ALMARHUM Rachmat M. Sas. Karana merupakan salah seorang penyair penting dalam perkembangan dan pertumbuhan puisi Sunda modern, yang muncul setelah generasi Ajip Rosidi dan Sayudi. Dari tangan Sayudi lahir kumpulan puisi "Lalaki di Tegal Pati" (1963). Kumpulan puisi ini merupakan kumpulan puisi pertama yang terbit dalam bentuk buku dalam khazanah sastra Sunda modern. Terbitnya kumpulan puisi tersebut, disusul dengan terbitnya kumpulan puisi "Ombak Laut Kidul" (1966) dari tangan Rachmat M. Sas. Karana, lalu kumpulan puisi "Janté Arkidam" (1967) dari tangan Ajip Rosidi.
Ajip dan Sayudi mulai menulis puisi dalam bahasa Sunda sejak pertengahan 1950-an, sebagaimana yang termuat dalam kedua buku tersebut. Sementara Rachmat M. Sas. Karana mulai menulis puisi dalam bahasa Sunda pada awal 1960-an. Sebagaimana Ajip Rosidi, Rachmat M. Sas. Karana menulis pula sejumlah puisi dalam bahasa Indonesia. Bedanya, puisi-puisi yang ditulis oleh Ajip dalam bahasa Indonesia terbit dalam sejumlah buku tunggal, sedangkan yang ditulis Rachmat, selain dipublikasikan di majalah Budaya Jaya juga dipublikasikan dalam antologi puisi, cerita pendek, dan petikan novel, "Laut Biru Langit Biru" (1977) dengan editor Ajip Rosidi.
Terbitnya tiga kumpulan puisi yang ditulis dalam bahasa Sunda tersebut, pada satu sisi tidak lepas dari peran Ajip Rosidi yang pada masa-masa itu mengelola Penerbit Kiwari dan Penerbit Tjupumanik. Kedua penerbit tersebut, kini sudah tiada. Dengan hadirnya dua penerbit tersebut, menunjukkan bahwa Ajip Rosidi mempunyai perhatian yang serius dalam menumbuhkembangkan sastra Sunda modern, yang tidak tertuju pada penerbitan buku-buku puisi saja.
Pada sisi yang lain, ironi terjadi. Bila selama ini banyak kalangan menilai bahwa penyair Kis Ws dikenal sebagai pelopor puisi Sunda modern, maka almarhum Kis Ws tidak menerbitkan satu pun kumpulan puisi tunggal. Lain halnya dengan almarhum penyair Chairil Anwar dalam sastra Indonesia modern, yang dikenal sebagai pelopor penulis puisi Indonesia modern, pernah menerbitkan kumpulan puisi tunggal. Kumpulan puisi Chairil Anwar ini, di kemudian hari disatukan oleh Pamusuk Eneste dengan judul "Aku Ini Binatang Jalang" (1987) mengalami cetak ulang berkali-kali.
**
TENTU saja dalam perjalanannya sebagai penyair Sunda modern, Rachmat tidak hanya menerbitkan kumpulan puisi "Ombak Laut Kidul", tetapi juga menerbitkan kumpulan puisi "Tepung di Bandung" (1972) dan "Surat Panjang ti Cijulang" (1983). Penyair kelahiran Cijulang, Ciamis, 8 Desember 1942 ini, meninggal di Bandung pada 2002. Tulisan ini, tidak akan membicarakan dua kumpulan puisi Rachmat yang terbit pada 1970-an dan 1980-an, akan tetapi lebih tertuju pada kumpulan puisi "Ombak Laut Kidul", yang di dalamnya sarat dengan muatan kritik sosial, yang berkait erat dengan situasi sosial-politik pada zaman Orde Lama.
"Ombak Laut Kidul" berisi 23 puisi, terbagi dalam dua kumpulan. Kumpulan pertama diberi judul "Kacapi `Na Peuting Sepi" (12 puisi) dan "Ombak Laut Kidul" (11 puisi). Pada kumpulan puisi pertama, Rachmat banyak mengungkap persoalan sosial, mulai dari nasib wanita yang dijerat kemiskinan terpaksa menjual diri (jadi pelacur) di Tegallega, seperti dalam puisinya yang diberi judul "Di Tegallega" dan "Leumpang Peuting", yang ditulis pada 1964 dan 1963. Dalam puisi "Leumpang Peuting" yang ditulis dengan gaya ucap naratif itu, Rachmat menulis, Suku beurat momot beusi/ Kuring leumpang mapay-mapay jalan sepi/ Dayeuh kadeudeuh tibra keur ngimpi/ Dikeukeupan angina peuting/ Ngampar di luhureun wuwung// Awéwé-awéwé nu mawa sawarga na leungeunna/ kuku maung na haténa/ di tempat nu remeng-remeng, maranehna ngajaranteng/ ngadagoan kuda nu boseuneun jukut di kandang/ manuk nu poho bojo jeung endogna dina sayang//
Petikan puisi tersebut dengan gamblang mengungkap pandangan mata sang aku lirik terhadap dunia sekitarnya dalam kehidupan malam. Dalam puisi yang ditulis dengan ungkapan dan kalimat sederhana itu, bisa kita dapatkan metafora yang cukup menyegarkan pada zamannya, seperti menggambarkan lelaki hidung belang dengan ungkapan kuda nu boseuneun jukut di kandang, dan untuk menggambarkan nafsu birahi yang tidak terkendali dengan ungkapan manuk nu poho bojo jeung endogna dina sayang.
Ungkapan ini tentu saja cukup mengejutkan, dan cukup hidup, setelah sebelumnya Rachmat dengan tapis menggambarkan perempuan malam sebagai Awéwé-awéwé nu mawa sawarga na leungeunna/ kuku maung na haténa/. Ungkapan ini sarat dengan ironi. Surga yang dimaksud tentu saja adalah kesenangan sesaat, yang membuat batin si pelaku perzinahan jadi kelam. Dalam konteks inilah, kemiskinan diungkap Rachmat dengan ungkapan yang cukup menyentak dan terasa perih di hati si pembaca puisi-puisinya, yakni lewat ungkapan kuku maung na haténa. Maung (harimau) yang lapar itu akan selalu siap menerkam korban dengan mengeluarkan kuku cakarnya. Kelaparan dalam konteks demikian digambarkan atau disimbolkan dengan binatang buas, yang siap memakan korbannya biasa siapa saja.
Pada awal 1960-an hingga terbentuknya pemerintahan rezim Orde Baru pada awal-awal kekuasaannya, Indonesia memang dilanda kemiskinan yang luar biasa. Nilai rupiah tidak hanya jatuh pada saat itu, kondisi sosial politik pun sungguh buruk. Apalagi setelah terjadinya G-30-S PKI pada 1965, yang menyebabkan terjadinya demonstrasi mahasiswa besar-besaran. Ujung dari buruknya situasi ekonomi pada politik pada zaman itu, rezim penguasa Orde Lama, Presiden Soekarno terjungkal.
Kemiskinan rakyat yang dalam hal ini diwakilkan dengan perempuan malam yang bernasib malang itu, dalam larik-larik awal puisi Di Tegallega, Rachmat menggambarkannya seperti ini: Mun ti peuting beungeutna bodas/ Bilik bobo anyar dipulas/ Mun ti beurang rupana pias/ Lantaran teu boga beas// Maranéhna narangtung/ Ngawurkeun imut sisi jalan/ Mapag peuting ngadu untung/ Langit angkeub teu dipirosea/ da asih lain baturna//
Jika Rendra mengatakan bahwa dalam sajak-sajak sosial yang ditulisnya, khususnya yang terkumpul dalam antologi puisi "Potret Pembangunan Dalam Puisi" mempunyai kekuatan grafis, maka hal itu, dalam puisi Sunda modern sudah dimulai oleh Rachmat pada 1960-an. Tentu saja mengenai hal ini, harus ditelisik lebih lanjut. Apa yang ditulis Rendra dan Rachmat memang berbeda, namun keduanya memiliki kesamaan yang esensial, yakni menulis puisi dengan sintaksis dan semantik yang sederhana. Dalam puisi yang bernapaskan sosial itu, sudah dimulai Rendra lewat kumpulan puisi "Blues untuk Bonnie", yang juga menyinggung soal dunia pelacuran di zaman rezim Orde Lama. Puisi-puisi itu ditulis ketika Rendra tinggal di Amerika Serikat (1967-1969).
Puisi naratif yang ditulis Rachmat tidak menghadirkan tokoh, sebagaimana puisi epik yang ditulis Ajip dalam buku "Janté Arkidam" atau dalam buku puisi Sayudi, "Lalaki di Tegal Pati". Puisi yang ditulis Rachmat pada zamannya, sebagaimana Ajip dan Sayudi telah memberikan warna baru bagi perkembangan dan pertumbuhan puisi Sunda modern, yang tidak begitu silau dengan bentuk-bentuk pengucapan puisi yang datangnya dari Barat, sebagaimana penyair Wahyu Wibisana yang pada awal-awal kepenyairannya tertarik dengan bentuk pengucapan soneta, sebagaimana yang coba ditumbuhkembangkan oleh para penyair Angkatan Pujangga Baru, dalam puisi Indonesia modern, sebelum Chairil Anwar muncul yang oleh Goenawan Mohamad disebut sebagai penyair avant-garde angkatan pertama.
Sebab ruangan yang tersedia untuk tulisan ini terbatas, tentu saja tidak semua puisi Rachmat bisa dibicarakan dengan tuntas. Ini hanya tulisan sekilas saja, bahwa apa yang disebut dengan sastra kontekstual itu, ada dan berkembang dalam puisi Sunda modern, yang dari generasi ke generasinya ditulis dengan gaya ucap yang khas. Kalau Rachmat membebaskan diri dari penulisan puisi lama (dangding, carita pantun, jangjawokan), dalam puisi Ajip dan Sayudi justru kekuatan puisi lama dari carita pantun dan jangjawokan dieksplorasi sedemikian rupa, sehingga menghasilkan karya sastra yang layak untuk diapresiasi hingga kini. Paling tidak, demikian Rachmat hadir ke tengah-tengah kita, dan apa yang diwariskannya itu layak untuk dicatat dan diberi tempat terhormat. (Soni Farid Maulana/"PR")
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 27 Juni 2010
No comments:
Post a Comment