-- Iwan Kurniawan
Pada pameran tunggal keenam, ia menghadirkan bahasa gesture. Ada sejuta makna yang diabadikan lewat patung-patung tanpa suara itu.
Memang, pada acara pembukaan itu, panitia sengaja menyusun beberapa meja bundar (round table) bagi para undangan untuk mengikuti seremonial sebelum masuk ke gedung pameran di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (14/6) malam.
“Aduh, di luar ya acaranya,” cetus Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Marie Elka Pangestu saat turun dari mobilnya untuk mengikuti acara pembukaan pameran tersebut.
Pada pameran bertajuk Menarilah! Dance Your Life, itu Dolorosa menjadi seorang ‘ratu’. Setiap pengunjung yang hadir selalu memberikan ucapan dan ciuman selamat kepadanya. Termasuk, sang menteri. Puluhan pengunjung pun terlihat mengabadikan sederet karya patung berbahan polyester resin lewat ponsel berkamera.
Memerhatikan karya-karya Dolorosa seakan membawa kita untuk masuk ke dalam sebuah dunia tari. Berbagai gerakan tarian daerah ia tuangkan lewat patung. “Kita tidak akan melihat orang menari. Namun, ini sebagai simbol saja,” ucap Dolorosa di sela-sela pameran.
Pada puluhan karya patung itu, Dolorosa seakan bermain dalam anatomi gerak yang terinspirasi dari tarian-tarian daerah hingga tokoh dalam dunia pewayangan. Tulang otot, struktur dan mekanisme gerak, dan antagonistik gerak menjadi sebuah tafsiran yang serat makna.
Masing-masing karya seakan dapat berbicara. Mengajak pengunjung untuk berdansa sejenak. Objek utama masih berupa perempuan-perempuan dengan sejuta bahasa bisu yang menyimpah sejuta kerahasiannya.
Menafsir
Karya-karya yang dipamerkan hampir serupa. Namun, Dolorosa mencoba menggunakan judul sebagai sebuah jendela bagi pengunjung untuk bisa masuk ke dalam inti karya-karyanya.
Tengok saja Tarian Cinta (polyester resin, 48x15x78) yang sarat dengan sebuah gerakan tangan yang menggugah. Namun, semua masih disajikan lewat gaya abstrak sehingga memberikan banyak tafsiran. Secara anatomi, memang karya tersebut terlihat seperti seorang penari perempuan yang sedang berlenggok ria.
Karya lain, yaitu Dance of Victory (50x15x83) yang cukup mengingatkan kita pada tarian balet khas Rusia ataupun Italia yang sangat melegenda. Namun, Dolorosa enggan menyebut karya itu sebagai sebuah tarian balet. Ia lebih senang menganggap sebagai sebuah tafsiran atas tarian yang umumnya di pentaskan di muka bumi ini.
Ada yang menarik karena di beberapa sudut tertentu, ia menghadirkan deretan karya secara paralel. Pada tujuh buah karya yang berjejer namun sedikit melengkung, Dolorosa menghadirkan Sapin Dancer (18x15x30 cm), Kanon Tari/Penari Leak, Dansa Lenso, Putri Campa, Gerak Kiri, Roro Mendut, dan Gunungan di Tangan Ibu.
Di sudut lainnya, ada pula serial Panggung Penari yang berjumlah 13 buah dengan ukuran serupa, yaitu 42x32x14 cm. Setiap serial menghadirkan gesture yang berbeda-beda.
Kurator Ruth Indiah Rahayu mengatakan masa perjalanan Dolorosa sangat penting. Pasalnya, pada era 1970 untuk menjadi seorang pematung, ia sempat ditantang oleh orangtua.
Secara fisik objek-objek yang dihadirkan adalah penari. Namun, ada yang berada di balik para penari itu yang menjadi sebuah kajian yang menarik. “Pada 2008, Dolorosa bicara tentang tubuh dan isinya tentang kekerasan seks, perang, dan persoalan sosial. Namun, sekarang ia lebih berbicara tentang di balik objek (tarian),” jelas Indiah.
Sebagai pematung feminis, Dolorosa selalu memilih objek perempuan sebagai objek. Ada rahasia-rahasia yang terbungkus rapi dalam setiap karya-karya. Mengingatkan pada sebuah tari yang digunakan sebagai ritual dalam upacara, persembahan untuk dewa, hingga persembahan untuk khalayak masa kini.
Setiap karya patung memang mengundang sebuah rahasia untuk diungkapkan. Namun, yang jelas karya-karya Dolorosa seakan mencoba mengingatkan kita tentang peran perempuan di balik sebuah tarian.
Pada malam itu, Marie pun pulang dengan senyum dan perasaan senang. Ia membeli dua buah patung karya Dolorosa. “Tentu, saya mau taruh (pajang) di rumah saja,” pungkas menteri seraya berjalan menuju mobil hitam necis.(M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 16 Juni 2013
Pada pameran tunggal keenam, ia menghadirkan bahasa gesture. Ada sejuta makna yang diabadikan lewat patung-patung tanpa suara itu.
Memang, pada acara pembukaan itu, panitia sengaja menyusun beberapa meja bundar (round table) bagi para undangan untuk mengikuti seremonial sebelum masuk ke gedung pameran di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (14/6) malam.
“Aduh, di luar ya acaranya,” cetus Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Marie Elka Pangestu saat turun dari mobilnya untuk mengikuti acara pembukaan pameran tersebut.
Pada pameran bertajuk Menarilah! Dance Your Life, itu Dolorosa menjadi seorang ‘ratu’. Setiap pengunjung yang hadir selalu memberikan ucapan dan ciuman selamat kepadanya. Termasuk, sang menteri. Puluhan pengunjung pun terlihat mengabadikan sederet karya patung berbahan polyester resin lewat ponsel berkamera.
Memerhatikan karya-karya Dolorosa seakan membawa kita untuk masuk ke dalam sebuah dunia tari. Berbagai gerakan tarian daerah ia tuangkan lewat patung. “Kita tidak akan melihat orang menari. Namun, ini sebagai simbol saja,” ucap Dolorosa di sela-sela pameran.
Pada puluhan karya patung itu, Dolorosa seakan bermain dalam anatomi gerak yang terinspirasi dari tarian-tarian daerah hingga tokoh dalam dunia pewayangan. Tulang otot, struktur dan mekanisme gerak, dan antagonistik gerak menjadi sebuah tafsiran yang serat makna.
Masing-masing karya seakan dapat berbicara. Mengajak pengunjung untuk berdansa sejenak. Objek utama masih berupa perempuan-perempuan dengan sejuta bahasa bisu yang menyimpah sejuta kerahasiannya.
Menafsir
Karya-karya yang dipamerkan hampir serupa. Namun, Dolorosa mencoba menggunakan judul sebagai sebuah jendela bagi pengunjung untuk bisa masuk ke dalam inti karya-karyanya.
Tengok saja Tarian Cinta (polyester resin, 48x15x78) yang sarat dengan sebuah gerakan tangan yang menggugah. Namun, semua masih disajikan lewat gaya abstrak sehingga memberikan banyak tafsiran. Secara anatomi, memang karya tersebut terlihat seperti seorang penari perempuan yang sedang berlenggok ria.
Karya lain, yaitu Dance of Victory (50x15x83) yang cukup mengingatkan kita pada tarian balet khas Rusia ataupun Italia yang sangat melegenda. Namun, Dolorosa enggan menyebut karya itu sebagai sebuah tarian balet. Ia lebih senang menganggap sebagai sebuah tafsiran atas tarian yang umumnya di pentaskan di muka bumi ini.
Ada yang menarik karena di beberapa sudut tertentu, ia menghadirkan deretan karya secara paralel. Pada tujuh buah karya yang berjejer namun sedikit melengkung, Dolorosa menghadirkan Sapin Dancer (18x15x30 cm), Kanon Tari/Penari Leak, Dansa Lenso, Putri Campa, Gerak Kiri, Roro Mendut, dan Gunungan di Tangan Ibu.
Di sudut lainnya, ada pula serial Panggung Penari yang berjumlah 13 buah dengan ukuran serupa, yaitu 42x32x14 cm. Setiap serial menghadirkan gesture yang berbeda-beda.
Kurator Ruth Indiah Rahayu mengatakan masa perjalanan Dolorosa sangat penting. Pasalnya, pada era 1970 untuk menjadi seorang pematung, ia sempat ditantang oleh orangtua.
Secara fisik objek-objek yang dihadirkan adalah penari. Namun, ada yang berada di balik para penari itu yang menjadi sebuah kajian yang menarik. “Pada 2008, Dolorosa bicara tentang tubuh dan isinya tentang kekerasan seks, perang, dan persoalan sosial. Namun, sekarang ia lebih berbicara tentang di balik objek (tarian),” jelas Indiah.
Sebagai pematung feminis, Dolorosa selalu memilih objek perempuan sebagai objek. Ada rahasia-rahasia yang terbungkus rapi dalam setiap karya-karya. Mengingatkan pada sebuah tari yang digunakan sebagai ritual dalam upacara, persembahan untuk dewa, hingga persembahan untuk khalayak masa kini.
Setiap karya patung memang mengundang sebuah rahasia untuk diungkapkan. Namun, yang jelas karya-karya Dolorosa seakan mencoba mengingatkan kita tentang peran perempuan di balik sebuah tarian.
Pada malam itu, Marie pun pulang dengan senyum dan perasaan senang. Ia membeli dua buah patung karya Dolorosa. “Tentu, saya mau taruh (pajang) di rumah saja,” pungkas menteri seraya berjalan menuju mobil hitam necis.(M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 16 Juni 2013
No comments:
Post a Comment