TANPA melalui sebuah pameran, karya seorang seniman bisa saja ujug-ujug ada di balai lelang. Tentu saja ini tak lazim, tetapi inilah fenomena mutakhir dalam pasar seni rupa Indonesia. Fenomena ini tentu saja tidak berdiri sendiri. Munculnya para kolektor baru dengan antusiasme mereka yang besar pada seni rupa kontemporer Indonesia, telah melahirkan berbagai balai lelang. Uniknya, balai lelang yang semestinya berperan sebagai secondary market, malah turun "jemput bola".
Mereka seolah merasa tidak perlu lagi bersikukuh menunggu tumpahan karya dari pameran-pameran di galeri. Akan tetapi langsung memintanya pada seniman, meski karya itu belum dipamerkan. Dan inilah yang membuat tidak nyaman para pemilik galeri, terlebih ketika harga suatu karya di balai lelang lebih ditentukan oleh tingkat kuantitas antusiasme apresiasi publik, bukan kualitas karya itu sendiri. Belum lagi acuannya cenderung pada siapa saja yang telah mengoleksi karya tersebut.
"Fenomena ini tidak sepenuhnya buruk. Banyak galeri dan dealer pasar domestik dalam mempromosikan karya seniman tidak memiliki jaringan yang lebih luas, selain dari para kolektor yang mereka ketahui," ujar Amalia Wirjono, Bisnis Development Balai Lelang Cristie`s Indonesia.
Dalam pandangan Amalia, dengan strategi mengikutsertakan karya seniman tertentu dalam lelang, pasar yang lebih luas akan terbuka karena katalog dari beberapa balai lelang akan mencapai audiens internasional. Karya seniman tersebut akan dilihat oleh audiens yang lebih besar dan ini adalah perkembangan positif.
Akan tetapi, perempuan cantik yang hari itu tampil sebagai pembicara dalam diskusi "Seni Rupa Indonesia Dalam Hegemoni Pasar" itu tak menampik bahwa di balik fenomena yang disebutnya positif itu, terdapat juga dampak negatifnya. Akan tetapi, alih-alih melihat implikasi negatifnya itu keseluruhan wacana pasar, Amalia lebih melihat pengaruh negatif itu terjadi pada pola kerja seniman.
"Tentu saja ada perkembangan yang kurang positif, misalnya, seniman jadi tidak bisa konsentrasi penuh pada rencana pamerannya karena harus menghasilkan karya untuk mengejar jadwal lelang. Seniman akan membedakan kualitas karya yang akan ditawarkan melalui lelang dan yang akan disertakan dalam pameran," tuturnya.
Dalam pointers makalahnya, perempuan yang bekerja di balai lelang tertua di dunia yang bermarkas di London Inggris ini, mengatakan dalam dua atau tiga tahun ini memang telah terjadi perluasan jaringan kolektor. Kolektor baru ini, kata dia, akan terus berkembang dan mengoleksi jika seniman, galeri, dan balai lelang selalu berinteraksi memberi panduan dan arahan demi mengembangkan minat mereka.
"Ini sama banyaknya dengan antara mengumpulkan minat kolektor baru dengan melayani kolektor lama," katanya.
Perkembangan pasar seni rupa yang menggairahkan, bukan rahasia umum lagi, telah memunculkan banyak spekulan. Mereka membeli sebuah karya di galeri tetapi tanpa menunggu lama melemparnya ke balai lelang. Spekulasi ini tentu saja tak hanya merugikan galeri tetapi juga seniman, apalagi ketika ternyata harga karyanya di balai lelang malah anjlok.
Menyikapi fenomena yang tidak sehat ini, Amalia mengatakan balai lelang seperti Criestie`s tentu saja merasa prihatin seraya lebih sensitif dengan persepsi dan reaksi yang terlibat di dalamnya. Bagaimanapun, menurut dia, Cristie`s tidak mendukung praktik spekulasi dalam art market. "Jika kami menghadapi kasus seperti ini, kami akan menanyakan dan memastikan bahwa ini tidak menyalahi kontrak yang sudah disepakati seperti lock-periods. Kami juga memastikan pada seniman, galeri, dan kolektor bahwa mereka mengerti bahwa spekulator tidak mendukung dinamika pasar," ujarnya .
Kecenderungan para spekulan memang membuat sejumlah galeri membuat kontrak perjanjian yang mengikat dengan para kolektor yang memberi karya dalam sebuah pameran, bahwa karya tersebut baru bisa dilempar ke balai lelang setelah sekian tahun dari pembelian.
"Galeri harus hati-hati memilih kliennya. Balai lelang harus hati-hati bekerja sama dengan pemilik karya dan mesti bisa dipertanggungjawabkan. Seniman harus memastikan bahwa ia menjual karya pada individu yang bertanggung jawab melalui jalan yang benar, seperti galeri yang mewakili mereka dan transparan dalam hal harga. Semua pihak harus menjalani peran masing-masing untuk mengurangi tendensi spekulasi," ujar Amalia menambahkan. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 13 Juni 2010
No comments:
Post a Comment