-- Dahta Gautama
KARENA keintensitasan menulis puisi, kemudian memublikasikan puisi-puisinya di sejumlah media massa atau kemudian membukukan puisi-puisinya, seseorang yang sebelumnya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa tiba-tiba dipredikati sebagai penyair.
Apakah semudah itu untuk menjadi penyair? Tentu tidak. Menjadi penyair, mengambil istilah sastrawan Isbedy Stiawan Z.S., melalui proses panjang yang berdarah-darah.
Kepada saya, Isbedy Stiawan Z.S. pernah mengatakan awalnya ia hobi membaca cerita-cerita silat Kho Ping Ho, ketika menunggu warung rokok milik ibunya. Kemudian ia tertarik dengan permainan kata-kata yang dicipta sedemikian dahsyat dalam novel silat itu. Di lain waktu, ketika ia duduk di bangku SMA, ia mulai menulis beberapa kalimat sederhana.
Hal itu hampir setiap hari ia lakukan, kalau mau dikata, mungkin, semua unek-unek yang ada di hatinya ia tulis. Kemudian jadilah bait-bait puisi. Beberapa tahun kemudian puisi-puisi itu menghantarkannya menjadi penyair.
Hal yang sama juga saya alami. Saya bingung juga menjawab pertanyaan-pertanyaan, peneliti dari Kantor Bahasa Lampung (tiga tahun lalu). Peneliti ini menanyakan bagaimana, kok saya memilih untuk menjadi penyair (sastrawan) dan bagaimana memulai proses kreatif saya sebagai penyair?
Saya bingung harus menjelaskan dengan memulai dari peristiwa yang mana. Yang saya ingat, kali pertama saya tertarik pada puisi ketika saya duduk di bangku kelas dua SMP. Ketika itu, Senin pagi, saya enggan ikut upacara bendera, yang memang rutin dilakukan di setiap sekolah. Saya takut ditunjuk oleh wali kelas menjadi petugas pengerek bendera atau membacakan teks Pancasila.
Perasaan enggan saya pun berasalan, karena saya malu. Sebab sepatu milik saya sudah robek dan butut. Di luar pagar sekolah, di lembar buku tulis agak tebal (buku catatan harian), saya menulis: Seandainya ayah bisa membelikan aku sepatu. Hari ini aku pasti bisa ikut upacara. Tapi, kata ibu, ayah tak punya uang. Oh, matahari.. sampaikan kepada Tuhan, beri ayahku uang.
Baiklah, apa yang saya sampaikan tentang proses kreatif Isbedy Stiawan Z.S. dan saya hanya sebagai instrumentalia saja. Saya menegaskan, bahwa berpuisi (menulis puisi) bisa dimulai dari membuat catatan harian.
Sunyi, kegelisahan, perasaan tertarik dengan teman satu sekolah atau bahkan guru yang galak. Biasanya kerab ditulis para remaja dalam catatan buku hariannya. Saya pernah mencuri membaca buku harian keponakan yang masih duduk di bangku kelas dua SMA. Bila saya kutip, begini bunyinya: Pagi ini gerimis. Entahlah, langit tiba-tiba bocor. Aku ingin berenang bersama embus angin. Dingin. Tapi hatiku sunyi. Hari ini aku tak ke mana-mana. Karena rasa manusiaku seperti terkurung di ruang gelap tak berlampu.
Saya dibuat terkejut-kejut oleh buku harian remaja terkini, yang saya kira cuma kenal popcorn dan mal-mal. Yang ditulis keponakan saya dalam buku hariannya itu mengingatkan saya pada penyair perempuan Jerman, Else Lasker-Schuler. Else lahir pada 1869, keturunan Yahudi. Ia tertarik pada sastra ketika duduk di sekolah menengah pertama. Tetapi yang perlu diketahui, ia pun memulai karier kepenyairannya dari menulis catatan-catatan ringan di buku hariannya yang selalu ia bawa di dalam tas kecilnya.
Salah satu catatan hariannya, yang kemudian menjadi puisi yang membawa namanya menjadi penyair perempuan terkemuka adalah puisi Kiamat. Mari kita simak: Terdengar rintihan di dunia. Seolah tuhan sudah mati. Dan bayangan kelam yang jatuh itu. Menjadi beban berat bagaikan kuburan. Mari, kita bersembunyi rapat. Kehidupan bersandar dalam jiwa kita. Bagaikan dalam peti mati.
Else Lasker menulis catatan harian ini (kemudian menjadi puisi) ketika Hitler merebut kekuasaan di Jerman berikut dengan perangkat kekejamannya. Ia menggambarkan bagaimana suasana hatinya ketika itu, saat Hitler membunuh lawan-lawan politiknya. Ia mengibaratkan hidup di bawah pemerintahan Hitler, bagaikan berada dalam peti mati.
Penyair-penyair terkemuka dari Indonesia memulai kariernya dari catatan harian antara lain Diah Hadaning, Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang dan masih banyak lagi. Kita juga mengenal sastrawan dunia Anton Chekhov, Ernest Hemingway, T.S. Eliot, Henrich Boll, Guenter Grass juga sastrawan Karibia peraih nobel sastra Derek Walcott.
Pergulatan dan Ketekunan
Totalitas dalam bersastra semacam meniti jalan panjang yang meletihkan. Seorang penyair terkemuka, tak pernah bisa ujug-ujug menulis puisi kemudian puisinya bisa langsung dimuat di majalah sastra atau koran-koran yang ada lembar budayanya. Pertimbangan seorang redaktur sastra tentunya sangat objektif. Diperlukan ketekunan dan kesabaran. Bakat saja tidak cukup. Karena tentunya, seorang sastrawan (penyair) harus memiliki wawasan yang luas cakupannya. Oleh karena itu harus banyak membaca sebagai referensi yang diperlukan sebagai sarana perbandingan.
Bersastra bukan membuka lahan, melainkan menciptakan dan menggarap dunia baru. Saya kira bagi penulis pemula yang ingin menceburkan diri ke dalam dunia sastra, tidak menjadikan sastra sebagai sarana untuk populer. Kepopuleran adalah imbas dari ketekukan kita. Ketenaran adalah imbas dari pergulatan yang panjang dalam bersastra. Dan ingat kepopuleran dan nama besar tidak pernah bisa diraih, ketika seorang merasa bahwa ia sudah menulis karya sastra bagus. Karena puisi "bagus" sesungguhnya sulit di definisikan. Ketika dihadapkan kepada khalayak sastra terkini, saya kira puisi Kiamat Else Lasker, yang begitu populer di zamannya, menjadi puisi yang sangat sederhana ketika kini kita membacanya kembali.
Dalam tulisan ini saya kembali ingin menegaskan, bahwa berpuisi (menjadi penyair) bisa dimulai dari hal-hal ringan, yakni dari menulis catatan di buku harian. Namun ada hal lain yang saya kira, sama-sama kita setujui, bahwa untuk menjadi penyair (sastrawan terkemuka) tidak mungkin cuma berasyik masyuk dengan tidak melakukan inovasi. Sebab, inovasi dan pembaruan juga berlaku dalam sastra, bukan hanya di dunia iptek. Semisal, karena yang dibaca cuma puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo dan kebetulan karena mengidolakannya.
Maka konstruksi bahasa dalam puisi yang ditulis, ya diupayakan dibuat menyerupai puisi Subagio. Tentu teori referensi berlaku bagi semua sastrawan. Bahkan sekelas Chairil Anwar dan Sitor Situmorang. Bahkan kita dibuat bingung ketika membaca puisi-puisi W.S. Rendra, kita serasa membaca puisi-puisi Lorca.
Namun kita pun harus mengakui, dalam puisi-puisi W.S. Rendra memiliki ruh. Berkonstruksi bahasa yang kuat meski kesannya menyerupai puisi-puisi Lorca. Itu karena W.S. Rendra melakukan pembaruan dan inovasi dalam puisi-puisinya.
Pada suatu kesempatan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dalam perhelatan Cakrawala Sastra Indonesia (2005), saya sempat berbincang-bincang dengan cerpenis Ahmad Tohari. Pembicaraan kami, seputar puisi yang ditulis para siswa di lembar Kaki Langit majalah sastra Horison, ketika saya bilang puisi-puisi para siswa sepertinya dimulai dari catatan buku harian. Konstruksi bahasanya sederhana, ngalir dan kadang mengejutkan juga terkesan tiba-tiba meradang.
Ahmad Tohari berkomentar, "Mereka menulis puisi karena gelisah. Dan itu ciri catatan harian. Ungkapan-ungkapan yang ingin mengadu dan berpasrah diri tetapi juga memberontak."
* Dahta Gautama, penyair, tinggal di Bandar Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Juni 2009
No comments:
Post a Comment