-- Iwan Kurniawan
Potret seniman yang hidup serbaberkecukupan di pinggiran Ibu Kota menjadi latar belakang pementasan sandiwara musikal Betawi Soekma Djaja.
Pertunjukan tersebut mengusung eksistensi para pegiat gambang keromong sehingga menunjukkan ada upaya untuk mengangkat kembali seni musik tradisi yang hampir terlupakan di era modern ini.
Pada pementasan lakon Soekma Djaja di Gedung Kesenian Jakarta, pertengahan pekan ini, Teater Abang None menghadirkan sandiwara musikal Betawi lewat suguhan kontemporer.
“Akhir-akhir ini, banyak kesenian rakyat Betawi yang dipentaskan ke jalan-jalan. Di pusat kota tak jarang kita melihat ondel-ondel. Ini yang menjadi latar belakang pementasan ini,” ujar Produser Teater Abang None Maudy Koesnaedi, sebelum pertunjukan.
Pada lakon berdurasi hampir 2 jam itu, titik utama pementasan sebenarnya pada sebuah keluarga yang begitu setia menjaga kesenian gambang keromong. Sutradara Adjie Nur Ahmad mampu menghadirkan skenografi (tata panggung) yang berubah-ubah. Itu terlihat pada adegan awal hingga adegan akhir pementasan.
Pada adegan di rumah keluarga Maman Djaja (Doddy Eriandoko), misalnya, tergambar jelas area perkampungan padat. Ada sebuah rumah sederhana. Di depan beranda, terdapat dua bangku dan sebuah meja.
Di sudut kiri ada sebuah bangku panjang yang biasa digunakan untuk tidur-tiduran. Ada pula tempat jemuran tepat di sudut panggung sehingga memberikan kesan bahwa tokoh utama ialah orang sederhana.
"Lumayan dapat 15 rebo," ujar Yadi (Lutfi Ardiansyah) pada sebuah dialog dalam lakon Soekma Djaja. Ia bersama rombongan gambang keromong baru saja selesai ngamen di jalanan.
Tragis
Lakon Soekma Djaja menghadirkan kisah seniman yang hidup dalam kesulitan. Desakan ekonomi tak membuat Maman Djaja putus asa untuk mengais rezeki bersama kelompok gambang keromongnya.
Sejak mengalami kecelakaan, Maman harus menggunakan tongkat. Ia pun tak bisa lagi bekerja sehingga mendapatkan uang. Untuk itulah, Yadi bersama Lia (Nurfitri Aprilia), anak-anak Maman, harus bekerja untuk menopang hidup keluarga.
Bersama kelompok gambang keromong, mereka giat ngamen di jalanan Ibu Kota seusai sekolah. Jay (Bobtriyan Tanamas), anak sulung, enggan membantu. Ia merasa malu dengan kondisi keluarganya yang miskin. Sebenarnya, titik puncak lakon ini terjadi saat kematian Yadi. Ia mengalami nasib nahas saat terjadi tawuran antarpelajar. Saat itu, ia bersama rombongan baru saja selesai ngamen. Yadi menjadi salah sasaran amukan para pelajar. Ia dibantai hingga tewas seketika.
Jay yang selalu berseberangan pendapat dengan Yadi akhirnya menyesal. Ia merasa kehilangan adiknya setelah peristiwa itu. Inilah titik yang membuat penonton pun sedikit ikut terlarut dalam kesedihan semu.
"Mengapa begini kejadiannya? Saya berdoa. Kenapa dia enggak dikasih kesempatan? Dia (Yadi) anak rajin dan tak pernah putus asa,” ujar Nyak Ida (Ita Dachrin) sambil memegang bekas baju anaknya itu.
"Ya Allah, kalau enggak suka saya, jangan seperti ini. Saya lakukan semua peritah-Mu. Kenapa anak saya? Sakit hati ini," teriak Nyak Ida seraya melantunkan dialog lewat nyanyian musikal.
Lakon tersebut memuat 10 adegan yang memiliki tautan. Semua tersaji dalam satu bingkai pementasan yang utuh. Penggarapan naskah Mimi Yusuf terasa cukup berbobot.
Namun, beberapa aktor seperti tokoh reporter, tokoh teman kampus Jay, hingga tokoh pelajar masih minim dalam penguasaan materi. Itu membuat Soekma Djaja tak begitu menarik dan membumi.
Berbeda dengan pementasan Teater Abang None sebelumnya, yaitu Cinta Dasima (2009), Doel (2010), dan Sangkala 9/10 (2011) yang lebih membekas di ingatan. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 9 Juni 2013
Potret seniman yang hidup serbaberkecukupan di pinggiran Ibu Kota menjadi latar belakang pementasan sandiwara musikal Betawi Soekma Djaja.
Pertunjukan tersebut mengusung eksistensi para pegiat gambang keromong sehingga menunjukkan ada upaya untuk mengangkat kembali seni musik tradisi yang hampir terlupakan di era modern ini.
Pada pementasan lakon Soekma Djaja di Gedung Kesenian Jakarta, pertengahan pekan ini, Teater Abang None menghadirkan sandiwara musikal Betawi lewat suguhan kontemporer.
“Akhir-akhir ini, banyak kesenian rakyat Betawi yang dipentaskan ke jalan-jalan. Di pusat kota tak jarang kita melihat ondel-ondel. Ini yang menjadi latar belakang pementasan ini,” ujar Produser Teater Abang None Maudy Koesnaedi, sebelum pertunjukan.
Pada lakon berdurasi hampir 2 jam itu, titik utama pementasan sebenarnya pada sebuah keluarga yang begitu setia menjaga kesenian gambang keromong. Sutradara Adjie Nur Ahmad mampu menghadirkan skenografi (tata panggung) yang berubah-ubah. Itu terlihat pada adegan awal hingga adegan akhir pementasan.
Pada adegan di rumah keluarga Maman Djaja (Doddy Eriandoko), misalnya, tergambar jelas area perkampungan padat. Ada sebuah rumah sederhana. Di depan beranda, terdapat dua bangku dan sebuah meja.
Di sudut kiri ada sebuah bangku panjang yang biasa digunakan untuk tidur-tiduran. Ada pula tempat jemuran tepat di sudut panggung sehingga memberikan kesan bahwa tokoh utama ialah orang sederhana.
"Lumayan dapat 15 rebo," ujar Yadi (Lutfi Ardiansyah) pada sebuah dialog dalam lakon Soekma Djaja. Ia bersama rombongan gambang keromong baru saja selesai ngamen di jalanan.
Tragis
Lakon Soekma Djaja menghadirkan kisah seniman yang hidup dalam kesulitan. Desakan ekonomi tak membuat Maman Djaja putus asa untuk mengais rezeki bersama kelompok gambang keromongnya.
Sejak mengalami kecelakaan, Maman harus menggunakan tongkat. Ia pun tak bisa lagi bekerja sehingga mendapatkan uang. Untuk itulah, Yadi bersama Lia (Nurfitri Aprilia), anak-anak Maman, harus bekerja untuk menopang hidup keluarga.
Bersama kelompok gambang keromong, mereka giat ngamen di jalanan Ibu Kota seusai sekolah. Jay (Bobtriyan Tanamas), anak sulung, enggan membantu. Ia merasa malu dengan kondisi keluarganya yang miskin. Sebenarnya, titik puncak lakon ini terjadi saat kematian Yadi. Ia mengalami nasib nahas saat terjadi tawuran antarpelajar. Saat itu, ia bersama rombongan baru saja selesai ngamen. Yadi menjadi salah sasaran amukan para pelajar. Ia dibantai hingga tewas seketika.
Jay yang selalu berseberangan pendapat dengan Yadi akhirnya menyesal. Ia merasa kehilangan adiknya setelah peristiwa itu. Inilah titik yang membuat penonton pun sedikit ikut terlarut dalam kesedihan semu.
"Mengapa begini kejadiannya? Saya berdoa. Kenapa dia enggak dikasih kesempatan? Dia (Yadi) anak rajin dan tak pernah putus asa,” ujar Nyak Ida (Ita Dachrin) sambil memegang bekas baju anaknya itu.
"Ya Allah, kalau enggak suka saya, jangan seperti ini. Saya lakukan semua peritah-Mu. Kenapa anak saya? Sakit hati ini," teriak Nyak Ida seraya melantunkan dialog lewat nyanyian musikal.
Lakon tersebut memuat 10 adegan yang memiliki tautan. Semua tersaji dalam satu bingkai pementasan yang utuh. Penggarapan naskah Mimi Yusuf terasa cukup berbobot.
Namun, beberapa aktor seperti tokoh reporter, tokoh teman kampus Jay, hingga tokoh pelajar masih minim dalam penguasaan materi. Itu membuat Soekma Djaja tak begitu menarik dan membumi.
Berbeda dengan pementasan Teater Abang None sebelumnya, yaitu Cinta Dasima (2009), Doel (2010), dan Sangkala 9/10 (2011) yang lebih membekas di ingatan. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 9 Juni 2013
No comments:
Post a Comment