-- Muhidin M. Dahlan*
"SAYA mencari consolation, hiburan hidup dari buku-buku. Saya membaca buku-buku. Saya meninggalkan alam ini, alam jasmaniah. Saya punya pikiran, saya punya mind terbang, meninggalkan alam kemiskinan ini, masuk di dalam ''world of the mind''; berjumpa dengan orang-orang besar, dan bicara dengan orang-orang besar, bertukar pikiran dengan orang-orang besar." (Soekarno)
Hampir semua orang tahu, naskah pleidoi Indonesia Menggugat yang ditulis dan dibacakan Soekarno di Landraad Bandung pada 18 Agustus 1930 itu mencengangkan. Bukan hanya karena bahasanya bergemuruh, penuh gelora, propagandis, menghentak, menjambak, menunjuk, dan sekaligus membanting, melainkan juga naskah itu kaya akan literatur.
Jika kita mengindeks naskah itu dengan jeli, maka kita dapatkan ada sekira 66 nama tokoh yang dikutip Soekarno. Sebut saja Albarda, Anton Menger, August de Wit, Bauer, Boeke, Brailsford, Brooshooft, Clive Day, Colenbrander, Daan van der Zee, de Kat Angelino, Dietrich Schafer, Dijkstra, Duys, Engels, Erskin Childres, Federik Peter Godfried, FG Waller, Gonggijp, Henriette Roland Holsts, Herbert Spencer, HG Wells, Houshofer, Huender, Jaures, John Robert Seeley, dan Jozef Mazzini.
Ada juga Jules Harmand, Karl Kautsky, Karl Marx, Karl Renner, Kilestra, Koch, Kraemer, Lievegoed, Mac Swiney, Manuel Quezon, Michael Davitt, Multatuli, Mustafa Kamil, Parvus, Peter Maszlow, Pieter Veth, Raffles, Reinhard, Rouffaer, Rudolf Hilferding, Sandberg, Sarojini Naidu, Schrieke, Scmalhausen, Sister Nivedita, Sneevliet, Snouck Hugronje, Stokvis, Sun Yat Sen, Treub, Troelstra, van den Bergh van Eysinga, van Gelderen, van Heldingen, van Kol, van Lith, dan Vleming.
Tokoh-tokoh itu menempati posisi dari pelbagai penjuru aliran pemikiran; dari sosialis liberal, komunis, kaum agamawan, hingga penganjur kapitalis modern. Nama-nama itu berbaur dalam 33 judul buku yang dijadikan sandaran gagasan Soekarno di mana 99 persennya berbahasa Belanda.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bisa Soekarno mendapatkan begitu banyak pasokan buku? Padahal, naskah itu ditulisnya saat ia disekap dalam penjara sudra Banceuy yang kotor dan jorok selama 330 hari. Dalam kamar sel 1.5 x 2.5 meter itu, Soekarno dijaga ketat dan berlapis oleh spion-spion karena dianggap sebagai musuh pemerintah kolonial kelas wahid.
Adalah Inggit Garnasih yang mengambil peran itu. Inggit adalah ibu kos Soekarno saat ia kuliah di ITB Bandung yang kemudian dinikahinya. Umur mereka terpaut cukup jauh, tapi Soekarno yang masih berusia ting-ting merasa lebih tenteram dalam dekapan Inggit ketimbang dengan putri Tjokroaminoto, Utari, yang kemudian dipulangkannya lagi ke Peneleh Surabaya.
Inggit sadar bahwa Soekarno pemuda cerdas dan memiliki talenta besar sebagai seorang pemimpin nasional. Dan, sekaligus Inggit tahu Soekarno adalah hantu buku. Ia pelahap buku yang rakus. Bahkan, ketika rekannya yang membeli buku belum sempat membacanya, sudah direbut Soekarno duluan dan setelah selesai barulah buku itu dikembalikan.
''Kalau buku yang saya anggap penting, saya baca dari A sampai Z. Dan yang penting-penting saya garis-bawahi. Saya tulisi dengan pendapat saya. Pendek kata saya orek-orek (corat-coret) setengah ajur (hancur) buku tersebut,'' seru Soekarno.
Tapi penjara dan pengucilan memutus semua itu, walau Soekarno tak sudah-sudah berteriak: ''Biar engkau meringkuk di antara empat tembok ini, tetapi besarkanlah engkau punya hati; ide yang terkandung di dalam dadamu memecahkan ini tembok, akan menjalar keluar tembok ini.''
Dan pada posisi ini kerja Inggit, istri yang sangat setia dan mencintai Soekarno sepenuh-penuh diri itu, diperlukan. Soekarno boleh saja menjadi hantu buku yang lahap, tapi penjara Banceuy tetap mengharamkannya bertemu dengan buku. Inggitlah yang membuka jalan bagaimana Soekarno kembali bergulat dengan buku, terutama sekali saat ia sedang mempersiapkan sebuah pleidoi panjang atas rentetan tuduhan subversif yang dituduhkan pengadilan kepadanya.
Dengan caranya sendiri yang sederhana, Inggit menempuh jalan klandestin. Mula-mula, Inggit mengutus kurir ke Jakarta untuk mengambil buku-buku milik Mr Sartono. Tak lupa Inggit memesan kurir untuk berpindah-pindah kendaraan agar tak diketahui spion-spion pemerintah kolonial yang berkeliaran menginternir aktivis-aktivis pergerakan.
Untuk bisa lolos ke dalam penjara, buku-buku itu dililitkan Inggit distagennya dengan didahului puasa tiga hari supaya perutnya bisa kempis betul. Lolos dari pintu depan, tak berarti mata para spion Banceuy lepas. Namun Inggit selalu berhasil memperdaya penjagaan berlapis spion itu hingga Soekarno mendapatkan pasokan buku yang cukup dalam selnya yang apak.
Buku-buku pasokan Inggit itulah yang dinukil Soekarno secara diam-diam nyaris setiap malam. Pembelaan yang telah diterjemahkan ke dalam lusinan bahasa di daratan Eropa itu ditulis Soekarno di atas kaleng rombeng yang berbau pesing lantaran dipakai untuk buang hajat sekalian. Pada saat Soekarno ingin menulis, kaleng ini dibersihkan lagi.
Soekarno butuh waktu empat pekan untuk membacakan pleidoi ini mulai 18 Agustus hingga 22 Desember 1930 dengan didampingi kwartet pembela: Sartono, Sasromuljono, Sujudi, dan R Ipih Prawiradiputra. Tapi Landraad tetap tak bergeming dengan keputusannya. Soekarno tetap dihukum 4 tahun penjara. Sementara tiga rekannya, Gatot Mangkupradja, Maskun, dan Supriadinata masing-masing kena 2 tahun, 1 tahun 8 bulan, dan 1 tahun 3 bulan.
Tapi ini bukan soal gagalnya pleidoi itu membebaskan Soekarno dan rekan-rekannya dari interniran, melainkan bagaimana pleidoi itu sendiri menjadi naskah klasik yang paling gemilang yang dilahirkan manusia republik di masa pergerakan.
Dan di antara deretan kutipan pleidoi Soekarno itu, jangan dilupakan keringat dan ikhtiar Inggit Garnasih, perempuan pendamping paling setia dan tabah yang kemudian dibuang begitu saja oleh Soekarno lantaran dia mendapatkan gadis yang lebih muda di dataran Bengkulu: Fatmawati. (*)
Muhidin M. Dahlan, kerani di Indonesia Buku dan penulis buku ''Seratus Catatan di Balik Buku'' (2009, bersama Diana A.V. Sasa)
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 7 Juni 2009
No comments:
Post a Comment