Saturday, March 26, 2011

[Tanah Air] Jejak Perdagangan Internasional di Brantas

-- Idha Saraswati dan Abdul Lathief

SETIAP hari, Mulyadi (37) dan empat kawannya bolak-balik menyeberangi Sungai Brantas dengan perahu tambang. Di atas perahu sepanjang 5 meter itu, mereka membawa penumpang beserta sepeda motor, sepeda pancal, cabai, beras, dan ikan.

Warga menggunakan perahu penyeberangan di Sungai Brantas, Kecamatan Kemlagi, Mojokerto, Jawa Timur, Senin (14/3). Pada masa Kerajaan Majapahit, selain sebagai sumber pengairan untuk pertanian, Sungai Brantas juga menjadi jalur transportasi dan perdagangan utama. (KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA)

Pekerjaan yang dilakoni Mulyadi beserta empat kawannya itu sudah dilakukan pendahulu mereka, sekitar 10 abad silam, ketika sungai menjadi jalur transportasi vital yang menghubungkan kerajaan di pedalaman dengan dunia luar.

Perahu tambang yang dikemudikan Mulyadi dari Desa Betro, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, ke Desa Kesamben, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, itu adalah sisa-sisa kejayaan transportasi sungai pada era kerajaan yang muncul silih berganti di sepanjang aliran Sungai Brantas, Jawa Timur, mulai Kerajaan Mataram Mpu Sindok (akhir abad ke-9 Masehi) hingga masa akhir Kerajaan Majapahit (abad ke-16 Masehi).

Namun, jika dahulu perahu tambang murni digerakkan dengan tenaga manusia, kini Mulyadi dan teman-temannya mendapat tenaga tambahan dari mesin diesel.

Untuk setiap penumpang yang ikut menyeberang selama sekitar 10 menit, Mulyadi menarik bayaran Rp 1.000. Ia bekerja mulai pukul 07.00 hingga pukul 14.00, dilanjutkan dari pukul 19.00 hingga 06.30. ”Per orang minimal dapat Rp 35.000 per hari,” katanya.

Pada masa kerajaan dahulu kala, fungsi penyeberangan dengan perahu tambang yang disebut sebagai panambangan itu sangat vital karena menghubungkan wilayah pusat dan daerah. Oleh karena itu, posisi tukang tambang seperti Mulyadi lebih dimuliakan.

Pada masa itu, Sungai Brantas jauh lebih lebar daripada saat ini. Perahu tambang menghidupkan aktivitas perdagangan antardaerah. Pasar dan pusat pemerintahan di daerah biasanya tumbuh di sekitar lokasi tambangan.

Canggu

Melihat fungsi vital panambangan bagi negerinya, Hayam Wuruk, Raja Majapahit, mengeluarkan Prasasti Canggu (1358 Masehi). Di prasasti itu disebutkan hak-hak istimewa yang diberikan kepada para penjaga tempat penyeberangan sungai.

Desa-desa di pinggir sungai (nitipradesa) yang menjadi lokasi panambangan merupakan daerah perdikan sebagai imbalan atas kewajiban menyeberangkan penduduk dan pedagang secara cuma-cuma. ”Dengan cara itu, warga dilibatkan untuk menjaga fasilitas penyeberangan,” kata M Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang, Selasa (15/3).

Tercatat ada 34 desa panambangan di Sungai Brantas dan 44 desa panambangan di Bengawan Solo dalam prasasti tersebut. Kepustakaan Inggris menyebut prasasti itu dengan istilah ferry charter.

Titik-titik panambangan menjadi semacam pelabuhan transit bagi perahu-perahu yang berlayar dari Pelabuhan Ujung Galuh (Surabaya) ke ibu kota Majapahit.

Berdasarkan berita China dari Dinasti Ming (abad ke-14 Masehi), setiap kapal asing yang hendak menuju Majapahit pertama kali singgah di Pelabuhan Tuban, Gresik, lalu Surabaya, dan akhirnya ke Majapahit. Dari Surabaya, jung (kapal) asing tidak bisa masuk ke pedalaman. Mereka menggunakan perahu yang lebih kecil dan berlayar ke Canggu yang berjarak sekitar 40 kilometer. Canggu kala itu pelabuhan dengan pasar yang ramai dikunjungi para pedagang.

Jejak samar

Jejak hiruk-pikuk perdagangan internasional di Pelabuhan Canggu kini samar-samar. Desa Canggu di Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, yang terletak di sepanjang aliran Sungai Kalimas (cabang Sungai Brantas), boleh jadi merupakan bukti eksistensi Pelabuhan Canggu pada masa silam. Terlebih jika ditelisik dari toponimi (penamaan peninggalan masa lampau) yang melekat pada Desa Canggu yang tidak berubah.

”Toponimi cenderung menunjuk masa lalu yang keakuratannya lebih terjamin. Namun, sejauh ini tidak ada registrasi situs dan berita otentik yang menunjukkan bahwa lokasi Pelabuhan Canggu berada di Desa Canggu,” kata Kepala Seksi Pelestarian dan Kemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan Widodo.

Generasi tua penduduk asli Canggu yang masih tersisa meyakini bahwa desanya adalah lokasi Pelabuhan Canggu semasa Kerajaan Majapahit. ”Sekitar tahun 1942, ada penduduk Dusun Kedung Sumur yang menemukan perahu pecah. Bahkan, dari cerita mbah-mbah, di Canggu ini dulu ada perahu milik Dampu Awang yang pecah saat hendak meninggalkan pelabuhan,” kata Munasir (90), warga Dusun Kedung Sumur, Desa Canggu.

Munasir juga menunjukkan bukti lain berupa makam tua di pemakaman Dusun Kedung Sumur. Makam itu dipercaya milik Cheng Hwie atau Shang Hwie, saudagar asal China. Sisa-sisa makam tua itu masih bisa dikenali dengan melihat batu nisannya yang terbuat dari batu bata merah dengan tebal 6 sentimeter, lebar 20 sentimeter, dan panjang 30 sentimeter.

Mbah Misno (59), juru kunci Makam Kedung Sumur, meyakini bahwa Pelabuhan Canggu yang dibangun pada 1271 oleh Raja Singasari Wisnuwardhana terletak di desanya. Pada 1960-an, di Kedung Sumur sempat muncul bangkai perahu kayu jati tengkurap saat seorang warga menggali tanah untuk tempat buangan sampah.

Jejak lain bisa dilihat dari keberadaan Dusun Pelabuhan di Desa Canggu. Mustari (80), warga Dusun Pelabuhan, menuturkan bahwa sejauh ingatannya, dari dahulu nama dusunnya memang Dusun Pelabuhan.

Menurut Dwi Cahyono, Wisnuwardhana membangun pelabuhan di Canggu karena lokasinya berada di ujung percabangan Sungai Brantas sebelum pecah menjadi Sungai Kalimas dan Sungai Porong. ”Lokasinya strategis. Di situ mereka membangun benteng untuk menjaga pertahanan sekaligus untuk menarik cukai,” ujarnya.

Raja-raja sesudah Wisnuwardhana tinggal meneruskan kebijakan itu. Puncaknya tentu terjadi pada masa Kerajaan Majapahit. Canggu menjadi pelabuhan pedalaman yang ramai dikunjungi pedagang dari banyak bangsa.

Sejarawan Universitas Negeri Surabaya, Aminuddin Kasdi, mengatakan, kejayaan transportasi sungai itu menunjukkan pemahaman raja-raja pada era tersebut terhadap pentingnya laut dan sungai.

Sembilan abad berlalu sejak pembangunan Pelabuhan Canggu, kejayaan transportasi sungai itu kini tinggal cerita....

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Maret 2011

No comments: