-- Ignatius Haryanto
KEBUDAYAAN populer di Indonesia semakin menarik untuk diperbincangkan. Ia dibicarakan bukan semata-mata untuk menunjukkan bagaimana isi kebudayaan populer yang berevolusi dari waktu ke waktu, tetapi ia akan menarik jika dilihat sebagai juga buah tarik-menarik politik dan ideologi dari masa ke masa. Mungkin tak banyak yang percaya kebudayaan populer di mana pun ada kaitannya dengan dinamika politik yang ada.
Tentu saja politik di sini dimengerti bukan sebagai politik institusional, terkait dengan melulu masalah partai politik, pemilu, calon presiden, dan lain-lain, tetapi yang paling penting praktik kebudayaan populer hari ini ada di jantung perpolitikan Indonesia saat ini. Begitu tesis sentral Ariel Heryanto sebagaimana ditulisnya dalam pengantar buku ini.
Buku ini berisi sembilan tulisan yang membahas khusus kebudayaan populer di Indonesia dengan mengambil tema spesifik dan menarik untuk dibaca lebih lanjut.
Penulisnya para sarjana yang sebagian besar asal Australia atau berpendidikan di Australia (umpamanya Dr Rachmah Ida, Ketua Jurusan Komunikasi, Universitas Airlangga, lulusan dari Curtin University, Perth), dan ada juga yang bekerja sebagai aktivis LSM di Indonesia. Editornya, Ariel Heryanto, pengajar di Australian National University, Canberra, Australia, yang telah lama menekuni masalah budaya populer di Indonesia.
Keragaman tulisan dalam buku ini membahas mulai dari soal maskulinitas, sensor, dan kekerasan dalam sejumlah film di Indonesia (Marshall Clark), kemudian perbandingan film remaja di Indonesia dan Thailand (David Hanan), juga soal cara mengonsumsi film asal Taiwan, Meteor Garden, oleh penduduk di kampung Surabaya (Rachmah Ida). Ada juga ulasan menarik soal Indonesian Idol (Penelope Coutas), ulasan soal acara gosip di televisi dan soal redomestifikasi perempuan (Vissia Ita Yulianto), ulasan atas kondisi pertelevisian di Indonesia (Edwin Jurriens), serta evolusi musik di Yogyakarta (Max M Richter). Ariel Heryanto selain menulis pengantar buku ini juga menulis satu bab yang mengulas tentang representasi ketionghoaan dalam film-film Indonesia pasca-1998.
Saat bicara tentang politik dari budaya populer kita akan melihat kategori utama dalam kajian seperti ini adalah ideologi, representasi, pola konsumsi, regulasi, dan produksi. Ini akan mengingatkan kita akan bagan sirkuit kebudayaan yang pernah digagas akademisi Cultural Studies di Inggris; Paul du Gay, Stuart Hall, dan kawan-kawan (1997) dalam buku serial Culture, Media, and Identities. Kelima hal di sini saling berkait. Tak ada yang paling memengaruhi dibanding yang lain, tetapi semuanya punya kemungkinan peran yang sama.
Kedekatan budaya
Buku ini khusus membedah kasus-kasus budaya populer di Indonesia dan ia hadir dengan konteks spesifik di mana wilayah ini belum lama terbebas dari kungkungan kekuasaan otoriter. Kondisi ini memberi nuansa khas untuk melihat bagaimana media dan budaya yang terekspresi diproduksi dan dikonsumsi banyak pihak.
Oleh karenanya menjadi menarik membaca bahasan Clark ketika mengulas dua film Rudi Soedjarwo, Mengejar Matahari dan 9 Naga. Dua film ini mengisahkan dunia para pria remaja dengan segala dinamikanya. Film yang sangat ”laki-laki”, bersama dengan film-film lain pasca-1998, rupanya harus berhadapan dengan para penyensor baru yang datang dari kalangan agama yang puritan. Clark juga menekankan, film-film ini juga menegaskan karakter budaya kekerasan dalam masyarakat, tetapi soal penyensoran dari kalangan agamawan bisa berakibat besar untuk perkembangan film mainstream dan independen di Indonesia.
Tulisan menarik lainnya datang dari Rachmah Ida yang menunjukkan kegemaran penduduk di kampung di Surabaya akan serial televisi Meteor Garden. Ida menekankan soal adanya cultural proximity (kedekatan budaya) dari kultur para lelaki di dalam serial itu dengan keyakinan yang dimiliki para penontonnya yang terutama para perempuan (mahasiswi dan ibu rumah tangga).
Kedekatan budaya ini ditunjukkan untuk membedakan dengan, misalnya, serial lain di televisi kita yang sempat didominasi tampilan ala Hollywood. Para pria pemikat hati ini tampil dengan karakter yang tampan, trendy, baik hati, tidak kasar (tidak mengumpat-umpat seperti yang sering dilakukan para pria dalam film Hollywood), tidak bertato, bukan perokok, serta bentuk tubuh sempurna.
Di luar tampilan fisik, serial ini lebih menonjolkan aspek ”ketimuran” dalam hubungan antara pria dan wanita. Seks bebas tak tampil dalam serial ini. Kalaupun ada adegan pria dan wanita tidur bersama, lebih tampil dalam keromantisan tidur berdampingan. Beda dengan tampilan Hollywood yang pria dan wanita mudah jatuh dalam hubungan one night stand.
Representasi politik
Tulisan tentang Indonesian Idol dalam buku ini juga bahasan menarik. Penulisnya, Penelope Coutas, mau menunjukkan, Indonesian Idol sebagai bagian dari Idola yang ”imperialisitik”—karena ikon ”Idol” ada di mana-mana; American Idol, Malaysian Idol, Singaporean Idol, bahkan ASEAN Idol—lalu juga citra dari Indonesian Idol, hal tentang pemasaran Indonesian Idol, hingga ideologi acara yang sama.
Kita pun diingatkan akan pandangan imperialisme kultural yang pernah kita dengar pada dekade 1960-an ataupun akhir 1980-an. Indonesian Idol sebagai waralaba dari program serupa dari produksi Amerika bisa dilihat sebagai imperialisme kultural yang menokohkan si tokoh sebagai sesuatu yang tak jauh berbeda dari yang dihasilkan di Amerika. Pengemasan acara, gaya bernyanyi, pilihan lagu, lebih mencerminkan paduan global dan lokal—atau glocal dalam pandangan Annabelle Sreberny-Mohammadi—hal yang global ada di lokal dan yang lokal ada di global.
Dalam situasi ini, budaya populer adalah representasi dari politik, sementara politik pun kerap mengambil budaya populer sebagai cara penyampai pesan. Masih ingat pemandangan dalam setiap kampanye pemilu? Penyanyi dangdut selalu jadi andalan para juru kampanye partai mana pun. Jangan tanya siapa yang lebih didengar karena massa terlihat mengerumun saat iringan gitar band mulai berkoar, sementara massa memecah saat juru kampanye partai mulai mengambil corongnya.
Budaya populer di Indonesia saat ini terus berkembang dalam tarik-menarik dengan budaya lokal, nasional, dan global, sementara di sisi lain, lanskap budaya populer harus juga berhadapan dengan para regulator budaya yang baru, yang tampil dalam sosok mereka yang mengaku moralis, tetapi selalu intimidatif jika kehendaknya tak dituruti.
* Ignatius Haryanto, Direktur Eksekutif LSPP, Jakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 7 Juni 2009
1 comment:
Buku yang menarik
Post a Comment