-- Hasta Indriyana
JENDERAL berbintang lima pertama yang dimiliki Indonesia, Sudirman, bukanlah seorang dengan latar belakang militer yang hebat. Ia, sebagaimana Hatta, Sjahrir, Ki Hadjar, Kartini, Tan Malaka, dan Agus Salim, adalah masyarakat sipil yang sederhana. Salah satu kesamaan dalam kisah-kisah yang membumbui di sela-sela perjuangan tokoh itu adalah kewajiban menularkan ilmu dan pengalaman yang mereka dapatkan kepada orang lain. Pun demikian ketika pahlawan-pahlawan tersebut sedang berada dalam pengasingan dan gerilya. Di sela-sela penahanan pihak Belanda di Bengkulu misalnya, Soekarno hampir setiap pagi mengajari anak-anak belajar membaca dan menulis.
Secara substansial, mereka sebenarnya telah melakukan tugas-tugas guru. Mereka mendidik tanpa pamrih, mengajar tidak dibayar, dan menyuluh tanpa disuruh. Pendidikan yang dilakukan di sembarang papan. Asal ada anak didik dan mereka haus pengetahuan, maka orang-orang itu maju tanpa gentar menularkan pengetahuannya.
Ruang yang digunakan pun di tempat para darah biru bersemayam. Pura Pakualaman, Yogyakarta juga tidak luput menjadi tempat berlangsungnya transformasi intelektual. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) adalah salah satu 'murid' didikan Sarekat Islam yang rajin belajar di sana, dua kali seminggu.
Pada perkembangan selanjutnya, makna 'guru' mengalami pergeseran. Oleh karena laju zaman dan modernitas, guru di mata masyarakat menjadi sebuah profesi. Guru bekerja memberikan pelajaran yang tertulis di buku, menerangkannya di depan kelas, memberikan tugas-tugas rumah, kemudian dibayar.
Di dalam tulisan ini, akan disinggung sedikit tentang guru dan dunianya, di dunia nyata dan dunia fiksi. Fiksi dalam pembahasan ini adalah karya sastra, khususnya puisi dan cerpen. Menarik untuk membicarakan guru dalam dunia fiksi, karena karya fiksi pada galibnya tidak lahir dari rahim kebudayaan yang nir.
Tema guru dalam karya fiksi telah banyak diciptakan oleh pengarang, baik naskah drama, novel, puisi, maupun cerpen. Hal itu disebabkan dunia guru adalah ladang subur dalam berkreasi dan berempati. Dunia guru seperti halnya cermin bening yang memantulkan hal-hal yang terjadi padanya. Dari banyak karya fiksi, cerita yang ditampilkan adalah satire hidupnya. Nyaris tidak ada yang mengisahkan kehidupan guru dalam suasana yang gemerlap sebagaimana sinetron Indonesia tercinta.
Selama pemerintahan Orde Baru, profesi guru dipandang sebagai kelas pinggiran. Penyebabnya, tentu saja karena gaji dan jaminan kesejahteraan tidak memenuhi standar kelayakan. Pemerintah nampaknya mengadopsi kinerja dan filosofi para pahlawan ketika mendidik dan mengajar tanpa dibayar, tidak mengejar citraan tertentu, apalagi menyangkut material. Oleh karena cara pandang yang mengadopsi mentah-mentah makna guru dalam teks/kamus, mengakibatkan kebijakan yang mentah pula.
Menurut Mochtar Buchory, ada tiga masalah yang menjadi sumber terciptanya kondisi kerja menyedihkan bagi para guru, yaitu: 1) Kesejahteraan guru yang dipandang terlalu rendah, 2) Sistem manajemen sekolah yang dipandang bersifat menekan guru, dan 3) Kurikulum sekolah yang dipandang terlampau sarat (overload) sehingga menimbulkan beban yang berlebihan pada guru (2007:146). Cuplikan cerpen di bawah menegaskan tiga hal yang disebutkan oleh Mochtar Buchory di atas.
Begitulah Safedi, dia merasa banyak yang tidak cocok dan tidak sesuai di dalam hati. Mulai dari sikap murid-muridnya, kebijakan kepala sekolah, atau tentang dunia pendidikan itu sendiri secara lebih luas. Karena itu, dia sering dianggap radikal oleh beberapa teman ketika berdikusi soal pendidikan. "Tiap sebentar kurikulum diganti-ganti. Kemarin KBK, sekarang KTSP. Tetapi penerapannya tidak ada yang sesuai..." (Kompas, 14/12/08).
Penggambaran kehidupan guru yang miris tersebut ditulis oleh Farizal Sikumbang dalam cerpennya Guru Safedi. Dikisahkan, Safedi yang berprofesi sebagai guru honorer sangat kuwalahan dalam mengatur biaya hidup sehari-hari. Guru Safedi menerima gaji sekali dalam tiga bulan, sebesar seratus delapan puluh ribu rupiah. Edan! Zaman seperti sekarang, rumah tangga mana yang mampu hidup demikian, sementara istrinya adalah ibu rumah tangga?
Maka, konsekuensinya, hutang istrinya di warung menumpuk. Istrinya terpaksa hutang ke beberapa warung untuk menutup kekurangan biaya hidupnya. Perselisihan terjadi ketika idealisme Safedi yang menjadi guru berdasar hati nurani tanpa pamrih menghadapi keresahan istrinya. Sang istri pun kemudian meminta Safedi untuk nyambi, mencari penghasilan tambahan. Benturan antara dunia ideal dengan kenyataan rupanya susah disandingkan, karena guru haruslah jaga image, sebab ia mulia, digugu lan ditiru.
Tapi, sesuai dengan sifat dasarnya, guru adalah orang yang mulia, memiliki kelebihan, pembimbing spiritual, dan menjadi teladan. Kelebihan guru, baik pengetahuan maupun sifat kemanusiannya tetap saja kentara, dan tidak pernah lekang. Mas Guru dan Guru Safedi dalam balutan kemelaratan dan kepiluan, masih memegang teguh sifat dasar tersebut. ***
* Hasta Indrayana, Pembaca cerpen dan puisi, guru di Gunungkidul
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 6 Juni 2009
No comments:
Post a Comment