-- Ali Murtadho
KEHORMATAN orang terpelajar berasal dari buku (Debita ab erudito quoque libris reverentia). Demikian ungkapan yang dikutip Yudi Latif dalam bukunya Menyemai Karakter Bangsa (2009). Charles Jones juga pernah berujar, ?Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan lima tahun mendatang, kecuali dua hal: orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca. Namun, tradisi membaca di Indonesia justru masih tenggelam dalam lubuk kejumudan.
Sekadar gambaran, berdasar studi lima tahunan yang dikeluarkan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) pada 2006, yang melibatkan siswa sekolah dasar (SD), menempatkan posisi Indonesia pada peringkat 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel penelitian. Sementara penelitian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP untuk melek huruf pada 2002, Indonesia pada posisi 110 dari 173 negara.
Posisi tersebut turun satu tingkat menjadi 111 di tahun 2009. Lebih menyedihkan, perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku, sungguh memprihatinkan.
Budaya membaca sejatinya prasyarat dan bekal utama untuk memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan, terlebih di era globalisasi saat ini yang penuh persaingan. Oleh sebab itu, menurut Ratna Megawangi, pendidik mesti membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS).
Salah satunya dengan membaca, yang akhirnya dapat mengolah emosi, berkarakter baik, punya motivasi, berpikir analitis, kritis, dan kreatif. Bukan sebaliknya, peserta didik dibekali kemampuan berfikir tingkat rendah (lower order thinking skills/LOTS) yang justru akan membuat para siswa tidak berfikir analitis, tanpa inisiatif, mudah ikut arus, dan gampang diprovokasi.
Bila ditelisik lebih jauh, gejala itu sesungguhnya disebabkan oleh faktor budaya. Belum lagi berkembang penuh dan merasuk budaya baca pada masyarakat Indonesia sudah muncul budaya informasi yang lebih menggoda. Mulanya adalah radio, televisi, dan kini yang paling mutakhir adalah internet.
Memang, masyarakat Indonesia, meminjam ungkapan Goenawan Mohamad, mengalami lompatan budaya: dari masyarakat praliterer kepada masyarakat pascaliterer. Terjadi corak baru tradisi lisan (new kind of orality) kata Taufiq Abdullah, gejala kelisanan sekunder (secondary orality) kata Walter J. Ong. Meminjam istilah yang dipopulerkan Marshall McLuhan, yang dikutip A. Teeuw, kita saat ini seakan-akan sedang meninggalkan galaksi Gutenberg (1994).
Oleh sebab itu, wajar Goenawan Mohamad mengutarakan tentang sebuah lelucon dari Groucho Mark yang menghubungkan acara televisi yang buruk dengan buku. Bintang film era 1930-an itu, kata Goenawan, pernah berujar bahwa televisi itu sangat edukatif. Karena itu, tiap kali ada orang yang menyetelnya, Groucho Mark justru pergi ke tempat lain dan membaca buku. Hal yang tentu saja sangat kontras dengan apa yang terjadi di negeri ini. Sebab, bisa dipastikan tidak satu keluarga pun yang tidak memiliki televisi. Ironisnya, di rumah-rumah keluarga kelas menengah kita, tidak selamanya tersedia lemari buku, apalagi perpustakaan keluarga.
Aku Membaca, Maka Aku Ada
Membaca sesungguhnya, meminjam ungkapan Sindhunata, merupakan kaki kita. Kaki itu membuat kita menyejarah. Kaki itu harus dibentuk dan diadakan. Makin kita gemar membaca, makin memperoleh kaki yang kokoh dan kuat. Makin kita membaca, makin hidup kita berkaki. Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang tidak sempit dan berani menjelajah. Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang percaya akan adanya penopang yang menyangga kelemahan kita, atau menguatkan diri kita tanpa kita sadari.
Lebih jauh, Sindhunata mengutarakan dengan membaca dapat mengubah diri. Dengan membaca akan dapat mengubah seseorang untuk menjadi seperti yang dibacanya. Dengan melakukan aktivitas membaca, berarti telah melakukan pertobatan. Melakukan perlawanan juga dengan membaca. Dapat mencintai juga dengan membaca. Berfantasi juga dengan membaca. Bahkan, kita berdoa juga dengan membaca.
Akhirnya, Rene Descartes pernah berujar aku berfikir, maka aku ada (cogito ergo sum). Oleh sebab itu, dipandang dari lensa keberaksaraan, sama eloknya untuk mengatakan aku membaca, maka aku ada. Sebab, dengan mengakrabi dunia keberaksaraan, berarti kita turut meninggikan martabat pendidikan Indonesia. Semoga.
Ali Murtadho, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 1 Juni 2013
KEHORMATAN orang terpelajar berasal dari buku (Debita ab erudito quoque libris reverentia). Demikian ungkapan yang dikutip Yudi Latif dalam bukunya Menyemai Karakter Bangsa (2009). Charles Jones juga pernah berujar, ?Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan lima tahun mendatang, kecuali dua hal: orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca. Namun, tradisi membaca di Indonesia justru masih tenggelam dalam lubuk kejumudan.
Sekadar gambaran, berdasar studi lima tahunan yang dikeluarkan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) pada 2006, yang melibatkan siswa sekolah dasar (SD), menempatkan posisi Indonesia pada peringkat 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel penelitian. Sementara penelitian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP untuk melek huruf pada 2002, Indonesia pada posisi 110 dari 173 negara.
Posisi tersebut turun satu tingkat menjadi 111 di tahun 2009. Lebih menyedihkan, perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku, sungguh memprihatinkan.
Budaya membaca sejatinya prasyarat dan bekal utama untuk memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan, terlebih di era globalisasi saat ini yang penuh persaingan. Oleh sebab itu, menurut Ratna Megawangi, pendidik mesti membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS).
Salah satunya dengan membaca, yang akhirnya dapat mengolah emosi, berkarakter baik, punya motivasi, berpikir analitis, kritis, dan kreatif. Bukan sebaliknya, peserta didik dibekali kemampuan berfikir tingkat rendah (lower order thinking skills/LOTS) yang justru akan membuat para siswa tidak berfikir analitis, tanpa inisiatif, mudah ikut arus, dan gampang diprovokasi.
Bila ditelisik lebih jauh, gejala itu sesungguhnya disebabkan oleh faktor budaya. Belum lagi berkembang penuh dan merasuk budaya baca pada masyarakat Indonesia sudah muncul budaya informasi yang lebih menggoda. Mulanya adalah radio, televisi, dan kini yang paling mutakhir adalah internet.
Memang, masyarakat Indonesia, meminjam ungkapan Goenawan Mohamad, mengalami lompatan budaya: dari masyarakat praliterer kepada masyarakat pascaliterer. Terjadi corak baru tradisi lisan (new kind of orality) kata Taufiq Abdullah, gejala kelisanan sekunder (secondary orality) kata Walter J. Ong. Meminjam istilah yang dipopulerkan Marshall McLuhan, yang dikutip A. Teeuw, kita saat ini seakan-akan sedang meninggalkan galaksi Gutenberg (1994).
Oleh sebab itu, wajar Goenawan Mohamad mengutarakan tentang sebuah lelucon dari Groucho Mark yang menghubungkan acara televisi yang buruk dengan buku. Bintang film era 1930-an itu, kata Goenawan, pernah berujar bahwa televisi itu sangat edukatif. Karena itu, tiap kali ada orang yang menyetelnya, Groucho Mark justru pergi ke tempat lain dan membaca buku. Hal yang tentu saja sangat kontras dengan apa yang terjadi di negeri ini. Sebab, bisa dipastikan tidak satu keluarga pun yang tidak memiliki televisi. Ironisnya, di rumah-rumah keluarga kelas menengah kita, tidak selamanya tersedia lemari buku, apalagi perpustakaan keluarga.
Aku Membaca, Maka Aku Ada
Membaca sesungguhnya, meminjam ungkapan Sindhunata, merupakan kaki kita. Kaki itu membuat kita menyejarah. Kaki itu harus dibentuk dan diadakan. Makin kita gemar membaca, makin memperoleh kaki yang kokoh dan kuat. Makin kita membaca, makin hidup kita berkaki. Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang tidak sempit dan berani menjelajah. Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang percaya akan adanya penopang yang menyangga kelemahan kita, atau menguatkan diri kita tanpa kita sadari.
Lebih jauh, Sindhunata mengutarakan dengan membaca dapat mengubah diri. Dengan membaca akan dapat mengubah seseorang untuk menjadi seperti yang dibacanya. Dengan melakukan aktivitas membaca, berarti telah melakukan pertobatan. Melakukan perlawanan juga dengan membaca. Dapat mencintai juga dengan membaca. Berfantasi juga dengan membaca. Bahkan, kita berdoa juga dengan membaca.
Akhirnya, Rene Descartes pernah berujar aku berfikir, maka aku ada (cogito ergo sum). Oleh sebab itu, dipandang dari lensa keberaksaraan, sama eloknya untuk mengatakan aku membaca, maka aku ada. Sebab, dengan mengakrabi dunia keberaksaraan, berarti kita turut meninggikan martabat pendidikan Indonesia. Semoga.
Ali Murtadho, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 1 Juni 2013
No comments:
Post a Comment