Jakarta, Kompas - Terabaikannya Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin merupakan cermin kemerosotan budaya literasi di Tanah Air, yang berdampak pada minimnya apresiasi terhadap karya sastra. Padahal, sastra punya peran penting dalam membentuk peradaban bangsa.
”Membiarkan pusat dokumentasi sastra terbengkalai memperlihatkan hancurnya peradaban kita,” kata Martin Aleida, sastrawan yang produktif menulis cerpen dan buku, Rabu (23/3). Ia menilai para penentu kebijakan mengabaikan PDS HB Jassin karena mereka tidak memiliki budaya literasi yang kuat sehingga tidak menganggap pusat dokumentasi sastra terlengkap di Indonesia itu sebagai sesuatu yang penting.
Karena kekurangan dana, pengelola PDS HB Jassin berencana menutup pusat dokumentasi yang didirikan pada 1977 itu. Puluhan ribu koleksi karya sastra dan dokumentasi yang terkait dengan sastra terancam rusak.
Peran sastra membangun peradaban bangsa sangat penting. Melalui karya sastra, ujar Martin, seseorang tidak hanya mengembangkan imajinasi yang bisa digunakan untuk membangun bangsa, tetapi juga sebagai media untuk mewariskan nilai kearifan lokal kepada generasi muda. Kearifan lokal inilah yang membentuk jati diri bangsa Indonesia.
Menurut Martin, pengabaian sastra berakar dari buruknya sistem pendidikan di Indonesia yang hanya memasukkan sastra sebagai bahan bacaan untuk dihafal jalan ceritanya, tidak untuk diapresiasi. Siswa membaca karya sastra melalui sinopsis yang dibuat guru. Siswa mengerti garis besar cerita, tetapi tidak mampu memahami nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh penulis.
Hal ini terjadi karena sebagian besar karya sastra di Indonesia masih berada di wilayah orang dewasa. Belum banyak karya sastra yang ditulis kembali dengan bahasa yang mudah dipahami anak-anak atau remaja, seperti dilakukan di luar negeri.
Penulis sekaligus penyair Nirwan Dewanto mengatakan, melalui sastra, bahasa yang dimiliki suatu bangsa dihidupkan dan diperbarui terus-menerus. Melalui sastra, orang memiliki media untuk bergaul dan ”bermain” dengan bahasanya. ”Perkembangan bahasa merupakan ciri peradaban manusia yang maju,” tutur Nirwan.
Usaha membangkitkan kesadaran terhadap kesusastraan, menurut dia, harus terus dilakukan, tidak hanya bergerak ketika sudah ada kasus seperti PDS HB Jassin. Untuk menyelamatkan PDS HB Jassin dan pusat-pusat dokumentasi lain, Nirwan melihat perlunya upaya dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Agar pihak swasta mau terlibat, pemerintah perlu mendorong dengan memberikan insentif, seperti keringanan pajak.
Terabaikannya pusat dokumentasi dan perpustakaan di Indonesia, menurut Ninis Agustini, dosen Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, karena orang enggan memanfaatkannya akibat minimnya informasi tentang buku atau dokumen yang dicari.
Hal ini terjadi karena pusat dokumentasi dan perpustakaan belum ditangani oleh ahli yang tepat. Masih ada pemahaman bahwa pustakawan hanya sekadar penjaga buku. ”Seorang pustakawan selain bertanggung jawab atas pengelolaan koleksi juga harus bisa menjadi konsultan bagi pengunjung yang ingin mengakses koleksi,” kata Ninis. Di beberapa negara maju, pustakawan untuk tingkat sekolah saja harus berpendidikan minimal magister bidang perpustakaan. (IND/BSW)
Sumber: Kompas, Kamis, 24 Maret 2011
No comments:
Post a Comment