-- Ilham Khoiri
THE Indonesian Dance Festival 2010 baru saja digelar di Jakarta, 14-17 Juni. Beberapa karya koreografi dari dalam negeri dan mancanegara mengajak kita untuk ambil jeda sejenak dari rutinitas kehidupan ibu kota sambil berefleksi diri.
Pertunjukan tari berjudul Merah dibawakan Asry Mery Sidowati dan Serraimere Bogie Y Koirewoa karya koreografer Asry Mery Sidowati di Indonesian Dance Festival, Institut Kesenian Jakarta, Selasa (15/6). Merah mengambil cerita dari latar mengenai kondisi Bumi akibat pemanasan global. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
Empat pemuda bertubuh pejal itu berhadapan. Awalnya hanya diam. Namun, lama-lama, mata mereka menyala. Lalu, tiba-tiba, ”Duk...!” Salah satu pemuda itu memukul perut pemuda lain.
Bogem mentah mengena telak. Orang itu pun langsung terbungkuk. Tak terima, dia segera balik menonjok. ”Duk!” Dan, tanpa bisa ditahan, keduanya berjotosan.
Perkelahian itu segera merangsang dua pemuda lain. Dari satu lawan satu, kemudian menjadi tawuran. Mereka bergantian berbaku tonjok, tamparan, dan tendangan.
Di tengah keributan itu, salah satu pemuda mengeluarkan kamera saku, lantas memotret dirinya. Ikut-ikutan, pemuda lain juga merekam adegan kekerasan itu, dan begitu seterusnya. Kekonyolan itu semakin seru seiring tabuhan drum yang berdentam-dentam.
Adegan gebuk-gebukan di Plaza Taman Ismail Marzuki (TIM) itu merupakan pentas jalanan (street performance) berjudul The Downhill Greetings oleh Contact Gonzo, kelompok penari kontemporer asal Jepang. Pentas itu membuka The Indonesian Dance Festival (IDF) 2010, Senin (14/6) sore lalu, kemudian diulang di Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta (IKJ) serta di Plaza TIM esok lusanya.
Penampilan Contact Gonzo mengajak kita untuk merenung. Tawuran sebagaimana dipertontonkan empat penari tadi memang tampak konyol. Bagaimana tidak? Sejumlah orang tiba-tiba tonjok-tonjokan tanpa sebab jelas, tetapi kemudian juga memotret aksi kekerasannya sendiri.
Peristiwa itu seperti memantik kesadaran kita: bukankah semua itu sejatinya juga mencerminkan watak agresif manusia yang gampang tersulut kekerasan hanya lantaran soal remeh-temeh? Tidakkah kita juga kerap bersikap narsisistis alias memuja diri sendiri, bahkan saat perilaku kita menyimpang?
Sebagai karya seni, koreografi ini berhasil memarodikan perilaku manusia dalam adegan pentas yang mengejutkan. Di panggung, tontonan tersebut tampak begitu brutal. Padahal, itu hanya sindiran bahwa kekonyolan serupa sebenarnya telah jadi bagian dari kehidupan nyata kita, bahkan dalam wujud yang lebih sadis.
”Inspirasi karya ini saya peroleh dari mana-mana, termasuk dari kekacauan atau kekerasan manusia di kota,” kata Yuya Tsukahara, pemimpin Contact Gonzo, seusai pentas.
Ada puluhan tari karya seniman dari enam negara yang ditampilkan dalam IDF ke-10 ini, yaitu Indonesia, Taiwan, Korea Selatan, Jerman, Jepang, dan Afrika Selatan. Dengan cara masing-masing, setiap karya seakan mengajak kita untuk merefleksikan perjalanan kehidupan manusia zaman sekarang.
Cinta kasih
IDF dirintis sejumlah penari, koreografer, dan pengamat tari di IKJ, Jakarta, tahun 1992. Hingga penyelenggaraan ke-10, hajatan seni pertunjukan dua tahunan ini telah mementaskan berbagai eksperimen seni tari kontemporer. Setiap festival juga menjadi ujian: seberapa kuat relevansi seni tari bagi kehidupan nyata.
Bagi Sal Murgiyanto, salah seorang pendiri IDF, festival ini seyogianya memberikan arti budaya bagi kehidupan. Koreografi bisa turut memupuk cinta, kasih sayang, kebersamaan, kemauan berbagi, dan tenggang rasa di antara manusia. Soalnya, nilai-nilai kemanusiaan itu memang semakin tergerus oleh kecenderungan kita menjadi semakin barbar dan antikebudayaan.
”Pentas tari ini jadi media untuk mengingatkan, masih adakah tempat budaya di hati kita?” katanya.
Pertanyaan tersebut layak terus diajukan. Soalnya, kenyataan sehari-hari kita, katakanlah seperti di kota Jakarta, memang semakin dihegemoni pasar. Kehidupan publik dikungkung masalah transportasi, transaksi ekonomi, dan komersialisasi gila-gilaan. Sisi lembut kemanusiaan terus digerus dan kita digoda untuk menjadi lebih agresif, penuh nafsu kekuasaan, dan mengejar berbagai kepentingan instan.
Karya seni kemudian datang untuk mengajak kita mengambil jarak sejenak dari cengkeraman pasar itu dan berefleksi. Di sini kehadiran seni menjadi penting karena—meminjam istilah filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer— berpotensi membebaskan hasrat kemanusiaan sekaligus menumbuhkan kembali nilai-nilai kearifan yang tenggelam.
Hanya saja, ketika gempuran antikebudayaan itu begitu dahsyat (seperti lewat televisi, iklan di jalanan, atau mal), mungkinkah seni pertunjukan itu bisa menjadi media pembebasan yang efektif?
Penyair Afrizal Malna berharap, seyogianya seni tari juga perlu ambil bagian dalam pentas kehidupan publik demi mendorong sharing nilai yang sehat.
”Seniman tari jangan hanya asyik dalam studio sambil mempercanggih teknik dan properti pentas, tapi kehilangan pertautan dengan dunia luar. Para koreografer mestinya membenturkan diri pada masalah riil di masyarakat,” katanya.
Barangkali para seniman tari juga perlu memperluas bobot kehadiran karyanya dengan mendatangi publik dan menggelar pentas di tengah khalayak lebih luas.
Sumber: Kompas, Minggu, 20 Juni 2010
No comments:
Post a Comment