Sunday, June 16, 2013

[Artikulasi] Penggagas Sastra Teror

-- Arie MP Tamba  (tamba@jurnas.com)

Menjadikan penulisan sebagai petualangan otak, mendayagunakan sastra sebagai "teror mental".

DI dunia kesenian Indonesia modern Putu Wijaya (PW; kelahiran Tabanan, Bali, 11 April 1944) adalah fenomena. Kehadirannya menunjukkan kontribusi kreativitas dan produktivitas luar biasa di seni yang dijadikannya sebagai pilihan hidup, yakni sastra, teater, dan perfilman. “Inilah tokoh utama sastrawan Indonesia dalam dasawarsa 1970-an," kata pengamat sastra Jakob Soemardjo (1983). Pengaruhnya cukup dominan terhadap sastrawan maupun dramawan sesudahnya. Ia boleh disamakan dengan Pramoedya Ananta Toer pada dekade 1950-an. Keduanya mampu menempatkan diri sebagai raksasa sastra pada kurun masing-masing.

Sastra Teror adalah ... kanon untuk mengejutkan kebekuan, mengencerkan ... segala kesimpulan‘sehingga ada kesempatan ... lagi untuk menilai, untuk berpikir, untuk mempertimbangkan, dan kemudian‘memilih lagi.

Kesimpulan Soemardjo diperkuat dengan kenyataan, bahwa PW ternyata masih produktif dan kreatif pada 1980-an, 1990-an dan juga 2000-an -- melampaui masa pencatatan Soemadjo. Dengan satu keunikan yang semakin menegas: PW berhasil membawa corak baru dalam penulisan naskah teater maupun karya fiksi di Indonesia.

Mulai ikut meramaikan dunia kesenian Indonesia, PW yang menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, ASRI dan Asdrafi Yogyakarta ini awalnya bergerak dalam bidang teater dengan menjadi anggota Bengkel Teater Rendra di Yogyakarta. Dari sana ia berkembang sendiri di Jakarta. Teaternya menyajikan gambaran-gambaran fragmentaris yang disatukan oleh suasana mencekam, kuat, penuh misteri tapi relevan dengan kondisi sosial Indonesia. Seorang kritikus teater menyebut teater PW berkembang dari latihan-latihan improvisasi. Dan rupanya gaya demikian menular pula dalam penulisan fiksinya.

Novel-novel PW penuh dengan potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, bahasanya ekspresif dan disatukan dalam suasana tema yang pedih. Teknik dan gaya ini mengingatkan orang pada fiksi absurd dan "arus kesadaran"-James Joyce dalam sastra Eropa. Hal ini dicatat juga oleh Pamela Allen (2004): seperti halnya di dalam novel-novelnya, juga di naskah-naskah teaternya, PW selalu kembali pada pengertian kepedihan terhadap hidup manusia -- sebagaimana dihayati kaum eksistensialis dan absurd Prancis.

PW pernah menyampaikan (1995) bahwa selama ini ia boleh jadi memang terpengaruh oleh gaya menulis pengarang atau pentolan teater absurd Prancis, Samuel Beckett. Tapi ia juga menyatakan bahwa banyak dari apa yang nampaknya absurd dalam tulisannya, dalam kenyataannya merupakan kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Indonesia. Di mana, “...ada orang mati, tapi orang-orang tertawa, ada orang yang mendapat kecelakaan, malah ditertawakan karena dianggap lucu. Orang membelanjakan uangnya untuk beli kaset, sekalipun ia tak punya sesuatu untuk dimakan..."

Sebab itulah, sebagaimana pernah disampaikan PW sebelumnya (1982), menulis baginya adalah menjadi usaha untuk mengingatkan kepada orang lain yang menjadi pembacanya melalui Sastra Teror (ST) bahwa dia itu manusia, dan mengembalikan dia pada harkat kemanusiaannya kalau ia sudah menjadi barang, binatang, dewa, atau setengah dewa. Semacam usaha untuk menyulut, tapi bukan untuk mengabdi kepada sesuatu apalagi menjadi budak suatu tirani pemikiran, baik itu ideologi, kepercayaan, bahkan juga agama.

Pilihan seperti ini tentu bukan hal baru dalam sastra Indonesia. Paling tidak, YB Mangunwijaya (1982) sudah menemukan bahwa sikap mepertanyakan adat/agama formal melalui karya sastra mulai eksplisit dalam Atheis (Achdiat Karta Miharja), namun memang lebih subtil terpijar dalam pelukisan konflik batin (religius) tokoh utama sebuah novel PW, Telegram.

“Riwayatku sebagai petualang tunggal akan berakhir dalam penjara keluarga", itulah yang ditakutkan tokoh Aku dalam Telegram, ketika menghadapi dilema, tidak menikah (menurut peraturan agama) dengan kekasihnya Rosa agar kekasih tetap kekasih (baca: buah keputusan sadar eksistensial yang subyektif diyakini) ataukah seperti lazimnya (manusia massa) menikah menurut adat/agama? Tapi yang akhir itu tidak akan menuju ke “penjara keluarga".

Tokoh Aku mengaku “dididik sebagai pengecut" (tema pengecut pernah diolah oleh Idrus dalam Surabaya, Pramoedya dalam Keluarga Gerilya dan Mochtar Lubis dalam Jalan Tak Ada Ujung). Karena itu “Aku ingin sekali hidup tanpa tanggung jawab yang resmi." Tapi mengherankan, pengecut yang ingin “...lebih enak jadi orang awam saja (baca: orang tanpa agama), yang berlumuran dengan segala kemungkinan, tiba-tiba merasa harus menjadi pemberani. ...basa-basi bukanlah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh bila orang ingin menjadi seorang warga (suku, adat, agama) yang baik. Saya sudah berniat untuk menjadi orang yang keliru dan siap menerima akibatnya."

Tapi semuanya itu baru keinginan untuk berani. Akhirnya si tokoh tetap terombang-ambing dalam keragu-raguan, karena, “tak mempunyai keberanian atau setelah mempunyai keinginan untuk memainkan permainan yang tak tentu polanya." Seluruh keragu-raguan dan kehampaannya itu semakin terasa karena datangnya telegram dari rumah (baca: dunia adat dan agama tradisional formal). Dari ibunya yang sedang menghadapi sakit dan maut, dan yang tentunya merupakan pancingan yang paling kuat, agar si tokoh mau pulang ke kampung halaman. Jerat masuk “penjara keluarga" tadi, alias “...penjara hukum adat dan agama" dirasakan oleh si tokoh. Bagaimana sebaiknya: yakin akan diri sendiri, ataukah kembali saja dan membuat senang seluruh keluarga?

Dan novel Telegram, menurut Mangunwijaya, merupakan karya yang matang dan dewasa, dan bentuknya juga berhasil. Suasana yang dilukiskan hampir dilakonkan pada malam hari, atau dalam suasana gelap. Sangat sugestif untuk mengekspresikan suatu situasi gelap, ketika orang tak mampu mengambil keputusan tegas.

Nilai-nilai lama dan terpuji diakui sekaku hal-hal yang masih menuntut dan pantas dipertimbangkan pemenuhannya. Jadi bukan sikap sekularisme yang tak gentar memutuskan tali-tali jangkar dari perahu induk. Suatu kesadaran baru yang memang menurut konvensi umum dinilai tak berakhlak, tapi diyakini sebagai suatu tindak keputusan pribadi yang bertekad bertanggung jawab sendiri, jelas telah bernapas dalam Telegram.

Dari kesimpulan Mangunwijaya, bisa dipahami bahwa karya-karya Sastra Teror (ST) PW dengan demikian hanyalah alat yang tak pernah lebih penting dari manusia pembaca yang akan dihubungi. Dan agar tampil sebagai alat sempurna, tentunya ST harus memenuhi persyaratan yang bisa menembus ruang dan waktu, sehingga dapat dipakai manusia segala zaman, manusia segala tingkatan, manusia segala paham, yang luhur maupun yang bejat.

Dan ST juga mestinya tidak hanya mengandung satu kemungkinan. Lebih baik lagi, ST harus penuh sesak bagai rimba, bagai Arjuna Sasrabahu (menurut PW) dengan seribu muka yang bisa menerjang ke segala arah dengan serentak. Hingga, sebuah ST semestinya muncul bagaikan bom. Meledakkan kesadaran!

Oleh karena itulah, menurut PW, ia juga sering mengangkat dan menyoroti anekdot: hal-hal remeh, aneh, kadangkala tak masuk akal, sekadar untuk mengagetkan, mencubit, menarik perhatian, mengganggu, menteror orang supaya berhenti sebentar, lalu berpikir dan mungkin ingat kembali bahwa dia itu manusia, bukan alat, sistem, jalan pikiran, tentara, polisi, pedagang, dan sebagainya, tapi juga jiwa dan raga. Bahwa terlepas dari tingkat kecerdasan, tingkat sosial dan kepentingan, ia juga manusia seperti orang lain yang secara elementer sama. Rata-rata punya rasa kegembiraan dan harapan, duka dan kepedihan, cinta dan bahagia, dan seterusnya.

Hingga pada akhirnya, apa yang ditulisnya (cerpen, novel, esai, resensi, naskah teater, skenario), tidak lebih dari apa yang kemudian terjadi dalam diri orang. Dengan kecenderungan dan pelbagai latar belakangnya, setiap orang akan memberi tanggapan sendiri, kesan sendiri, reaksi dan kesimpulan sendiri, tentang ST yang memunculkan Teror Mental yang diformulasikan PW pada 1995 sebagai:

Teror Mental adalah gangguan kepada irama kehidupan yang monoton, betotan kepada keseimbangan, gebrakan kepada keadaan yang diam, kejutan kepada suasana yang bergejolak, langkah yang melawan pada kesepakatan yang sudah tak tergoyahkan, sebuah teriakan atau bisa jadi sebuah bisikan, sebuah tikaman atau bisa juga sebuah haiku, sebuah pemberontakan atau juga sebuah solidaritas, sesuatu yang menentang namun tak kurang pula sebuah dukungan yang total.

Teror mental adalah sebuah sengatan-patukan, sebuah kegelisahan, sebuah pencarian, sebuah pengembaraan, sebuah penemuan, sebuah kesangsian dalam wujud sebuah tontonan ‘“ cerpen, novel, seni, atau karya seni yang lain, sesuatu yang tak jarang mengandung unsur menghibur namun bukan semata-mata hiburan.

Teror Mental menembak masyarakat dengan berbagai goncangan, sehingga sepanjang peristiwa berkesenian itu para penikmat berada dalam situasi yang chaos namun tak sempat, tak mau, tak mampu meluputkan diri, sampai teror itu berakhir.

Teror Mental adalah sebuah cuci otak yang merobek segala kesimpulan, keyakinan, kemaceta pandangan, ketetapan, bahkan mungkin juga kepercayaan. Tapi sama sekali tidak dengan maksud untuk menipu, memperkosa atau mencekoki, menghasut, apalagi mengubah-menyulap apa yang sudah ada. Hanya menguji sekali lagi‘dan sekali lagi. Berkali-kali. Menggoncang, apakah setiap keputusan memang sudah teguh berpijak pada sebuah peta yang dimiliki masing-masing pemiliknya. Apakah sebuah pilihan sudah disertai pengetahuan yang cukup.

Teror Mental adalah bukan sebuah langkah keliru orang yang tertipu, bukan keputusan orang yang teler-tak berdaya, bukan keputusan orang yang cacat fisik apalagi mental, bukan keputusan orang yang tergencet-gencet dan terbelenggu, bukan keputusan orang yang gila ataupun “alpa‘.

Teror Mental adalah sebuah kanon untuk mengejutkan kebekuan, mengencerkan kembali segala kesimpulan, menjadikan masalah sebagaimana awalnya, sehingga ada kesempatan sekali lagi untuk menilai, untuk berpikir, untuk mempertimbangkan, untuk menghitung, untuk bernapas dan kemudian‘melilih lagi. Tak perduli apakah yang kemudian dipilihnya. Tak menjamin pula apakah pilihan kali ini lebih baik, lebih tepat daripada pilihan sebelumnya.

Teror Mental adalah tidak dengan sendirinya berakhir positif-merata karena besar kemungkinannya teror itu membuat orang bukannya lebih jernih, lebih tenang, lebih mantap memilih karena lebih tahu. Ada kalanya, teror membuat orang semakin tenggelam, semakin bingung, semakin tak berdaya, semakin hanyut dalam pilihan yang keliru, dan akhirnya tak mampu memilih, lalu mendaur ulang kembali segala perjalanan pikirannya dari awal lagi hingga menemukan pembebasan baru.

‘‘‘‘‘.
Teror Mental adalah jalan atau barang yang amat berbahaya apabila tidak berada di tangan orang yang terlatih. Terlatih dalam menghadapi situasi yang tidak boleh tidak tahu. Karena teror mental bisa sesat, bisa melempem, bisa jadi bumerang, buannya menggalakkan kesadaran manusia, namun justru makin menginjak-injak manusia ke dalam lubang kebisuan, penindasan dan kesesatan.

Teror Mental tidak hanya menyerang, tidak hanya merusak apa yang sudah mapan, tapi juga merawat, memelihara, menjaga mereka yang lemah.

‘‘‘‘
Teror Mental tidak memerlukan pahlawan. Termasuk dalam langkah teror yang anti-pahlawan adalah: mengejek diri sendiri, melawak dan mengolok-olok diri sendiri, main goblok-goblokan sendiri, tanpa pamrih, gagu, gamang, ambigu, angin-anginan. Bego, pelupa, aneh, gila, serba tidak puguh, gagap. Mengajak orang untuk melupakan diri sendiri dan memperhatikan yang lain. Hingga dalam suasana yang alpa, ia dengan mudah menyergap, dan mengaplikasikan teror-terornya.

Teror mental adalah pencurian kesempatan, yang hanya berlangsung sepersekian detik dalam penantian seratus tahun, memerlukan kejelian mata-mata, kegesitan tukang copet, kemahiran seorang maling, dan keputiha hati seorang anggota pasukan Palang Merah.

Teror Mental adalah sebuah usaha untuk membangun mental! n

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 16 Juni 2013

No comments: