-- Sonya Hellen Sinombor
”NUWUN sewu inggih,” kata John Paterson (49) dalam bahasa Jawa yang berarti permisi, seraya merapatkan dua tangan di depan badan dengan kepala agak menunduk, saat ia berjalan melangkahi orang yang duduk di depannya, akhir Mei lalu di Yayasan Sastra Surakarta, Kota Solo, Jawa Tengah.
Sopan santun dalam tradisi Jawa yang ditunjukkan Paterson mengejutkan beberapa orang yang lalu spontan menjawab mangga atau silakan. Apalagi saat Indonesianis dan peneliti budaya dan bahasa Jawa pada Monash University, Australia, yang mendirikan Yayasan Sastra Surakarta itu membaca dengan lancar beberapa naskah Jawa carik (tulisan tangan dalam aksara Jawa).
Lelaki yang bangga disapa Mas John ini menyatakan, walau sarat sejarah dan ilmu pengetahuan di berbagai bidang, tak banyak orang yang peduli dengan naskah-naskah itu. Padahal, banyak naskah Jawa itu yang telah berusia ratusan tahun dan terancam punah.
Dari keprihatinan inilah, sekitar 20 tahun lalu, ia memulai upaya penyelamatan naskah kuno. Bersama beberapa alumni Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, sejak tahun 1995 ia merintis berdirinya Yayasan Sastra Surakarta.
Tahun 1998 Yayasan Sastra Surakarta resmi berdiri dan memulai pendaftaran, pengarsipan naskah kuno yang dia koleksi, hingga proses digitalisasi. Semuanya dengan biaya sendiri.
”Selain menyelamatkan, misi kami adalah menyebarluaskan isi naskah kepada publik,” ujar John.
Yayasan Sastra Surakarata telah menyelamatkan dan melestarikan sekitar 6.000 naskah tulisan Jawa. Lebih dari 1.000 naskah kuno dalam aksara Jawa sudah dialih aksara hingga dapat dibaca banyak orang.
”Sekitar 15 juta kata dari naskah kuno sudah kami kerjakan dan digitalisasi,” ujarnya.
Agar bisa diakses publik, dalam waktu dekat yayasan ini akan meluncurkan kembali situs web: www.sastra.org, yang memuat berbagai informasi kebudayaan sastra lama/kuno tentang budaya Jawa. Sejumlah karya sastra yang ditulis/diterbitkan awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20, mulai dari tembang (puisi), gancaran (prosa) baik prosa yang ditulis tangan, cetakan, maupun ketikan, akan dipublikasikan.
Lewat internet, ia berharap karya yang bercerita tentang sejarah, perkembangan Islam di Jawa, pengetahuan tentang Jawa, seperti ajaran tentang moral dan informasi tentang wayang, termasuk gending, bisa diketahui orang di seluruh dunia.
Terpesona
Kendati puluhan tahun menyelamatkan naskah kuno, John relatif tak dikenal publik. Sosoknya baru dikenal saat dia hadir di DPRD Kota Solo, membagikan informasi tentang upaya penyelamatan naskah kuno lewat digitalisasi.
Namun, pada saat yang sama, nama John sempat diberitakan di koran setempat. Ia dikait-kaitkan dengan hilangnya naskah kuno dari Museum Radya Pustaka, Solo. Maka, dia segera mengklarifikasi dan menjelaskan misi Yayasan Sastra Surakarta.
”Ini zaman modern. Kita tak perlu membicarakan ini berkaitan dengan orang Indonesia, orang asing, atau orang lain. Ini manusia yang berminat terhadap satu bahasa, sastra, dan budaya, dan dia kebetulan berpaspor Australia,” tegasnya.
Bagi John, status orang asing hanya soal administrasi. Namun, lebih penting adalah jiwanya. ”Ini soal rasa. Saya tidak menganggap diri ini orang asing,” ujarnya seraya memastikan tidak ada satu pun naskah yayasan yang bercap Radya Pustaka.
Bagaimana awal John tertarik dengan naskah kuno Jawa? Lelaki yang dalam waktu dekat ini akan menikahi gadis asal Indonesia ini mengatakan, berawal ketika ia datang ke Solo tahun 1981. Saat itu ia mengikuti program beasiswa Pemerintah Indonesia untuk belajar bahasa dan sastra Jawa di Jurusan Sastra Budaya Jawa UNS.
Sekitar dua tahun di Solo, ia mempelajari bahasa dan budaya Jawa. John bercerita, ketika itu, karena begitu bersemangatnya memahami budaya setempat, ia sampai jatuh ke parit, gara-gara berjalan mundur sambil jongkok (laku dodok) saat pamitan di sebuah acara hajatan.
Saat di Solo itulah John mengenal naskah kuno. Oleh karena sebagian besar naskah dalam Jawa carik, ia lalu belajar membaca aksara Jawa. Belakangan timbul keprihatinannya saat melihat banyak naskah kuno tak terawat dan dijual murah di pasar buku loak di belakang Taman Sriwedari dan Pasar Triwindu Solo, juga di Yogyakarta.
Maka, niatnya untuk menyelamatkan naskah kuno muncul. Awalnya hanya beberapa naskah. Namun, karena harga naskah-naskah kuno itu relatif murah, John lalu membelinya terus-menerus hingga mencapai ribuan naskah.
Semangatnya mendalami bahasa dan budaya Jawa mendapat perhatian almarhum Suranto, yang mengajarkan John berbahasa Jawa. Sebelum meninggal dunia, gurunya itu menyerahkan koleksi naskahnya kepada John.
Selesai pendidikan di UNS, John kembali ke Melbourne. ”Saya ingin merawat naskah-naskah ini. Namun, saya khawatir cuaca di Solo tak mendukung. Jadi, saya membawanya ke Australia.”
Saat melanjutkan pendidikan, ia mengambil beberapa program studi, yakni Informatika, Studi Asia Tenggara, dan Sejarah. Program Studi Asia Tenggara di dalamnya ada bahasan tentang bahasa Indonesia, Belanda, dan Sanskerta. Maka, ia semakin fokus belajar tentang tanah Jawa, memadukan pengetahuan yang dia miliki.
Tahun 1990-an John kembali ke Solo untuk penelitian S-3 dan merintis lahirnya yayasan. Sebagian naskah yang dia bawa ke Australia kembali diboyong ke Yayasan Sastra Surakarta.
Naskah kuno diarsipkan, lalu didokumentasikan, dan mulai dialih aksara. Sebagian naskah yang tertinggal di Australia terus diupayakan untuk disatukan dengan koleksi yayasan.
Perkembangan budaya
Saat penelitian untuk program S-3 di Monash University, John memilih topik ”Perkembangan Budaya pada Abad ke-19”, yang juga mempelajari budaya Jawa. Sekitar abad itu, kata dia, cendekiawan Jawa, khususnya di Solo dan Yogyakarta, mulai mendokumentasikan budayanya.
Pada masa itu muncul gerakan menulis bahasa Jawa secara ”narasi” dan melahirkan antara lain koran Bramartani (1860-an) dan Jawi Kondha (1890-an). Bahkan, pada akhir abad ke-19, banyak cendekiawan mulai fokus pada pelestarian budaya Jawa.
”Misalnya Sasradiningrat IV, Warsadiningrat, dan Padamasusatra. Mereka secara eksplisit menulis dan sering menerbitkan buku-buku yang terkait dengan pengetahuan tentang Jawa. Bahkan, Sasradiningrat IV mendirikan Radya Pustaka,” ujarnya.
Bagi John, perkembangan budaya yang sangat kaya merupakan studi yang menarik untuk diteliti. Sayang, semakin sedikit orang yang tertarik dengan tradisi dan adat. Padahal, tradisi dan adat itu merupakan landasan penting untuk memperkokoh jati diri dalam globalisasi.
Biodata
• Nama: John Paterson • Lahir: Australia, 4 September 1960 • Pendidikan: - Indonesian Government Scholarship, 1981-1982 - B.A. Honours, University of Melbourne, 1982-1983 - Post Graduate Scholarship, Australian National University, 1983 - M.A. Candidature, Monash University, 1984 - Monash Graduate Scholarship (MGS), 1985 - PhD. Candidature, Monash University, 1989-kini
Sumber: Kompas, Senin, 22 Juni 2009
No comments:
Post a Comment