Sunday, June 09, 2013

[Refleksi] Nilai

-- Djadjat Sudradjat

KETIKA menjadi pembicara di sebuah acara politik di Jakarta, beberapa waktu silam, salah satu putri Bung Karno, Rachmawati, menangis. Ada perasaan pedih yang tak tertahankan kenapa negeri yang dicintainya seperti tengah menggali kuburnya sendiri. Kenapa di tengah gemuruh demokrasi justru kian banyak persimpangan jalan dan tak ada upaya serius memandu jalan lurus? Demikian Rachma bertanya?

Tangis yang dalam. Sebab, katanya, Indonesia telah menjadi pememeluk teguh liberalisme di berbagai aspek kehidupan. ?Kita hanyut dalam arus globalisasi tanpa pertahanan diri yang kuat. Maka tergeruslah nasionalisme kita. Nilai-nilai Pancasila memudar,? katanya.

Padahal, Pancasila merupakan perenungan Bung Karno yang digali dari natur dan cultul Indonesia. ?Pancasila adalah hogere optrakking (sublimasi/tingkatan yang lebih tinggi) dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis,? kata Rachma mengutip Bung Karno. Kita tahu dua nilai besar itu menjadi fondasi dua kekuatan: Amerika dan China. Rachma lalu menyudahi acara sebelum waktu bicara selesai, karena tangis itu.

Juga Siswono Yudo Husodo. Matanya berkaca-kaca dan kata-katanya tercekat ketika menguraikan fakta-fakta bahwa kini kita benar-benar menjadi bangsa yang tak punya kehormatan karena jatuh dalam pelukan asing. Lebih dari separuh pengelolaan kekayaan Indonesia jatuh ke tangan asing. Padahal, ketika di masa Bung Karno, ia selalu punya posisi tawar tinggi pada dunia.

Ia mengutip Bung Karno: ?Kalau pemuda-pemuda kita belum mampu mengerjakan sendiri kekayaan sumber daya alamnya yang terpendam di bumi Pertiwi, biarkan tetap di sana. Kita tunggu sampai anak cucu kita mampu mengerjakannya sendiri,? kata Si Bung pada 1964 ketika negosiasi dengan para investor asing menemu jalan buntu. Sangat ideologis. Ia ingin mendidik agar bangsa ini percaya diri dan mandiri.

Andil politisi di DPR dalam kemerosotan ini amatlah besar. Selama reformasi, kata Siswono, tiga tugas utama DPR, yakni legislasi, budgeting, controlling, tak tercapai. Jumlah undang-undang tidak pernah mencapai separuh dari yang seharusnya. Sementara APBN terus melonjak tajam dari tahun ke tahun, tapi infrastruktur justru kian tak terjamah. Dana bantuan sosial meningkat tanpa jelas peruntukannya. Bagaimana mungkin bisa mengontrol eksekutif dengan anggota DPR yang terlibat aneka skandal korupsi?

Menurut pengamat energi, Kurtubi, betapa tata kelola migas kita telah melanggar konstitusi. Sistemnya amat buruk, akibatnya negara amat dirugikan. Bumi dan air memang ?dikuasai? oleh negara, tapi tidak ?dimiliki? Indonesia. Sejak 2002, Gas Tangguh Papua dijual dengan amat murah ke China dengan masa waktu selama 25 tahun. Sementara tambang emas yang dikelola PT Freeport, juga di Papua, Indonesia hanya mendapatkan satu persen dari bumi milik sendiri.

Di awal reformasi produksi minyak kita masih 1,5 juta barel per hari, kini hanya 835 ribu barel. Indonesia yang semula eksportir menjadi importir minyak. Ia bukan lagi negara pengekspor minyak (OPEC), melainkan pengimpor. Inilah salah satu buah reformasi yang pahit: kemerosotan pengelolaan energi dari bumi yang kaya.

Kita tahu dari banyak cerita, setiap konstitusi dibuat, tekanan asing dan ?tawar-menawar? di antara kita, adalah fakta yang tak bisa dinegasi. Di sini kehadiran nilai-nilai kehormatan diri dan kemandirian bangsa yang diajarkan Bung Karno, lewat Pancasila dan Trisakti, menjadi amat penting. Kita rindu pada para pemimpin yang mampu meneguhkan nilai-nilai itu kembali. n

Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Juni 2013


No comments: