-- St Sularto
TIDAK bermaksud menyederhanakan masalah, kami tidak ingin memasuki wacana tentang cendekiawan. Tidak juga ingin membuat antagoni cendekiawan dan intelektual, cendekiawan dan noncendekiawan. Wacana antagonistis itu selama berabad-abad sudah dikupas dengan pendekatan masing-masing sejak abad ke-19 oleh para pemikir. Analisis dan pendapat mereka benar, masing-masing dengan pendasaran yang logis.
Serupa seperti pertanggungjawaban sejak Kompas memberikan penghargaan ini, tahun 2008, kami hanya bermaksud menyampaikan rasa terima kasih kepada sejumlah cendekiawan yang kami nilai tekun bekerja sama dengan komitmen dan dedikasi.
Selama puluhan tahun mereka memberikan kontribusi yang sifatnya win win solution, simbiosis mutualistik—antara mereka dan harian Kompas. Ada pertemuan saling memperkaya, saling mendukung, dan saling menguntungkan. Jati diri Kompas sebagai salah satu lembaga pendidikan yang berupaya mencerahkan kehidupan masyarakat, jati diri cendekiawan sebagai anak kandung masyarakat dan pelita kehidupan, berada dalam koridor yang sama.
Dengan keterbatasan masing-masing, dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing, dengan kesempatan masing-masing berada dalam posisi sebagai pendidik. Kontribusi kita menyadarkan, mencerahkan, dan mengembangkan bersama-sama yang dilandasi kepedulian dan komitmen kemajuan.
Ketika kepakaran seseorang yang disebut sarjana, sujana, atau terpelajar dikenakan pada seseorang yang sudah menamatkan jenjang pendidikan, ada legalitas yang memungkinkan seseorang disebut ilmuwan. Mereka diandaikan ahli dalam salah satu disiplin ilmu.
Akan tetapi, seberapa jauh yang bersangkutan disebut ilmuwan amatlah tergantung dari kepedulian, keseriusan, dan motivasi masing-masing, yang kemudian dibedakan antara ilmuwan murni dan ilmuwan tukang. Disebut murni karena dianggap konsisten dengan aturan main sebagai ilmuwan berikut kriterianya, tidak murni bahkan disebut tukang karena memanfaatkan kepakarannya untuk kepentingan politik yang sering dipraktikkan tanpa nurani didorong sifat kekuasaan yang cenderung korup.
Dengan cendekiawan, secara semantik ilmuwan memang berbeda. Berbeda tidak oleh genealogi atas kepakaran, tetapi terutama oleh kontribusi yang diberikan untuk tumbuhnya penghargaan atas kemanusiaan dan martabat manusia. Merekalah ilmuwan dalam arti karena dihasilkan dari disiplin akademis, karena kepedulian yang bobot kepakarannya sejajar dengan kualifikasi sarjana. Tidak hanya itu! Mereka mengatasi kriteria seorang ilmuwan. Mereka keluar dari kerangkeng kepakaran ilmu, dan pada saat yang sama memanfaatkan kepakaran untuk mendidik masyarakat, memberikan sumbangan di luar lingkup keilmuan yang diemban.
Harian Kompas dengan moto Amanat Hati Nurani Rakyat, dengan cara kerja yang kami rumuskan sejak awal humanisme transendental atau kemanusiaan yang imani, menemukan teman seperjalanan. Merekalah para cendekiawan yang dengan penuh dedikasi dan komitmen berjuang bersama Kompas, bertahun-tahun dan berkesinambungan. Mereka menjadi kontributor yang memproduksi ide-ide, disampaikan dalam bentuk artikel-artikel opini, dalam bentuk wawancara, dan dalam bentuk sarana lainnya. Mendidik berarti melakukan perubahan dan penyadaran yang dilakukan bersama-sama selama ini.
Setiap tahun sejak 2008 dipilih lima orang. Mengapa 5, tidak 7, tidak sekalian 10? Pilihan jumlah tidak didasarkan atas tebakan togel, simsalabim, tetapi spontanitas yang didasari keterbukaan untuk penambahan atau bahkan pengurangan. Kriteria pada penghargaan yang pertama, kami lebih fokus pada mereka yang selama ini sudah bertahun-tahun mengirimkan tulisan dan dimuat, tanpa sengaja menjadi rubrik tetap yang ditunggu pembaca. Karena itu, pada penghargaan pertama kita temukan nama-nama penulis besar—sengaja kami ambil yang belum meninggal—yang pernah jaya di era tertentu, dan surut oleh munculnya penulis-penulis berusia lebih muda.
Dalam era itu tersebut nama MT Zen, Sayogyo, Soetandyo Wignyosubroto, Thee Kian Wie, dan Satjipto Rahardjo. Merekalah yang di tahun-tahun awal Kompas terbit aktif menulis dengan bahan baku keilmuan disiplin masing-masing selama puluhan tahun.
Di tahun 2009, kami perluas wilayah, tidak hanya mereka yang aktif sebagai kontributor artikel, tetapi juga yang memperjuangkan ide tanpa kenal lelah dan terlihat ada hasil bagi keadaban masyarakat. Terpilih Kartono Mohamad, Liek Wilardjo, Maria Sumardjono, Saparinah Sadli, dan Sjamsoe’oed Sadjad.
Bagaimana dengan penghargaan tahun 2010? Selain kriteria penghargaan pertama dan kedua, kami tambahkan pula kriteria upaya membangun budaya akademis agar masyarakat semakin menyadari pentingnya penelitian. Terpilih nama Adnan Buyung Nasution, Bambang Hidayat, Mely G Tan, Sediono MP Tjondronegoro, dan Raden Panji Soejono.
Mereka bukanlah nama asing. Mereka sudah menjadi milik masyarakat, barangkali juga sudah memperoleh penghargaan dari instansi-instansi lain termasuk pemerintah dan lembaga internasional. Mereka dedikatif memberikan sesuatu untuk masyarakat Indonesia agar semakin bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, well informed, dan berkeadaban.
Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010
No comments:
Post a Comment