Wednesday, March 16, 2011

[Sosok] Achmad Mikami Sumawijaya: Merevitalisasi Budaya Sunda Bogor

-- FX Puniman

SINDANG Barang di Kabupaten Bogor menjadi satu-satunya kampung budaya di Jawa Barat. Dari sinilah bergulir berbagai upaya merevitalisasi seni dan tradisi Sunda. Achmad Mikami Sumawijaya sebagai ”pupuhu” atau tetua adat di kampung budaya itu menjadi salah seorang motor penggeraknya.

Achmad Mikami Sumawijaya (KOMPAS/ANTONY LEE)


Sindang Barang terletak di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Jaraknya 6-7 kilometer dari Kota Bogor. Udara di sekitar kampung itu masih terasa sejuk karena berada di kaki Gunung Salak. Gemercik air dari irigasi sawah di sekitar kampung membuat suasana lebih tenang.

Kampung itu memiliki beberapa bangunan dari anyaman bambu di lahan seluas 8.600 meter persegi. Bangunan utama berupa imah gede (rumah besar untuk tetua adat) yang menghadap ke utara sehingga di kejauhan tampak sebagian lanskap Kota Bogor. Di depannya ada lapangan yang disebut alun-alun yang biasa digunakan untuk acara budaya.

Selain imah gede, di kampung itu ada pula imah girang serat (sekretaris pupuhu), saung talu (tempat berkesenian), leuit (lumbung padi), saung lisung (penumbuk padi), pesanggrahan, imah kokolot panengen (tetua yang menangani ritual keagamaan), serta imah kokolot pangiwa (menangani kesejahteraan).

”Tata letak bangunan di sini tidak ditentukan sembarangan. Kami merekonstruksinya dari Pantun Bogor,” tutur Maki, panggilan Achmad Mikami.

Kami bertemu Maki di imah gede Kampung Budaya Sindang Barang pada suatu petang, awal Maret ini. Dia menyambut dengan senyum ramah, menampakkan behel (kawat gigi) yang merapatkan gigi-giginya, sambil duduk bersila di teras depan rumah panggung berlantai papan.

Maki antusias menjelaskan Pantun Bogor yang merupakan pantun kuno, yang menarasikan Bogor pada masa lalu, bahkan diyakini pula mengintip masa depan, laiknya ramalan Jayabaya dalam tradisi Jawa. Pantun itu diterjemahkan oleh guru, rekan seperjuangannya sekaligus budayawan Sunda, almarhum Anis Djatisunda.

Kampung Budaya Sindang Barang memang baru dibangun awal 2007. Lahan kampung budaya itu menggunakan tanah keluarga Maki, sedangkan bangunannya hasil patungan antara Pemerintah Provinsi Jabar sebesar Rp 750 juta, Pemerintah Kabupaten Bogor Rp 75 juta, serta kocek pribadi Maki sekitar Rp 400 juta.

”Kami menyebutnya kampung budaya karena di sini adat tidak terlalu menonjol, tidak seperti di Kampung Adat Ciptagelar, Sukabumi. Namun, peninggalan budayanya ada di sini,” tutur Maki.

Menurut dia, kegiatan kampung adat terfokus pada ritual adat, sedangkan kampung budaya lebih menekankan pada revitalisasi budaya, termasuk adat dan kesenian.

Wisata budaya

Kampung Budaya Sindang Barang banyak memperkenalkan budaya Sunda berikut tradisinya kepada anak-anak muda di Sindang Barang maupun luar Bogor. Pelajar yang berwisata ke lokasi itu selalu diperkenalkan pada budaya, situs peninggalan purbakala di sekitar kampung, memainkan mainan tradisional, bahkan bisa pula menginap di kampung budaya itu.

Uang yang terkumpul dari wisata budaya digunakan untuk biaya operasional kampung, termasuk guna menyelenggarakan tradisi seren taun (sedekah bumi) sebagai wujud terima kasih atas panen yang melimpah.

Sebelum mewujudkan kampung budaya, pada 2006 Maki bersama Anis lebih dulu menghidupkan seren taun yang lebih dari 30 tahun ”lenyap” dari Sindang Barang. Tradisi seren taun terakhir dilaksanakan tahun 1970-an oleh kakek Maki, Etong Sumawijaya, yang menjadi kepala desa saat itu.

”Waktu itu masih diadakan di lapangan depan SDN 5 Pasir Eurih, tetapi sudah terpikir untuk menyelenggarakannya di kampung budaya,” kata Maki.

Setelah seren taun, Maki dibantu Anis menggali kembali budaya parebut seeng di Sindang Barang. Parebut seeng (berebut dandang tembaga) merupakan bagian dari upacara lamaran.

Panglaga (pendekar) pembawa dandang mempelai laki-laki berhadapan dengan pendekar dari pihak perempuan yang hendak merebut dandang. Setelah berhasil direbut, dandang, simbolisasi laki-laki itu, ditaruh di hawu lemah (tungku tanah) sebagai simbol perempuan.

”Sekarang (di Sindang Barang) mulai ada lagi yang menyelenggarakan parebut seeng dalam acara pernikahan. Itu membahagiakan,” tuturnya.

Sepak terjang Maki dalam mengembangkan budaya Sunda diakui sesepuh di Bogor. Eman Sulaeman (70), budayawan Sunda Bogor, mengaku kerepotan mencari anak-anak muda yang mau menggeluti dan merevitalisasi budaya Sunda. Oleh karena itulah, ia menaruh harapan kepada Maki.

Menjual telepon genggam

Ketertarikan Maki untuk merevitalisasi budaya Sunda berawal dari ketidaksengajaan pada 2004. Ketika itu Maki tengah berada di Manado, Sulawesi Utara, untuk mengurus kerja sama dengan sebuah perusahaan teknologi informasi.

Saat menonton televisi di kamar hotel, dia melihat tayangan liputan gamelan Sunda dimainkan di New York, Amerika Serikat, oleh orang- orang asing. ”Orang asing saja tertarik (dengan kesenian Sunda), masa anak muda Sunda tidak mau,” tuturnya.

Sepulang dari Manado, Maki mendirikan Padepokan Giri Sundapura yang mengajarkan tari-tarian secara gratis kepada anak-anak muda di Sindang Barang.

Suatu ketika, cobaan sempat menghampirinya. Usaha bidang teknologi informasi yang digeluti Maki merugi. Sementara itu, rombongan padepokan yang berjumlah 40 orang harus pentas di Giri Jaya, Sukabumi. Saat itu, Maki sungguh sedang tak memiliki uang. Dia lalu menjual telepon genggamnya seharga Rp 750.000. Uang itu digunakan untuk transportasi rombongan penampil.

Maki masih memiliki beberapa harapan yang belum tercapai. Dalam waktu dekat, ia berkeinginan menggelar pelatihan membatik dengan mengangkat motif setempat, seperti pakujajar atau lumbung padi. Dengan begitu, ia berharap tradisi membatik warga bisa tumbuh dan karya mereka setidaknya dapat diperdagangkan sebagai suvenir.

”Lewat cara ini, selain budaya bisa lestari, warga juga mendapat tambahan penghasilan,” katanya.

Maki juga berniat menghidupkan kembali uyeg, semacam seni drama teater kuno. Namun, upaya itu terhambat kematian Anis yang mendadak pada 24 Februari 2011.

Anis adalah sosok yang mengetahui tentang uyeg karena kelompok seninya pernah menampilkan uyeg. ”Saya masih akan terus berupaya mencari orang yang bisa membantu kami mengangkat kembali uyeg,” tuturnya bersemangat.

(FX Puniman, Wartawan di Bogor)


***

Achmad Mikami Sumawijaya

• Lahir: Jakarta, 11 Mei 1970
• Istri: Aulia Dewi Hardjakusuma (33)
• Pendidikan: Kuliah di sejumlah perguruan tinggi, tak tamat
• Pekerjaan: Wiraswasta
• Organisasi: Pupuhun Kampung Budaya Sindang Barang, Bogor

Sumber: Kompas, Rabu, 16 Maret 2011

No comments: