-- Radhar Panca Dahana
”SEPAK BOLA, tampak olehku, bukanlah sebuah permainan untuk kesenangan dengan menendang bola, tetapi ia hanyalah sebuah spesies dari perkelahian.” George Orwell
Tentu saja bukan hanya penulis fenomenal Inggris di pertengahan abad ke-20, antara lain lewat novelnya Animal Farm, itu yang bicara sinis bahkan sarkastis tentang sepak bola. Lebih dari sebuah rekreasi, beberapa pihak memandang sepak bola tidak lebih dari sekadar sebuah perkelahian.
Mike Royko, kolumnis ternama asal Chicago, bahkan menegaskan pada 1994, ”Sepak bola terlalu membosankan. Tak pernah saya melihat olahraga yang lebih membosankan dari ini.”
Lebih dari itu, sepak bola bukan hanya menawarkan gegap gempita, pesta extravaganza , dan fulus triliunan rupiah. Olahraga yang sudah dimainkan sejak 1.000 tahun SM di Jepang ini juga menyebabkan banyak tragedi, kemunafikan, perjudian hebat, dan berbagai tindak kriminal lainnya. Apa yang kita rayakan dalam perhelatan besar semacam Piala Dunia juga adalah selamatan atau ruwatan atas berbagai ”kejahatan” yang dilakukan oleh olahraga paling populer sejagat ini.
Kita tahu benar bagaimana sepak bola dimainkan di negeri ini. Perilaku wasit, pemain, ofisial, dan penonton yang tidak mengindahkan etika serta hukum yang berlaku di dalam stadion atau pertandingan. Kita masih mengenang tragedi besar di Stadion Heysell, Brussels, Belgia, saat pertandingan final Piala Eropa antara Liverpool dan Juventus, 29 Mei 1985. Tak kurang dari 39 orang harus kehilangan nyawa dan ratusan orang lainnya terluka karena perilaku para hooligans Liverpool, yang membalas serangan publik Italia pada final di tahun sebelumnya.
Tragedi semacam ini panjang riwayatnya. Sejak sebelum Piala Dunia digelar, bahkan sebelum FIFA dibentuk. Pada 5 April 1902 di Stadion Ibrox, Glasgow, saat berlangsung pertandingan internasional antara Inggris dan Skotlandia. Tribun Barat stadion runtuh menewaskan 25 orang dan 527 lainnya terluka. Luka yang terus dibawa sepak bola dalam sejarah tragiknya tidak hanya sebatas di dalam atau di halaman stadion, tetapi juga dalam kehidupan yang lebih luas.
Sepak bola tidaklah lagi sekadar sebuah olahraga. Ia sudah menjadi ritus tradisional dan modern yang mengikutsertakan semua elemen masyarakat, tanpa batasan usia, agama, ras, atau kelas sosial. Dampaknya begitu keras, bahkan dalam politik. Pelatih kelahiran Kolombia, yang juga melatih Ekuador hingga Piala Dunia, melihat jarak antara sepak bola dan politik di Amerika Latin sangat tipis. ”Ada daftar yang cukup panjang di mana pemerintahan jatuh atau dikudeta hanya lantaran tim nasional sepak bolanya mengalami kekalahan.”
Inggris melarang
Biarpun Jepang adalah bangsa pertama yang mencatat olahraga bola sepak ini pada 1004 SM dan pertandingan internasional pertama di dunia diselenggarakan di ibu kota Jepang, Kyoto, pada 611 M dengan bola kulit yang diisi rambut, antara China melawan Jepang, tetaplah Inggris yang tercatat oleh sejarah modern sebagai perintis olahraga ini. Dan, jauh sebelum asosiasi sepak bola pertama Inggris—juga dunia—dibentuk pada 1863, kerajaan Inggris juga yang ternyata pernah melarang olahraga rakyat ini dengan hukuman yang keras.
Sejak meraih takhtanya, Raja Edward (1307-1327) telah melarang rakyat Inggris memainkan bola besar ini karena kejahatan yang dapat ditimbulkannya. Hukumannya deraan dan penjara. Hingga Raja Henry VIII, bahkan Ratu Elizabeth I, ketentuan ini tetap diberlakukan, dengan ketentuan yang bahkan lebih tegas, ”menghukum siapa saja yang bermain bola, dengan penjara selama satu minggu”.
Siapakah yang kemudian terhukum, menjadi korban, dari olahraga yang keanggotaannya melebihi anggota PBB ini, yang kemeriahan dan biayanya tak tertandingi pesta dunia apa pun ini? Daftarnya cukup panjang untuk disebut. Tidak hanya publik dunia yang terbius, jam kerja yang terganggu, produktivitas yang mengendur, mereka para korban hooliganisme, pemain yang bunuh diri, pelatih yang tercela sepanjang usia, hingga kekuasaan politik yang runtuh karenanya.
Belum kita harus menyebut bangsa- bangsa yang kesebelasannya menderita karena ulah cerdik, licik, bahkan tidak sportif. Seperti yang dialami Irlandia, yang gagal menuju Afrika Selatan karena gol hand-ball yang dilakukan Thierry Henry dalam pertandingan penentuan, 18 November 2009. Sebuah kesalahan yang diakui sang striker bahkan juga oleh Presiden Perancis yang harus meminta maaf kepada Perdana Menteri Irlandia atas insiden itu. Juga tentu ”tangan Tuhan” ala Maradona di Estadio Azteca, Mexico City, 22 Juni 1986 pada perempat final Piala Dunia Meksiko, yang seperti membalaskan dendam Argentina atas Inggris setelah kekalahan perang di Kepulauan Malvinas (Falkland) empat tahun sebelumnya. Sepak bola menciptakan korban di antara anak-anaknya sendiri. Sebagaimana terakhir, kita sama-sama menyaksikan beberapa hari lalu, bagaimana kemenangan Amerika Serikat atas Slovenia direbut wasit ketika gol ketiga mereka yang dijebloskan Michael Bradley dinyatakan off side.
Inilah paradoks sepak bola, yang menyajikan keindahan serta kejujuran, tetapi di sisi lain memperlihatkan kemunafikan, kecurangan, dan bahkan kebodohan yang kita terima secara legal. Mungkin bagi dunia modern, ”kejahatan” sepak bola di bagian ini menyimpan sedikit renungan.
”A nt i d e m o k ra s i ”
Berbagai kekeliruan juga kecurangan yang ratusan kali terjadi dalam sejarah sepak bola dunia adalah deviasi, bahkan kriminalisasi yang kita terima dan legalkan. Itulah law, hukum menyimpang sepak bola. Atas nama sebuah kekuatan, sebuah kekuasaan yang tak terbantahkan: wasit.
Betapapun ribuan bahkan miliaran manusia menjadi saksi atas sebuah kesalahan atau kecurangan, begitu wasit menetapkannya secara berbeda, jumlah besar itu tidak dapat membantahnya. Keputusan itu mati. Bahkan, ketika teknologi menyediakan sarana canggih untuk pembuktiannya, wasit dan FIFA bergeming: kekuasaan di lapangan tetap ada di peluit sepasang bibir seorang wasit.
Protes, keberatan, banding, hingga demonstrasi tidak berguna. Tak ada lagi suara sang liyan (other), tiada lagi mayoritas, tak ada pula posisi bagi kebenaran publik; runtuh semua pilar yang menegakkan sistem sosial utama di muka bumi ini: demokrasi. Sepak bola adalah anak kandung kesayangan peradaban manusia yang melawan anak terbaik dan tercerdasnya sendiri: demokrasi.
Seorang wasit, bukan lagi sebuah juru tanding, pengatur dan pengelola pertandingan. Namun, ia adalah kaisar, lengkap dengan slogan otoriternya: le foot est moi, ”(pertandingan) sepak bola adalah aku”. Dan, begitulah FIFA (Fédération Internationale de Football Association), lembaga tertinggi olahraga ini menempatkan diri. Betapa kuat dan berkuasanya sang presiden. Betapa hebat dan berpengaruhnya lembaga yang ia pimpin.
FIFA seperti sebuah negara tersendiri, mungkin melebihinya. Tiada satu pun negeri atau negara yang dapat membantah keputusannya jika ia tak ingin dialienasi dari sepak bola dan menjadi paria dalam pergaulan dunia. Seperti wasit yang ”di - benarkan dalam kesalahan”, FIFA pun senantiasa benar dalam ukurannya sendiri, melampaui ukuran-ukuran regional, hukum unik dan spesifik di tingkat nasional.
Untuk itu, kita pun menjadi korban. Kekuasaan antidemokrasi semacam inilah, misalnya, yang diterapkan oleh PSSI, di bawah pimpinan Nurdin Halid. Menggunakan klausul-klausul ajaib FIFA, kekuasaan penuh kelemahan, nol prestasi, despot, bahkan dibayangi korupsi itu, Nurdin mampu bergeming, bahkan ketika seorang menteri—yang sedaerah asal den g a n ny a —bahkan seorang Presiden mencoba menggoyahnya.
Maka, sepak bola itu sendiri yang kini menjadi korban. Puluhan bahkan ratusan juta penggemarnya terpenjara. Dan, sepak bola di titik ini tidak lagi menjadi ritus atau ibadah kita bersama, tidak menjadi kegembiraan bersama, tidak juga sebagaimana Stanley Rous menyatakan, ”Di lapangan sepak bolalah kesucian dan harapan manusia berada.” Sepak bola bisa —dan telah—menjadi ”keja hatan” yang menzalimi hati dan nurani kita, satu bangsa.
* Radhar Panca Dahana, Budayawan/ Sastrawan
Sumber: Kompas, Selasa, 22 Juni 2010
1 comment:
Mainin dulu baru cuap2... Biarpun yg mengkaji ahli. Kalo g tau passion sepakbola ya susah... Kalo Pilkada aja ribut dosa siapa?
Post a Comment