 ribu buku ke seluruh Indonesia.
Jika saat ini minat anak Indonesia dikatakan sangat minim dalam membaca buku, tanggapan itu adalah salah. Minimnya anak Indonesia dalam membaca buku dikarenakan minimnya akses anak-anak Indonesia terhadap buku-buku bacaan, terutama buku bacaan ‘ringan‘ atau buku bacaan yang mudah dimengerti oleh anak.
Untuk menjadi negara maju dan beradab membutuhkan banyak intelektual mapan. Agar bisa mencapai hal tersebut, tentu dibutuhkan anak-anak bangsa yang rajin membaca buku-buku. Minimnya akses bagi anak-anak membaca buku di Indonesia membuat Komunitas 1001 buku berusaha memberikan akses bacaan seluas-luasnya.
Ketua Yayasan dan Komunitas 1001buku, Dwi Andayani menjelaskan, komunitas 1001buku memliki visi ke arah pemerataan literasi di antara anak Indonesia. Meski ia sering dengar orang bilang, “Anak Indonesia malas membaca‘, Dwi menyatakan Itu tidak benar. Mereka hanya kekurangan akses untuk bahan bacaan. Maka, 1001buku punya misi memberi akses bacaan sebanyak-banyaknya buat anak Indonesia.
Seperti diketahui, selama ini bangsa Indonesia masih termasuk negara dengan minat baca yang sangat minim. Masyarakat Indonesia lebih suka mencari informasi lewat televisi dan radio ketimbang buku atau media baca lainnya. Laporan bank Dunia no.16369-IND (Education in Indonesia from Crisis to Recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0).
Data Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukan bahwa penduduk Indonesia yang menjadikan baca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5 persen. Sedangkan yang menonton televisi 85,9 persen dan mendengarkan radio 40,3 persen.
Yang lebih menyedihkan, dari penelitian yang dilakukan Center for Social Marketing (CSM) tahun 2006, perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, Indonesia mendapat poin nol. Perbandingannya, di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku.
Pada Tahun 2011 berdasarkan survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau badan Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan bahwa rendahnya minat baca di Indonesia sangat buruk, yakni 0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi).
Tahun 2012, Indonesia berada pada posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk di dalamnya kebutuhan pendidikan, kesehatan dan melek huruf. Indonesia sebagai negara berpenduduk 165,7 juta jiwa lebih, hanya memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Itu artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang. By the way pada 2013 ini, penduduk Indonesia sudah mencapai 250 juta jiwa.
Minimnya minat baca ini menjadi keperihatinan mendalam, ditambah lagi buku bacaan mereka tidak sarat dengan pengetahuan. Artinya, dari jumlah hasil penelitian terhadap minat baca masyarakat Indonesia yang sangat minim itu, buku-buku yang dibaca itu pun tidak sarat dengan pengetahuan.
Berangkat dari keprihatinan atas keterbatasan anak-anak membaca buku tersebut, 1001buku membuat gerakan mengumpulkan bahan bacaan anak dari masyarakat, untuk didistribusikan ke taman-taman bacaan swadaya masyarakat yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
1001buku sendiri adalah organisasi relawan dan pengelola perpustakaan anak yang secara aktif membuka akses pendidikan anak-anak melalui taman baca anak (TBA) independen dan nirlaba. Melalui TBA, anak-anak tak hanya dapat mengakses bacaan berkualitas, tapi juga pendidikan yang membangun karakter.
1001buku dirintis sejak Mei 2002 dan diresmikan pada tanggal 10 Januari 2003. Hingga saat ini, lebih dari 50 relawan aktif 1001buku telah mengumpulkan dan mendistribusikan lebih dari 500.000 buku ke 309 TBA. Untuk itu, 1001buku terus berusaha mendukung keberlangsungan TBA dengan mengadakan pelatihan-pelatihan, seperti yang digelar pada 20-21 April 2013 lalu. Dalam workshop ini, para pengelola TBA belajar bersama bagaimana mengelola TBA secara profesional, mencari dukungan dana, sekaligus menjadikan TBA sebagai agen perubahan.
Bahkan, tahun ini, untuk pertama kalinya, 1001buku bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengampanyekan gerakan antikorupsi pada anak-anak, melalui sosialisasi kepada para pengelola TBA. “Kami menemukan kesamaan visi 1001buku dengan KPK yang ingin menumbuhkan karakter anak yang berani berkata jujur,‘ kata Dwi Andayani. n
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 Juni 2013
No comments:
Post a Comment