-- Masduri
SEKITAR dua bulan yang lalu saya berkesempatan berkunjung pada salah satu penerbit di Yogyakarta. Karyawan penerbit itu banyak mengeluhkan problem pemasaran karena buku-buku terbitannya kurang banyak diminati pembeli. Minimnya minat pembeli bukan karena buku terbitannya tidak berkualitas, namun karena buku-buku terbitannya membuat dahi berkerut saat membacanya. Buku-buku tersebut biasanya sering disebut ‘buku berat’. Berat bukan karena jumlah halamannya banyak. Tetapi karena saat membacanya kita perlu konsentrasi penuh. Kadang untuk memahaminya dengan baik, butuh waktu lama dalam membacanya. Bahkan perlu dibaca berulang-ulang. Buku jenis ini sering disebut buku ilmiah.
Karyawan penerbit buku itu juga secara terbuka menyampaikan bahwa minimnya minat pembeli terhadap buku-buku terbitannya, karena sekarang ini banyak penerbit yang menerbitkan buku-buku panduan (haw to), seperti buku tips cepat sukses, kiat memperoleh beasiswa, motivasi hidup, atau pula buku-buku novel, catatan harian, dan sejenisnya. Buku jenis ini sering disebut ‘buku ringan’. Lagi-lagi ringan bukan karena jumlah halamannya sedikit, tetapi untuk memahami buku jenis ini kita tidak perlu mengerutkan dahi. Membaca buku jenis ini bisa dijadikan sebagai hiburan diri. Bisa pula dibacanya saat sambil melakukan aktivitas lain. Singkatnya, buku ini sangat ringan sekali cara kita membacanya. Karena pembahasannya tidak jelimet. Sederhana, mudah, dan praktis.
Kerisauan yang disampaikan salah satu karyawan penerbit buku itu, bukan sekedar persoalan buku-buku terbitannya tidak laku di pasaran. Namun, lebih dari itu ia juga sempat menjelaskan tentang nasib generasi masa depan Indonesia. Kekhawatiran itu lantaran sekarang sangat minim sekali pelajar atau mahasiswa, termasuk juga guru dan dosen, yang suka membaca ‘buku berat’ itu. Hampir semuanya sekarang lebih suka membaca buku-buku haw to dan novel. Sebab buku-buku jenis ringan ini lebih mudah dibacanya. Untuk menamatkan satu buku tidak butuh berhari-hari, dalam hitungan jam pun bisa selesai. Tetapi kandungan pengetahuan dalam ‘buku-buku ringan’ ini sangat minim sekali. Berbeda dengan buku-buku ilmiah, kandungan pengetahuannya sangat banyak sekali. Bahkan dalam semua paragraf sarat dengan kandungan pengetahuan.
Jika bangsa kita jarang membaca buku-buku yang sarat dengan pengetahuan, tentu ancaman kemajuan bangsa Indonesia semakin nyata. Bacaaan-bacaan yang sarat dengan pengetahuan itu akan mengantarkan pembacanya menjadi intelektual mapan dengan daya kritis yang tinggi. Sehingga mampu membaca beragam problem kebangsaan secara baik dan benar sesuai dengan spesifkasi keilmuan yang dimlikinya. Kita butuh pakar dalam segala bidang keilmuan, agar mampu memajukan semua aspek kehidupan bangsa Indonesia. Menjadi negara maju dan berkeadaban butuh banyak intelektual mapan yang mampu menggerakkan bangsanya agar selalu bekerja untuk kemaslahatan bersama. Untuk mencapai itu, tentu butuh anak-anak bangsa yang merelakan dirinya membaca buku-buku sarat pengetahuan berjam-jam.
Selama ini bangsa kita masih termasuk negara dengan minat baca yang sangat minim. Masyarakat Indonesia lebih suka mencari informasi lewat televisi dan radio ketimbang buku atau media baca lainnya. Laporan bank Dunia no.16369-IND (Education in Indonesi from Crisis to Recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Data Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukan bahwa penduduk Indonesia yang menjadikan baca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5 persen. Sedangkan yang menonton televisi 85,9 persen dan mendengarkan radio 40,3 persen.
Yang lebih menyedihkan, dari penelitian yang dilakukan Center for Social Marketing (CSM) tahun 2006, perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, Indonesia mendapat poin nol. Perbandingannya, di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku. Pada Tahun 2011 berdasarkan survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) rendahnya minat baca di Indonesia sangat buruk, yakni 0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi).
Pun di tahun 2012, Indonesia berada pada posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk di dalamnya kebutuhan pendidikan, kesehatan dan melek huruf. Indonesia sebagai negara berpenduduk 165,7 juta jiwa lebih, hanya memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Itu artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang. Minimnya minat baca ini menjadi keperihatinan mendalam, ditambah lagi buku bacaan mereka tidak sarat dengan pengetahuan. Artinya, dari jumlah hasil penelitian terhadap minat baca masyarakat Indonesia yang sangat minim itu, buku-buku yang dibaca itu pun tidak sarat dengan pengetahuan. Masyarakat Indonesia sangat jarang membaca buku-buku ilmiah. Kesukaran dalam memahami buku-buku itu menjadi kendala utama, sehingga bangsa kita banyak beralih bacaan pada buku-buku ringan yang tidak memiliki banyak ilmu pengetahuan.
Akibatnya, banyak sekarang penerbit yang mencoba menyesuaikan dengan minat pembeli. Penerbit yang biasanya menerbitkan ‘buku berat’ sekarang mulai sedikit menyesuaikan dengan selera pasar, dengan menyederhanakan bahasa buku itu agar tidak terlalu sulit pembeli untuk memahaminya, atau bahkan ada pula yang sudah berubah bidikan, jika dulu terbitannya ‘buku-buku berat’, namun karena selera pasar sekarang berubah, mereka juga ikut-ikutan menerbitkan ‘buku ringan’, seperti buku-buku haw to dan novel. Sehingga sekarang jarang ‘buku-buku berat’ beredar di pasaran. Hampir semuanya ‘buku-buku ringan’.
Saya di sini, tidak mengatakan bahwa buku-buku how to atau novel tidak berkualitas, namun buku-buku jenis ini tidak sarat dengan pengetahuan. Kita bisa banyak mendapatkan tips dan hikmah hidup dari membaca buku-buku itu. Tetapi kiranya tidak cukup jika bangsa kita ingin maju hanya dengan membaca buku-buku haw to dan novel, kita perlu lagi memperbanyak bacaan buku-buku ilmiah dan hasil penelitan yang sarat ilmu pengetahuan, agar daya kritis dan kemampuan menganalisa persoalan semakin tajam. Bangsa-bangsa maju di dunia, memiliki banyak hasil penelitian ilmiah. Sedangkan di Indonesia berdasar data Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI), hingga saat ini jumlah jurnal ilmiah (cetak) di Indonesia hanya sekitar 7.000 buah. Dari jumlah itu hanya 4.000 jurnal yang masih terbit secara rutin. Bukti lain dari hasil penelitian Journal and Country Rank pada 2011, selama kurun waktu 1996-2010 Indonesia memiliki 13.047 jurnal ilmiah. Dari 236 negara Indonesia berada di posisi ke-64, jauh di bawah negara tetangga Malaysia dan Thailand yang masing-masing telah memiliki 55.211 jurnal ilmiah dan 58.931 jurnal ilmiah.
Penelitian itu hanya menyangkut jurnal-jurnal yang ada di Indonesia. Belum lagi jika kita melakukan penelitian terkait jumlah buku-buku ilmiah, tentu juga sangat minim. Oleh karena itu, sebagai genarasi masa depan bangsa, kita mestinya tidak hanya rajin membaca buku-buku haw to dan novel, tetapi juga harus memperbanyak membaca buku-buku ilmiah yang sarat pengetahuan. Bagaimanapun, membaca buku-buku ilmiah itu menjadi prasarat penting untuk menjadi negara maju. Negara-negara maju di dunia memiliki minat baca yang tinggi, bukan hanya membaca ‘buku-buku ringan’, tetapi juga ‘buku-buku berat’. ‘Buku-buku berat’ membuka cakrawala berpikir kita menjadi semakin kritis dan maju.
Masduri, Aktivis Gerakan IAIN Sunan Ampel Menulis (GISAM) Fakultas Ushuluddin dan Pustakawan Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 2 Juni 2013
SEKITAR dua bulan yang lalu saya berkesempatan berkunjung pada salah satu penerbit di Yogyakarta. Karyawan penerbit itu banyak mengeluhkan problem pemasaran karena buku-buku terbitannya kurang banyak diminati pembeli. Minimnya minat pembeli bukan karena buku terbitannya tidak berkualitas, namun karena buku-buku terbitannya membuat dahi berkerut saat membacanya. Buku-buku tersebut biasanya sering disebut ‘buku berat’. Berat bukan karena jumlah halamannya banyak. Tetapi karena saat membacanya kita perlu konsentrasi penuh. Kadang untuk memahaminya dengan baik, butuh waktu lama dalam membacanya. Bahkan perlu dibaca berulang-ulang. Buku jenis ini sering disebut buku ilmiah.
Karyawan penerbit buku itu juga secara terbuka menyampaikan bahwa minimnya minat pembeli terhadap buku-buku terbitannya, karena sekarang ini banyak penerbit yang menerbitkan buku-buku panduan (haw to), seperti buku tips cepat sukses, kiat memperoleh beasiswa, motivasi hidup, atau pula buku-buku novel, catatan harian, dan sejenisnya. Buku jenis ini sering disebut ‘buku ringan’. Lagi-lagi ringan bukan karena jumlah halamannya sedikit, tetapi untuk memahami buku jenis ini kita tidak perlu mengerutkan dahi. Membaca buku jenis ini bisa dijadikan sebagai hiburan diri. Bisa pula dibacanya saat sambil melakukan aktivitas lain. Singkatnya, buku ini sangat ringan sekali cara kita membacanya. Karena pembahasannya tidak jelimet. Sederhana, mudah, dan praktis.
Kerisauan yang disampaikan salah satu karyawan penerbit buku itu, bukan sekedar persoalan buku-buku terbitannya tidak laku di pasaran. Namun, lebih dari itu ia juga sempat menjelaskan tentang nasib generasi masa depan Indonesia. Kekhawatiran itu lantaran sekarang sangat minim sekali pelajar atau mahasiswa, termasuk juga guru dan dosen, yang suka membaca ‘buku berat’ itu. Hampir semuanya sekarang lebih suka membaca buku-buku haw to dan novel. Sebab buku-buku jenis ringan ini lebih mudah dibacanya. Untuk menamatkan satu buku tidak butuh berhari-hari, dalam hitungan jam pun bisa selesai. Tetapi kandungan pengetahuan dalam ‘buku-buku ringan’ ini sangat minim sekali. Berbeda dengan buku-buku ilmiah, kandungan pengetahuannya sangat banyak sekali. Bahkan dalam semua paragraf sarat dengan kandungan pengetahuan.
Jika bangsa kita jarang membaca buku-buku yang sarat dengan pengetahuan, tentu ancaman kemajuan bangsa Indonesia semakin nyata. Bacaaan-bacaan yang sarat dengan pengetahuan itu akan mengantarkan pembacanya menjadi intelektual mapan dengan daya kritis yang tinggi. Sehingga mampu membaca beragam problem kebangsaan secara baik dan benar sesuai dengan spesifkasi keilmuan yang dimlikinya. Kita butuh pakar dalam segala bidang keilmuan, agar mampu memajukan semua aspek kehidupan bangsa Indonesia. Menjadi negara maju dan berkeadaban butuh banyak intelektual mapan yang mampu menggerakkan bangsanya agar selalu bekerja untuk kemaslahatan bersama. Untuk mencapai itu, tentu butuh anak-anak bangsa yang merelakan dirinya membaca buku-buku sarat pengetahuan berjam-jam.
Selama ini bangsa kita masih termasuk negara dengan minat baca yang sangat minim. Masyarakat Indonesia lebih suka mencari informasi lewat televisi dan radio ketimbang buku atau media baca lainnya. Laporan bank Dunia no.16369-IND (Education in Indonesi from Crisis to Recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Data Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukan bahwa penduduk Indonesia yang menjadikan baca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5 persen. Sedangkan yang menonton televisi 85,9 persen dan mendengarkan radio 40,3 persen.
Yang lebih menyedihkan, dari penelitian yang dilakukan Center for Social Marketing (CSM) tahun 2006, perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, Indonesia mendapat poin nol. Perbandingannya, di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku. Pada Tahun 2011 berdasarkan survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) rendahnya minat baca di Indonesia sangat buruk, yakni 0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi).
Pun di tahun 2012, Indonesia berada pada posisi 124 dari 187 Negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk di dalamnya kebutuhan pendidikan, kesehatan dan melek huruf. Indonesia sebagai negara berpenduduk 165,7 juta jiwa lebih, hanya memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Itu artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang. Minimnya minat baca ini menjadi keperihatinan mendalam, ditambah lagi buku bacaan mereka tidak sarat dengan pengetahuan. Artinya, dari jumlah hasil penelitian terhadap minat baca masyarakat Indonesia yang sangat minim itu, buku-buku yang dibaca itu pun tidak sarat dengan pengetahuan. Masyarakat Indonesia sangat jarang membaca buku-buku ilmiah. Kesukaran dalam memahami buku-buku itu menjadi kendala utama, sehingga bangsa kita banyak beralih bacaan pada buku-buku ringan yang tidak memiliki banyak ilmu pengetahuan.
Akibatnya, banyak sekarang penerbit yang mencoba menyesuaikan dengan minat pembeli. Penerbit yang biasanya menerbitkan ‘buku berat’ sekarang mulai sedikit menyesuaikan dengan selera pasar, dengan menyederhanakan bahasa buku itu agar tidak terlalu sulit pembeli untuk memahaminya, atau bahkan ada pula yang sudah berubah bidikan, jika dulu terbitannya ‘buku-buku berat’, namun karena selera pasar sekarang berubah, mereka juga ikut-ikutan menerbitkan ‘buku ringan’, seperti buku-buku haw to dan novel. Sehingga sekarang jarang ‘buku-buku berat’ beredar di pasaran. Hampir semuanya ‘buku-buku ringan’.
Saya di sini, tidak mengatakan bahwa buku-buku how to atau novel tidak berkualitas, namun buku-buku jenis ini tidak sarat dengan pengetahuan. Kita bisa banyak mendapatkan tips dan hikmah hidup dari membaca buku-buku itu. Tetapi kiranya tidak cukup jika bangsa kita ingin maju hanya dengan membaca buku-buku haw to dan novel, kita perlu lagi memperbanyak bacaan buku-buku ilmiah dan hasil penelitan yang sarat ilmu pengetahuan, agar daya kritis dan kemampuan menganalisa persoalan semakin tajam. Bangsa-bangsa maju di dunia, memiliki banyak hasil penelitian ilmiah. Sedangkan di Indonesia berdasar data Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI), hingga saat ini jumlah jurnal ilmiah (cetak) di Indonesia hanya sekitar 7.000 buah. Dari jumlah itu hanya 4.000 jurnal yang masih terbit secara rutin. Bukti lain dari hasil penelitian Journal and Country Rank pada 2011, selama kurun waktu 1996-2010 Indonesia memiliki 13.047 jurnal ilmiah. Dari 236 negara Indonesia berada di posisi ke-64, jauh di bawah negara tetangga Malaysia dan Thailand yang masing-masing telah memiliki 55.211 jurnal ilmiah dan 58.931 jurnal ilmiah.
Penelitian itu hanya menyangkut jurnal-jurnal yang ada di Indonesia. Belum lagi jika kita melakukan penelitian terkait jumlah buku-buku ilmiah, tentu juga sangat minim. Oleh karena itu, sebagai genarasi masa depan bangsa, kita mestinya tidak hanya rajin membaca buku-buku haw to dan novel, tetapi juga harus memperbanyak membaca buku-buku ilmiah yang sarat pengetahuan. Bagaimanapun, membaca buku-buku ilmiah itu menjadi prasarat penting untuk menjadi negara maju. Negara-negara maju di dunia memiliki minat baca yang tinggi, bukan hanya membaca ‘buku-buku ringan’, tetapi juga ‘buku-buku berat’. ‘Buku-buku berat’ membuka cakrawala berpikir kita menjadi semakin kritis dan maju.
Masduri, Aktivis Gerakan IAIN Sunan Ampel Menulis (GISAM) Fakultas Ushuluddin dan Pustakawan Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 2 Juni 2013
No comments:
Post a Comment