Jakarta, Kompas - Seniman teater, penyair, sekaligus cerpenis Agung Setyadji bin Darjono Hadjiwidjojo, yang lebih dikenal sebagai Ags Arya Dipayana, meninggal dunia di Purwakarta, Jawa Barat, pada usia 49 tahun, Selasa (1/3) malam. Pendiri Teater Tetas itu dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut, Jakarta Selatan, Rabu (2/3).
Adik kandung almarhum, Arjono Setyadi, menuturkan, penulis skenario sinema dan naskah teater yang akrab dipanggil Mas Adji itu mengembuskan napas terakhir di tengah para pekerja seni peserta lokakarya dalang di Purwakarta. Ayah dua anak itu, Azka dan Ammar, sepanjang hidupnya menetaskan belasan naskah teater, sejumlah antologi puisi, naskah sinetron, serta ratusan cerpen dan karya lainnya.
Kepergian Adji mengejutkan banyak sahabatnya. Sejumlah seniman dan budayawan, antara lain Slamet Rahardjo, Putu Wijaya, Ratna Sarumpaet, Sapardi Djoko Damono, dan Arswendo Atmowiloto, terlihat melayat di rumah duka, Jalan Kebon Anggrek, Cipete.
Pekan lalu seniman yang lahir 29 April 1961 di Tulungagung, Jawa Timur, itu menghadiri diskusi dan pelatihan ludruk di Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali, Surabaya. Adji kembali ke Jakarta pada Minggu. Pada Selasa, Adji dan sahabatnya, Nanang Hape, pergi ke Purwakarta, karena Adji harus menjadi pemateri pembanding dalam lokakarya dalang soal sosialisasi jaminan perlindungan saksi melalui pergelaran wayang kulit.
Arjono mengenal kakaknya sebagai orang yang lebih mencintai orang lain ketimbang dirinya sendiri. ”Ia terus-menerus berkarya melalui pendidikan, kebudayaan, sastra, musik, teater. Sesaat sebelum meninggal, Mas Adji menggambar sketsa gelas berisi air. Gelas selama belum terisi bisa terus diisi, tapi gelas yang telah berisi tidak bisa lagi diisi. Ketika menyelesaikan gambarnya, Mas Adji merasa perjalanan hidupnya telah sempurna dan lantas berpulang,” tutur Arjono kepada para pelayat.
Adji dikenal melalui karyanya, naskah teater seperti Wisanggeni Berkelebat, Dari Seberang Cuaca (yang terdiri atas empat naskah teater pendek), Seorang Anak Menangis, Palaganada-Di Negeri Cinta, Jejak Surga, Julung Sungsang, Republik Anturium, Raung Kuda Piatu, Durna Rumangsa, World in My Feet, dan Questioning Ekalaya. Adji juga menghasilkan skenario sinema elektronik, antara lain Kotak Sendiri. Seniman serba bisa itu juga pernah bekerja di bidang periklanan.
Aktivis Teater Tetas, Harris Syaus, menuturkan kegelisahan Adji muncul ketika kebebasan berekspresi justru membuat setiap orang terlalu banyak berdebat.
Slamet Rahardjo menyebut alumnus Jurusan Sastra Perancis, Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu sebagai pecinta seni tanpa reserve. ”Orang lain berwacana ’harus begini’, ’harus begitu’. Adji tak pernah berwacana, tetapi ia bekerja mewujudkan wacana. Kita semua kehilangan seorang pekerja seni yang mampu menjadikan wacana sebagai karya yang nyata,” kata Slamet. (ROW/ICH)
Sumber: Kompas, Kamis, 3 Maret 2011
No comments:
Post a Comment