-- Yudhi Herwibowo
ADA satu hal yang terlupa di tengah semangat dan ambisi berbagai universitas di Indonesia untuk meraih gengsi dalam peringkat perguruan tinggi yang ditetapkan oleh lembaga independen, mulai dari tingkat global hingga regional. Hal itu adalah sebuah kenyataan historis tentang kemampuan bangsa kita mendirikan dan mengembangkan sebuah universitas yang bergengsi dan berwibawa, bahkan untuk tingkat dunia. Itu terjadi lebih dari seribu tahun yang lalu.
Namun, kenyataan itu tertutupi, terlupa, bahkan tidak kita akui sendiri karena cara kita mengacu dan menetapkan standar yang terlalu dipengaruhi oleh lembaga-lembaga penilai dan universitas di belahan Barat.
Kita ingat kembali sejarah universitas ”modern” yang ikut membentuk identitas, kualitas, hingga moralitas pendidikan di negeri ini. Selama masa kolonial, didirikan beberapa lembaga pendidikan tinggi, antara lain Schoolter Opleidingvoor Indische Artsen-STOVIA (1851), Opleidingschool van Inlandsche Rechtskundingen (1909), Nederlandsch-Indische Artsenscholl-NIAS (1913), dan Technische Hogeschool (1920). Beberapa lembaga pendidikan ini mengkhususkan pada jenis pendidikan teknik, hukum, dan kedokteran (Markum, 2007).
Sejarah pendidikan ini dilanjutkan dengan pendirian Universitas Islam Indonesia (1945), Universitas Nasional (1949), Universitas Gadjah Mada (1949), dan Universitas Indonesia (1950). Sejarah adalah cerminan kita untuk menentukan kualitas diri, identitas, dan karakter.
Kita semestinya menyadari, sistem pendidikan tinggi di Timur Tengah dan Eropa sudah dimulai sejak lama, antara lain Universitas Al Azhar (988), Universitas Paris (1150), Universitas Oxford (1167), Universitas Bologna (1158), dan Universitas Humboldt (1810).
Sejak Sriwijaya
Universitas dalam bahasa Latin berarti seluruh manusia. Pengertian ini jika dipahami secara luas memiliki sejarah yang lebih panjang dan pada mulanya berbeda dengan pemahaman standar tentang pendidikan modern. Dalam catatan, penggunaan istilah ”universitas” pertama kali terdapat dalam teks klasik Cicero (43 SM). Semula istilah ini dimaknai sebagai sejumlah orang (plurality), keseluruhan ataupun masyarakat (societies), atau perguruan tinggi (collegium) (Nor Wan Daud, 2003).
Dengan pemahaman istilah ”universitas” di atas, berarti sebelum berdirinya Universitas Al Azhar di Mesir, masih terdapat sejarah yang lebih panjang berdirinya pendidikan tinggi kuno di kawasan Asia dan belahan dunia lain. Universitas Shangyang di China, misalnya, sudah tercatat sejak 21 SM, sementara di India tercatat Universitas Nalanda yang telah ramai dibicarakan sejak abad kelima SM.
Begitu pun di Nusantara, di negeri ini juga mencatat sejarah pendidikan tinggi kuno pada masa kerajaan laut Sriwijaya, dari sejak abad ketujuh Masehi. Sebuah ”universitas” yang lebih mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan, sebagaimana banyak perguruan tinggi agama saat ini. Pada masa itu, agama ”modern” yang kuat dipeluk dan tersebar di negeri itu adalah Buddha. Namun, penelitian tentang keberadaan pendidikan tinggi Budha ini masih jarang tersentuh ahli sejarah, yang umumnya lebih tertarik meneliti politik, ekonomi, atau kebudayaannya. Itu pun masih jauh dari lengkap dan tuntas.
Maka sejarah kerajaan Sriwijaya selama beberapa abad tetap misteri. Sampai setidaknya coba diungkap oleh sejarawan Perancis, George Coedes, dalam karyanya, Le royaume de Crivijaya, 1919. Sejak itu, pengungkapan sejarah Sriwijaya dilakukan oleh banyak ahli dengan berbagai keterbatasan sumber dan bukti.
Sumber China, berdasarkan catatan dan memoar I-Tsing, menyebutkan banyak informasi penting mengenai Sriwijaya, termasuk keberadaan pendidikan tinggi Buddha yang terpusat di Palembang.
Pusat pendidikan di Sriwijaya itu dianggap sebagai salah satu pusat pengajaran agama Buddha terpenting di Asia Tenggara sejak abad ke-7 sampai abad ke-10.
Inspirasi
Paul Michel Munoz (2009) menginformasikan, hampir semua pendeta China yang melakukan perjalanan laut antara China dan India akan singgah di Sriwijaya untuk belajar di sejumlah lembaga pendidikan. Mempelajari bahasa Sanskerta dan mempersiapkan bekal untuk melanjutkan studi ke Universitas Nalanda di India. I-Tsing mencatat, ”Dalam benteng kota Fo-Che, ada lebih dari seribu pendeta yang hasratnya hanya tertuju pada pengkajian ayat-ayat suci dan perbuatan baik. Mereka mempelajari semua pelajaran seperti yang ada di India.”
Bahkan, dalam memoarnya, I-Tsing juga menuliskan, ia kemudian menempuh studi di Nalanda selama 10 tahun dan memilih kembali ke Palembang selama empat tahun untuk mencatat dan menerjemahkan teks-teks penting dari India ke dalam bahasa China.
Aktivitas ini seperti membuktikan, betapapun agama Buddha mungkin lebih dulu datang ke China, dalam soal pendidikan tingginya, Indonesia (Sriwijaya) adalah salah satu acuan utamanya.
Namun, kini masa jaya pendidikan tinggi itu telah berlalu. Peninggalan sistem, metode, cara kuliah, atau semua hal mengenai pendidikan tinggi yang dapat menjadi acuan berharga universitas modern tidak (atau belum) ditemukan peninggalan catatannya.
Sebuah kerja serius perlu dilakukan ketimbang sekadar mencari sumber tiruan atau acuan yang sembrono pada sejarah universitas di Barat. Bukankah ini juga sebuah jalan untuk menemukan kekuatan, dalam arti lain jati diri, kita sendiri?
* Yudhi Herwibowo, Penulis Novel Pandaya Sriwijaya dan Koordinator Buletin Sastra Pawon, Solo
Sumber: Kompas, Sabtu, 19 Juni 2010 | 05:02 WIB
No comments:
Post a Comment