MANOHARA Odelia Pinot. Perempuan 17 tahun itu tak hanya cantik, bahkan sangat cantik. Tak sekadar itu, dia juga istri seorang pangeran mahkota, Tengku Temenggong Muhammad Fakhry Petra dari Kesultanan Kelantan Malaysia. Karena ia permaisuri Putra Mahkota, maka di kalangan istana dan rakyat Negara Bagian Kelantan, perempuan berdarah campuran Makassar-Amerika ini dikenal sebagai Cik Puan Temenggong Kelantan. Akan tetapi tidak seperti kecantikannya dan hidup yang di tengah lingkungan kaum jetset dan aristokrat Melayu Kelantan, nasib dan perjalanan hidup Manohara sebagai permaisuri Putra Mahkota ternyata menyimpan hikayat dan narasi yang berurai air mata.
Hikayat ihwal nasib Manohara di Istana Kesultanan Kelantan yang menyedihkan ini, seolah membuka semua tabir di balik kebahagiaannya yang tampak selama ini. Seluruh kesedihan itu ditimpakan pada perangai ganjil suaminya yang tak hanya menculik, menyandera, juga melarang Manohara menghubungi keluarganya. Padahal, ia ingin sekali kembali pulang ke Indonesia. Bahkan narasi dari hikayat nasib Manohara ini, berpuncak pada siksaan yang diterimanya secara seksual. Setelah melewati berbagai peristiwa dramatis dalam narasi pelariannya, sampailah akhirnya Manohara pulang ke Indonesia.
Dalam tayangan berbagai stasiun televisi, di balik tubuhnya yang sintal, rambutnya yang tebal tergerai, dan wajahnya yang cantik, dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata bercampur Inggris, Manohara menuturkan seluruh kemalangannya selama menjadi istri Tengku Muhammad Fakhry. Bahkan dalam sebuah jumpa pers, didampingi pengacaranya, tersisak-isak Manohara mengisahkan bagaimana suaminya menggagahinya dalam keadaan ia tak sadar, setelah lebih dulu disuntik.
Masih dalam tayangan televisi, diperlihatkanlah bagian-bagian tubuh Manohara yang penuh dengan luka silet, terutama di bagian dadanya. Tak cukup hanya pengacara, seorang dokter forensik pun merasa perlu memberi keterangan ihwal kondisi tubuh perempuan cantik yang malang itu.
Lewat berbagai media di Indonesia, Manohara dan nasibnya merebut perhatian. Hampir setiap hari berita ihwal diri dan nasibnya terus ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi, termasuk oleh sejumlah infotainment. Manohara segera menjadi komoditi. Sejumlah tabloid wanita tak lupa memajang foto Manohara di halaman depan. Foto bagian dadanya yang penuh dengan luka silet itu, sungguh mengundang haru dan tampak memilukan. Maka dengan waktu yang tak lama, kisah malang Manohara pun tak ubahnya menjadi isu nasional. Berbagai bentuk solidaritas pun bermunculan.
Tubuh Manohara dan seluruh luka-lukanya, tiba-tiba saja seolah telah menjadi luka kita semua. Tapi tidak dengan luka-luka di tubuh Siti Hajar, yang pada saat bersamaan, mengalami penyiksaan brutal dari majikannya, sehingga ia melarikan diri ke KBRI Kuala Lumpur. Tak hanya itu, gaji selama 34 bulan tak pernah dibayar. Siti Hajar hanyalah satu dari sekian banyak nasib para TKI yang bernasib mengenaskan. Tapi luka-luka di tubuh mereka, tidaklah pernah menjadi metafora dari luka-luka semua orang di negeri ini, sebagaimana luka-luka di tubuh mulus Manohara.
**
CANTIK, terkenal, dan dianiaya. Inilah agaknya yang menyebabkan mengapa Manohara bisa lebih merebut perhatian media ketimbang nasib Siti Hajar dan Sumirah yang tewas di Hongkong. Lebih dari itu, dengan kecantikan yang hidup di tengah keluarga Istana Kesultanan Kelantan, nasib malangnya dan narasi pelariannya ke Indonesia yang dramatik, telah menyebabkan kisah Manohara tak ubahnya sebuah melodrama. Dengan kata lain, bagi media dan mereka yang memiliki naluri industri hiburan, Manohara bukan sekadar nasib seorang istri atau melulu urusan keluarga. Melainkan sebuah melodrama ihwal perempuan cantik yang teraniaya di balik kebahagiaan dan kemegahan hidup di tengah kaum aristokrat istana.
Manohara yang cantik adalah tubuh dari sebuah melodrama. Lepas dari benar tidaknya narasi yang dituturkannya, inilah melodrama yang amat disukai media. Melodrama tubuh seorang istri Pengeran Putra Mahkota yang malang. Melengkapi efek melodrama itu, Manohara tak hanya cantik tapi digambarkan sebagai seorang perempuan yang tabah, meski harus melewati berbagai siksaan. Melodrama tubuh Manohara adalah sebuah kontradiksi, kecantikan dan luka-luka; kesantunan kaum bangsawan dan kekejaman.
Media, terutama berbagai stasiun televisi yang terus menjejali kita dengan berbagai sisi ihwal nasib malang Manohara, yang berbaur dengan silang-sengketa Indonesia-Malaysia soal kawasan Ambalat; secara perlahan telah membuat fokus narasi Manohara bergeser. Apakah seluruh kemalangan yang menimpa Manohara itu benar terjadi atau tidak, terkesan tidak lagi menjadi penting. Seorang gadis cantik, istri seorang Pangeran Putra Mahkota dianaiya oleh suaminya. Ia tak boleh menemui keluarganya dan tak boleh pulang ke tanah airnya. Kisah melodrama inilah yang tampaknya lebih menarik ketimbang proses hukumnya.
Antuasiasme banyak orang pada nasib Manohara, di sisi lain tak hanya menjelaskan perangai media. Melainkan juga merepresentasikan di tengah masyarakat sejenis apa sesungguhnya kita hidup. Jika disebut bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan pada tubuh, jangan-jangan apa yang terjadi dengan tubuh Manohara merupakan identifikasi dari pola masyarakat yang hidup di tengah kita. Kita menemukan identifikasi utopia kita tentang tubuh pada diri Manohara. Ketika tubuh itu dilukai dan diananiya, maka kita akan cepat bereaksi menaruh simpatik, geram, dan turut merasa sedih.
Tubuh Manohara mendadak telah menjadi tubuh kita semua. Ia mewaikili citra ideal dari apa yang selama ini kita bayangkan; cantik, terkenal, dan hidup di tengah kaum aristokrat. Ketika ia mengalami nasib dan perlakuan yang kontradiktif, tubuh itu membawa kita ke dalam sebuah melodrama yang menegangkan. Kemalangan Manohara itulah yang kemudian menjadi narasi yang lebih penting ketimbang nasib Siti Hajar dan Sumirah. Selalu ada banyak alasan, argumen, dan cara pandang dalam menanggapi nasib kedua TKI itu. Tapi tidak untuk Manohara, karena ia adalah seorang perempuan yang cantik, permaisuri seorang pangeran mahkota.
Jika Marcel Mauss (1982) pernah menyebut bahwa salah satu cara untuk memahami peradaban manusia, antara lain adalah dengan memperlajari bagaimana masyarakat itu memaknai tubuhnya. Demikian pula tentunya ketika mereka menetapkan cara pandang terhadap tubuh. Dan bagaimana kita memandang tubuh Manohara dan luka-lukanya, menjelaskan banyaknya ihwal tentang masyarakat sejenis apa kita sesungguhnya. Mungkin benar media memiliki kekuatan untuk merekonstruksi sebuah realitas sosial, tapi bagaimana pun ia adalah bagian dari masyarakat. Ia adalah representasi dari keburukan dan kebaikan masyarakat di mana kita hidup. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 27 Juni 2009
No comments:
Post a Comment