Monday, June 28, 2010

[Liputan Khusus] Mely G Tan: Guru Kehidupan

Age is opportunity no less…..

POTONGAN puisi karya penyair AS, Henry Wadsworth Longfellow, itu rasanya tepat untuk mendeskripsikan Mely G Tan, PhD. Usia yang menapak 80 tahun pada tanggal 11 Juni itu tak menjadi halangan untuk terus bergerak, bahkan melakukan perjalanan jauh. Sendiri.

Tubuh yang diakui semakin rapuh, diringankan oleh selera humornya yang tak sedikit pun melemah. Semangatnya terjaga, suaranya tetap bertenaga.

”Waktu usia 60, saya merasa usia 80 tahun itu sudah tua benar, ya. Tetapi, sekarang, setelah mencapai 80 tahun, rasanya biasa saja, tuh. Memang sih, lututnya terasa lebih sakit dibanding umur 40-an he-he-he…,” tutur Mely, suatu petang di rumahnya di kawasan Jakarta Selatan, yang semarak dengan rangkaian bunga dari teman-temannya.

Akhir bulan Maret lalu, ia berangkat ke AS untuk menengok kakaknya sambil menjemput adik laki-lakinya yang sudah enam bulan di sana. ”Baru sekarang saya minta bantuan kursi roda di bandara,” ujarnya.

”Sebenarnya masih bisa jalan, tetapi kan jauh sekali jalannya. Di Los Angeles, begitu turun pesawat, sudah ditunggu. Di imigrasi yang antre ada 1.500-an, bayangkan berapa jam. Tetapi, yang berkursi roda termasuk disabled, ada counter khusus, jadi cepat. Di luar sudah dijemput, langsung ke mobil, brrrr langsung deh ke rumah.”

Tak pernah pensiun

Suasana di beranda terasa seperti petang ketika kami menjumpainya, Oktober tahun lalu, saat ia dianugerahi Nabil Award 2009 atas jasanya mengembangkan proses pembangunan bangsa Indonesia melalui penelitian, penerbitan karya-karya ilmiah, dan aktivitas lain yang memberikan pencerahan kepada publik.

Sosiolog terkemuka Indonesia berpangkat ahli peneliti utama itu merasa tak pernah pensiun meski sudah pensiun sejak tahun 1997 dari Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI) setelah bekerja lebih dari 32 tahun. Ia masih terus bekerja dan meneliti. Karya-karyanya mengalir.

Tahun lalu, ia menulis makalah tentang ”Peranakan Tionghoa dan Negara” untuk seminar di Singapura. Bulan Mei seharusnya ia menghadiri seminar International Society for the Study on Chinese Overseas di Singapura, tetapi tidak pergi karena baru kembali dari AS. ”Myra Sidharta pergi dan menulis paper. Dia hebat, usianya 83 tahun,” ujar Mely.

Sampai hari ini, Mely masih bekerja sampai tengah malam. Tulisannya bertema I have a dream baru selesai, dipersiapkan untuk antalogi tulisan para tokoh berusia di atas 78 tahun. Tanggal 1–6 Juli dia ke Batam untuk pertemuan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara—ayahnya adalah generasi kelima imigran China di Indonesia, bekerja sebagai akuntan di perusahaan Belanda—tradisi intelektual di dalam keluarga tumbuh berkat dukungan ibunya.

”Saya selalu bangun pukul enam pagi, tetapi hari ini kesiangan he-he-he...,” ujarnya melalui telepon, suatu pagi, sekitar pukul 07.30. Setiap Sabtu, ia bangun pukul 05.00 dan pukul 05.15, melakukan senam tera bersama tetangga.

Kalau ulang tahun ke-70 diisi kejutan para sahabat dengan perhelatan di Gedung Erasmus Huis, ulang tahun ke-80 diisi dengan syukuran oleh teman-temannya di PMP-LIPI.

Petang itu kami membicarakan berbagai hal; dari soal poligami sampai demokrasi dan kepemimpinan. Berbeda dengan pandangan umum, Mely tidak terjebak dalam notion ”benar-salah”.

”It takes two to tango,” ujarnya, ”Jujur saja, selama ada perempuan yang mau punya separuh, sepertiga, seperempat suami, akan selalu ada laki-laki yang mau ngibuli istrinya untuk kawin lagi. Sekarang, bahkan anak muda, yang tahu aspirasi kesetaraan, mau juga berpoligami. Dulu kita anggap itu sisa-sisa kebudayaan lama.”

Oleh karena itu, ”Orangtua harus membuat anak perempuannya mandiri, tidak tergantung sama laki-laki kalau menikah, bukan karena kekhawatiran ditinggal suami,” ujarnya, ”Kemandirian memberikan kekuatan dan kepercayaan diri kepada perempuan untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi.”

Mely melihat ada pengaruh faktor demografi terhadap poligami. ”Kalau jumlah perempuan usia menikah lebih banyak daripada laki-laki, gagasan ’perempuan harus dilindungi’ akan mendorong poligami.”

Namun, asumsi demografi itu bisa patah. Ketika jumlah perempuan dan laki-laki usia menikah berimbang, tetap ada perempuan muda, berpendidikan, mandiri, bisa cari nafkah sendiri, tahu arti kesetaraan, mau menikahi laki-laki beristri.

”Ini yang susah. Tetapi, kan biasanya laki-lakinya punya kekuasaan, apa pun bentuknya. Nah, kekuasaan punya sex appeal juga kan. Lihat saja film Berbagi Suami....”

Bagaimana Anda mengaitkan soal itu dengan demokrasi?

Kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan aspek hak asasi manusia dalam one woman one man, serta kesempatan sama bagi laki-laki dan perempuan untuk memilih, adalah salah satu inti demokrasi substansial. Di Singkawang, anak-anak perempuan Tionghoa keluarga miskin dikawinkan dengan laki-laki Taiwan karena tak punya pilihan. Keluarganya miskin. Kalau ia mau menikah, keluarganya dapat uang. Kan, ada comblang.

Kita masih punya banyak masalah dengan kesetaraan. Di dokumen legal, perempuan harus memakai atribut ’nyonya’ kalau menikah, dan ’nona’ kalau tidak menikah. Laki-laki, mau menikah mau tidak, tetap saja ’tuan’. Bahasa Inggris sekarang banyak memakai Ms, bukan lagi Mrs. Dari sudut bahasa ini mendukung kesetaraan.

Bagaimana Anda melihat demokrasi politik dan pemimpin saat ini?

Secara kelembagaan dan mekanisme semua ada. Ada pemilihan umum, ada kebebasan pers, ada parlemen, dan lain-lain, tetapi semuanya cuma bentuk, tak ada isinya. ’P’ dalam DPR tak bisa semata-mata diterjemahkan ’Perwakilan’. Mereka tidak banyak berpihak pada kepentingan rakyat. Kepemimpinan lemah. Punya otoritas mengambil keputusan, tetapi tidak digunakan karena dipenjarakan kepentingan. Coba lihat kasus Lapindo yang malah dikategorikan sebagai bencana alam. Bagaimana ini?

Mengalir

Perempuan sosiolog pertama Indonesia lulusan Universitas Berkeley, AS, itu adalah salah satu saksi penting sejarah perubahan politik di Indonesia, terkait pengakuan pemerintah terhadap soal kekerasan terhadap perempuan, yang kemudian melahirkan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Oktober 1998. Ia menjadi salah satu komisioner periode 1998–2003.

Mendengar gayanya bercerita, semua terasa mengalir, apa adanya. Ia merasa tak ada yang disesali, termasuk pilihan hidup sendiri, meski keluarga sempat khawatir.

Mely sudah melewati hidupnya dengan penerimaan penuh. ”Sekarang rasanya semua jauh lebih ringan...,” ujarnya.

Maka kami lanjutkan sebait puisi Longfellow ini, untuk Mely:

Age is opportunity no less//

Than youth itself//though in another dress//

And as the evening twilight fades away//

The sky is filled with stars, invisible by day.


(Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy)

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010

No comments: