Sunday, June 13, 2010

Menyoal Hegemoni Pasar

PASAR adalah implikasi dari tindakan mengonsumsi. Begitu semestinya. Pasar, dalam pengertian semacam itu, merupakan akibat dari adanya pertemuan antara penawaran dan permintaan yang mendasar pada kebutuhan. Dalam pemahaman inilah pasar bukanlah sesuatu yang diniatkan karena memang penawaran dan permintaan merupakan dua hal yang sudah menjadi niscaya. Hanya, lain perkaranya ketika penawaran dan permintaan itu timbul karena kebutuhan yang diciptakan oleh pasar itu sendiri. Pasar telah mengubah kebutuhan menjadi keinginan untuk sekadar mengonsumsi tanpa pemahaman yang lebih jauh ihwal sesuatu yang dikonsumsi itu.

"HARLEEM Shutle" cat air di atas kertas 3,5 x 25 cm karya Mimi Fadmi.*

Pasar akhirnya dipenuhi oleh berbagai kepentingan yang serbapragmatis. Produksi, distribusi, dan konsumsi tidak lagi menjadi elemen-elemen yang membentuk pasar, melainkan ketiganya dibentuk oleh pasar. Di dalam pasar semacam ini, seluruh infrastruktur dikondisikan, bahkan dikendalikan oleh sejumlah kepentingan yang melulu mencari untung. Pragmatisme dan mencari untung tampaknya memang telah menjadi tabiat pasar. Akan tetapi, ketika keduanya melulu menjadi tujuan, pasar telah berubah menjadi panglima. Ia telah menjadi sebuah hegemoni yang menggerakkan produksi, distribusi, konsumsi, dan segenap infrastruktur di dalamnya, menjadi demikian dangkal. Terlebih pasar itu menautkan dirinya pada apa yang disebut dengan karya seni.

Inilah pasar yang membayangi perkembangan mutakhir seni rupa Indonesia. Pasar yang menjadi panglima dan hegemoni di tengah kondisi medan sosial seni yang tunaacuan. Museum, galeri, balai lelang, seniman, kurator, kritikus, kolektor, media, berada dalam situasi yang tumpang tindih. Pragmatisme galeri komersial, balai lelang yang dianggap main serobot, kurator yang gagal yang melihat kelebihan seniman karena lebih asyik dengan berbagai teori, seniman yang gagap mengartikulasikan kesenimanannya, dan snobisme para kolektor yang mengoleksi berbagai karya hanya karena telinga ketimbang menggunakan mata.

Demikian sekelumit perbincangan yang mengemuka dalam dua sesi diskusi "Seni Rupa Indonesia Dalam Hegemoni Pasar" di Platform 3 Bandung, Jumat (11/6). Diskusi ini menghadirkan pembicara Edwin Rahardjo dari Edwin`s Gallery, Amalia Wirjono (Balai Lelang Cristie`s), Heri Dono (seniman), Hendro Wiyanto (kurator), dengan moderator Agung Hujatnikajenong.

Meski masih menyoal perkara lama, diskusi ini menarik bukan karena menghadirkan dua pembicara yang dianggap sebagai representasi dari dua institusi yang selama ini saling berhadapan dalam pasar seni rupa Indonesia, yakni, galeri dan balai lelang. Namun, diskusi yang dihadiri oleh seniman dan para kolektor ini mengemuka dalam berbagai lalu lintas pemikiran yang saling bersilangan, seraya mencoba mengurai antara kondisi yang ideal dan kenyataan yang berlangsung.

**

DENGAN pembicara Edwin Rahardjo dan Amalia Wiyanto, sesi pertama membawa diskusi pada kenyataan yang terjadi dalam ruang-ruang infrastruktur seni rupa. Dari mulai balai lelang, galeri, hingga kolektor. Sesi ini menarik karena menghadapkan dua institusi yang dalam pasar seni rupa Indonesia diam-diam menjadi kompetitor. Booming pasar seni rupa Indonesia yang menggiurkan, dianggap telah membuat sejumlah balai lelang bermunculan. Dan watak apresiasi suatu karya di balai lelang cenderung tidak pada kualitas karya, melainkan pada siapa yang meminatinya. Harga amat ditentukan oleh apresiasi publik, bukan oleh kualitas karya itu sendiri. Kondisi ini diperparah oleh minimnya tingkat apresiasi para kolektor sehingga mereka mengoleksi suatu karya dengan rujukan pada siapa yang telah mengoleksi karya tersebut.

Kenyataan ini mau tak mau mengganggu fluktuasi harga yang tentu saja membuat tidak nyaman sejumlah galeri. Padahal idealnya galeri merupakan primary market, dan balai lelang adalah secondary market, atau dalam bahasa Edwin Rahardjo hanya menjual barang bekas.

Kondisi infrastruktur semacam inilah yang hendak diurai. Meski sayup-sayup Edwin Rahardjo memandang bahwa balai lelang menyebabkan rancunya standarisasi harga yang melulu berdasarkan apa yang disukai publik, tetapi ia juga menegaskan betapa kondisi yang terjadi demikian tumpang tindih. Jika di negara maju museum merupakan salah satu acuan, maka di Indonesia tak ada acuan yang jelas untuk menilai kualitas sebuah karya. Belum lagi perilaku kolektor di Indonesia juga tak bisa dilepaskan dari masalah pendidikan seni di negeri ini.

"Kendala lain dalam pasar seni rupa adalah minimnya informasi seni, belum lagi kolektor yang belum memiliki tradisi membaca," ujarnya.

Seolah mengimbangi pandangan Edwin yang mengarah pada kesan bahwa balai lelang telah menjadi sebab kian rendahnya apresiasi para kolektor, Amalia Wirjono menyebutkan bagaimana Cristie`s pernah menghadirkan Tan Boon Hui (Direktur Singapore Art Museum), Patrick Flores (sejarawan seni Filipina), dan Mella Jarsma (seniman). Mereka dihadirkan bukan hanya untuk memperluas jaringan kolektor, tetapi juga mengarahkan para kolektor untuk belajar ihwal perkembangan seni.

Primary market dan secondary market, seperti yang banyak diurai oleh Amalia sebenarnya adalah kategori yang mapan, untuk tidak menyebutnya ideal. Akan tetapi, di Indonesia batasan kedua kategori itu menjadi bias. Museum yang semestinya menjadi acuan nyatanya belum bisa diharap banyak. Dan selama lima tahun terakhir ini pasar seni rupa Indonesia fluktuasinya turut naik karena didorong munculnya berbagai balai lelang. Inilah situasi spesifik yang tidak terjadi di negara lain.

Sejumlah tanggapan pun mengemuka dan saling mengkritisi. Andono, misalnya, melihat bahwa situasi tumpang tindih ini juga terjadi di negara lain. Museum dan bienalle tidak lagi menjadi acuan, tapi telah bergeser ke art fair.

Demikian juga Syafik Sungkar yang mempertanyakan penjelasan Amalia yang menyebut Cristie`s sebagai secondary market, yang pada kenyataannya melelang karya Masriadi yang langsung diambil dari senimannya. Sementara Rudi St. Dharma langsung mempertanyakan posisi hubungan galeri dan balai lelang, antara harmonis dan kompetitor.

Sayangnya, menanggapi pertanyaan tadi, jawaban Amalia terkesan normatif. Hal itu bisa dimaklumi karena ia dalam beberapa hal tidaklah sepenuhnya menjadi representasi dari lembaga raksasa seperti Balai Lelang Cristie`s. Ia menyatakan, hubungan galeri dan balai lelang berlangsung baik karena memang begitulah semestinya. "Apakah galeri kompetitor balai lelang? Bukan, karena tugas kami berbeda," ujarnya.

Dan inilah yang ditampik Edwin dengan menyebut kondisi yang disebut Amalia itu hanya terjadi dalam kondisi yang ideal. "Cuma kita kan sekarang tidak dalam kondisi ideal. Semua sekarang semrawut. Peran galeri pun jadi sulit," katanya.

**

JIKA sesi pertama menggiring situasi infrastruktur pasar seni rupa pada hubungannya dengan sejarah seni rupa Indonesia, sesi kedua mengemuka dalam perbincangan ihwal hubungan seniman, kurator, dan galeri. Dalam sesi dengan pembicara Heri Dono dan Hendro Wiyono ini terjadi suasana yang saling mengkritisi antara kurator dan seniman. Ini sudah terasa sejak pembicara Heri Dono usai memaparkan pandangannya, yang oleh Hendro Wiyono disebut tak ubahnya dengan artist talk ketimbang berbicara sesuai dengan term of reference diskusi.

Meski setengah berseloroh, Hendro Wiyono mulai melontarkan pandangan-pandangan yang kritis sekaligus provokatif yang diarahkan pada seniman dan galeri. Seraya menyebut pasar bisa mendorong perkembangan lebih jauh, tetapi 99 persen karya seniman Indonesia tidak layak masuk balai lelang.

"Hampir tiap minggu saya terima banyak buku dan majalah balai lelang. Satu dua halaman yang karyanya bagus saya copot, selebihnya saya buang ke tempat sampah," ujar Hendro yang pemaparannya banyak mengundang gelak tawa.

Pada bagian lain ia mengungkapkan betapa banyaknya seniman di Indonesia yang tidak bisa membuat pernyataan ihwal kerja keseniannya. "Aminuddin TH Siregar pernah mengatakan lima menit ngomong dengan seniman itu sudah membosankan. Saya kira mungkin benar. Coba anda ingat, sebutkan sepuluh pernyataan seniman tentang kerja keseniannya yang bisa diingat di luar kepala. Hampir tidak ada. Seingat saya hanya pelukis S. Teddy yang pernah mengatakan, melukis adalah menggambar yang disederhanakan dan dirumitkan," tuturnya.

Tanggapan terhadap pemaparan Hendro muncul dari Syafik Sungkar, Adeuw, Carla, dan Edwin yang balik mengkritisi kerja para kurator. Alih-alih mengangkat kelebihan seorang seniman, banyak kurator lebih memamerkan teori-teorinya yang sering tak ada hubungannya dengan karya yang dikurasi.

"Tulisannya di katalog pun akhirnya tidak membuat orang jadi lebih pintar. Coba Anda sebutkan satu saja pernyataan kurator yang bisa kami ingat!" ujarnya yang disambut gelak dan tepuk tangan.

Senada dengan Carla, Syafik Sungkar menyebut pragmatisme curatorial yang diakui Hendro sebagai konsepnya tak lebih dari "penggaringan" curratorial. Tulisan kurator yang membingungkan di katalog justru menimbulkan pertanyaan, yang bodoh galeri atau kuratornya? Sementara Edwin menilai bagaimana sebuah galeri bisa maju jika para kurator sibuk mencari order.

"Kurator tidak mau tunduk pada galeri, begitu juga galeri, tidak akan tunduk pada keinginan kurator," ujarnya seraya menyebut semua pihak dalam infrastruktur seni rupa Indonesia belum bekerja secara optimal.

Menanggapi "serbuan" itu, dengan tenang Hendro menyatakan, ia tidak bersikap sinis kepada pasar karena pasar bisa dimanfaatkan demi perkembangan seni rupa Indonesia. Akan tetapi, pasar harus tetap dikritisi karena tabiatnya yang pragmatis. Menyitir Mella Jarsma, ia mengatakan seni itu memberi, tidak meminta, tetapi pasar itu meminta dan tidak pernah memberi. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 13 Juni 2010

No comments: