-- Aryo Wisanggeni G
TERSESAT di perjalanan sungguh tak nyaman. Namun, ketersesatan kehidupan urban yang melaju tanpa tujuan justru kerap diabaikan pelakunya. Sugihartono dan E Muheriyawan memanggungkan kehidupan urban tak berarah dalam 20 karya lukisan yang mereka pamerkan di Philo Art Space Jakarta, mulai Rabu (23/3).
Pengunjung mengamati lukisan yang dipajang dalam Pameran Urban in Between di Philo Art Space, Kemang, Jakarta, Rabu (23/3). Pameran tersebut menampilkan lukisan karya E Muheriyawan dan Sugihartono. (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)
Lima sosok berpakaian mantel modis, bersepatu bot, topi, lengkap dengan pernak-pernik kalung etnik yang sedang menjadi tren berjalan beriringan melintasi jalanan kota yang disesaki papan rambu lalu lintas. Cantikkah mereka?
Entahlah, karena kelima sosok dalam lukisan ”Kota Mode” karya Sugihartono itu tanpa berwujud; tanpa pakaian ”mewah” mereka, lima sosok transparan dalam lukisan arsiran bolpoin hitam itu tidak akan terlihat mata. Tanpa bungkus urbannya, eksistensi kelima sosok itu tidak ada.
Dalam pameran bertajuk ”Urban in Between” itu, sejumlah lukisan bertema bajaj Sugihartono menampakkan seluruh bidangnya ”berselubung” garis kontur lembut dan rapat, bak kabut polusi udara Jakarta. Bajaj yang suram dalam arsiran bolpoin satu warna yang datar kontras dengan gemerlap bangunan kota.
Sisi lain hidup Sugihartono, yang masih bekerja sebagai karyawan perusahaan keramik, mencuat dalam lukisan ”Kota Industri” yang melukiskan antrean orang di sela jalanan kota tak berpohon yang terkungkungi tembok dan mesin pabrik. Skateboard dan gedung tinggi banyak muncul di lukisannya yang lain.
”Saya tinggal di perkotaan, merasakan memburu waktu untuk bekerja, memburu waktu untuk pulang agar bisa melukis. Keseharian itu memang muncul dan kehidupan buruh selalu menarik bagi saya. Namun, mencari simbol refleksi kehidupan urban tidak pernah mudah,” tutur Sugihartono yang kali ini banyak memakai skateboard sebagai penanda budaya urban.
Lukisan ”pedas”
E Muheriyawan yang akrab dipanggil Jange Rae menampilkan 12 lukisan ”pedas” yang mengontraskan kutub-kutub kehidupan urban. Ia melukis ulang lukisan Basoeki Abdullah berjudul ”Kakak dan Adik” (1978) dengan teknik cat semprot stensil. Dalam lukisan ”I’m Doing It” itu, si kakak yang menggendong adik itu membawa kotak berlabel merek salah satu makanan cepat saji. Di ruang kosong, Jange menempelkan kertas bergambar maskot merek makanan cepat saji itu, yang mengelupas menyerupai tempelan poster di tembok.
Jange yang terinspirasi karya-karya perupa seni jalanan Inggris, Banksy, memunculkan ”monyet Banksy” dalam ”This is My …”. ”Banksy memang menjadi inspirasi dalam street art. Monyet kerap menjadi karakternya dan saya meminjam karakter monyet Banksy,” ujar Jange soal monyet urban berkaleng cat semprot itu.
Lukisan Jange yang lain, ”The Last Request” menampilkan seorang nenek pencari kayu yang menyodorkan bendera ”Peace” kepada seorang serdadu asing. Sementara dalam ”Don’t Ever”, lukisan Jange menampilkan seorang perempuan di tepi jalan yang ditemani seekor anjing kecil, dengan sejumlah coretan grafiti ala jalanan. Senyuman Monalisa dalam lukisan Leonardo da Vinci pun hadir dalam lukisan ”Beatiful Is”, dipandangi seorang nenek renta tanpa senyum yang duduk di trotoar.
”Sebenarnya saya tidak memprovokasi kesenjangan kehidupan perkotaan. Saya memiliki pandangan yang netral terhadap semua obyek lukisan saya, tidak ada rasa suka atau tidak suka. Saya hanya merespons apa yang terjadi dalam kehidupan perkotaan. Apa yang saya lukis sebenarnya mendaur ulang semua yang ada dalam lingkungan saya. Semuanya mudah didapati di internet, tetapi kerap terlewatkan begitu saja. Saya menaruh dalam konteks yang berbeda, dengan teknik yang berbeda,” papar pelukis yang awal April akan terlibat aksi amal para perupa dalam Expo for Mattia Fagnoni di Napoli, Italia.
Meski Jange tak berniat sinis terhadap ”kaum urban”, toh kurator Tommy F Awuy menyebut lukisan Jange memanggungkan sisi paradoks satir kehidupan urban. Mereka yang berpunya larut dalam gaya hidup urban yang ”wah”, sementara yang tidak berpunya menonton.
”Kehidupan urban selalu menjebak orang di persimpangan antara hasrat dan ketidakberdayaan. Baik yang papa maupun yang berpunya tidak lagi mampu menghentikan laju kehidupan urban yang tanpa arah. Kita tidak pernah tahu ke mana arah kehidupan akan membawa kita, semua terseret arus tanpa tahu ke mana semuanya akan bermuara,” ujar Tommy.
Saat rasi bintang penunjuk arah para nenek moyang tertutupi kabut polusi dan gemerlap lampu kota, hanya kegelisahan yang bisa memutus arus liar urban tanpa arah. Mungkin suatu hari semua manusia urban bangun sebagai ”monyet Banksy” atau manusia tembus pandang tanpa eksistensi jika hal itu belum lagi terjadi.
Sumber: Kompas, Minggu, 27 Maret 2011
No comments:
Post a Comment