Friday, March 11, 2011

Pitoyo Amrih: Novel Wayang Membangun Bangsa

-- Ardus M Sawega

BERMULA dari obsesi untuk memberikan alternatif agar anaknya tak hanya terbuai tokoh hero asing di televisi, seperti Naruto, One Piece, dan Avatar. ”Kita juga punya pahlawan atau patriot yang selalu menang melawan musuh dan punya jurus-jurus sakti tak kalah dibandingkan Naruto dan yang lain itu,” kata Pitoyo Amrih. Maka, lahirlah novel-novel wayang dari tangannya.

PITOYO AMRIH (ARDUS M SAWEGA)

Di tengah era modern dan teknologi komunikasi informasi yang serba digital kini, sementara dunia mitologi dianggap sudah jadi ”masa lalu”, Pitoyo dengan penuh percaya diri menuliskan novel-novel berlatar cerita wayang, seperti dalam epos Mahabharata dan Ramayana. Sudah enam novel dia tuliskan.

Boleh jadi, dialah satu-satunya penulis novel wayang berbentuk sekuel. Tak seperti novel pop, malah karyanya bisa digolongkan serius kalau melihat ketebalannya yang 360-490 halaman dengan harga berkisar Rp 32.000-Rp 55.000. Rata-rata dicetak 3.000 eksemplar, novel wayangnya laku di pasaran.

Novel pertamanya, Antareja-Antasena, Jalan Kematian Para Ksatria, dikeluarkan Penerbit Pinus Yogyakarta pada 2006. ”Saya menawarkan naskah itu lewat e-mail kepada Pinus dan diterima untuk diterbitkan,” cerita Pitoyo.

Karakter inspiratif

Novelnya dicetak dalam format seperti novel pop dan ilustrasi depan bergaya realistik yang cukup menarik. ”Dalam penulisan, saya tidak memilih metafora atau sastra. Saya memilih gaya naratif-deskriptif yang mudah diterima pembaca umum,” katanya.

Novel wayang Pitoyo mengedepankan karakter tokoh-tokoh wayang yang populer namun cenderung ”dimanusiakan” menjadi manusiawi dengan kekurangan dan kelebihannya.

”Novel saya bukan kisah wayang biasa, tetapi lebih menampilkan karakter yang inspiratif bagi pembaca. Tak selalu tentang perjalanan hidup tokoh protagonis yang watak-watak baiknya bisa menjadi teladan, tetapi bisa tokoh antagonis atau kontroversial. Justru dari kesalahan atau kekeliruan dalam perjalanan hidup tokoh tersebut, kita bisa memetik hikmah sebagai pelajaran,” paparnya.

Novel-novel wayang itu dia tulis di tengah kesibukan rutin selaku staf pada bagian validasi sebuah industri farmasi di Sukoharjo, Jawa Tengah. Selain Antareja-Antasena, enam judul novel yang telah dia tulis adalah Narasoma, Ksatria Pembela Kurawa, Perjalanan Sunyi Bisma Dewabrata, Darkness of Gatotkaca, Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna, dan Resi Durna Sang Guru Sejati.

”Saya berencana menulis sekuel wayang ini total 15 judul, sejak Lokapala, Arjuna Sasrabahu, Ramayana, Perang Bharatayudha, hingga Parikesit,” katanya.

Selain itu, Pitoyo juga menulis kumpulan cerita pendek wayang, seperti Kebaikan Kurawa, Inspirasi Hidup Semar dan Pandawa, serta Ilmu Kearifan Jawa.

Sebagai bukti cerita wayang yang dia tulis diterima khalayak, novelnya, Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna, menjadi novel paling laris atau National Best Seller 2010, dan dicetak ulang. Pitoyo pun turut serta memasarkan novelnya melalui internet.

”Saya agak terkejut karena pembaca novel itu ternyata beragam, mulai dari anak usia SD hingga mahasiswa, bahkan orang tua,” tuturnya.

Konsisten

Lebih dari 15 tahun terakhir Pitoyo mengumpulkan berbagai literatur wayang dan naskah kuno Jawa sejak ia bekerja dan menetap di Solo tahun 1994. Ia membuat basis data tentang wayang, seperti Pustaka Raja Purwa, Serat Bharatayudha, Serat Arjuna Wiwaha, Sumantri Ngenger, dan Ensiklopedia Wayang Purwa. Ia juga memiliki 25 buku pedalangan berbentuk file dan sekitar 400 lakon wayang purwa.

Latar belakang akademiknya selaku sarjana teknik mesin dari Institut Teknologi Bandung memberinya kerangka pikir dan cara kerja yang sistematik. Ia membuat alat bantu berupa ”peta” yang menggambarkan jagat wayang. Dalam peta itu, misalnya, ia membuat layout Kerajaan Amarta, Kerajaan Astina, atau Kerajaan Atasangin; kurun waktu pada zaman kerajaan-kerajaan tersebut; juga setting keratonnya, arsitektur bangunan, atmosfer, dan lingkungan alamnya. Ia pun merinci karakter setiap tokohnya, corak busana, hingga aksesorinya.

”Dengan cara itu, saya ingin konsisten dalam penulisan. Seperti kita temukan pada sekuel Harry Potter, misalnya. Saya juga membuat sketsa untuk setiap kerajaan atau lokasi di dalam cerita, semacam jejer dalam pakeliran,” kata Pitoyo.

Dalang muda Ki Jlitheng Suparman asal Solo mengaku kagum akan cara kerja Pitoyo. ”Intelektual seperti inilah yang diharapkan oleh kalangan dalang karena perannya sebagai pujangga yang membuat tafsir ulang atas cerita-cerita wayang dan bisa memberi inspirasi bagi dalang dalam menggarap pakeliran. Tradisi intelektual, seperti pujangga RNg Ronggowarsito, di masa lalu itulah yang sekarang ini hilang,” ungkapnya.

Nilai budaya

Bagi Pitoyo, menulis novel wayang merupakan media komunikasi kreatif tempat dia bisa mengekspresikan diri. Di sana ia bisa menyampaikan pesan tentang nilai-nilai budaya bangsa yang mulai ditinggalkan dan memilih bentuk novel karena mudah dipahami generasi sekarang.

Dunia imajinasi Pitoyo tentang wayang terbangun sejak kelas III SD. Sebulan sekali ia diajak ayahnya menyaksikan pergelaran wayang kulit di Taman Budaya Raden Saleh, Semarang. Juga pentas wayang di Gedung Pancasila dan di halaman RRI Semarang. Hingga SMA, ia masih asyik mendengarkan siaran wayang kulit di radio.

Kesadaran Pitoyo akan nilai-nilai budaya bangsa tergugah justru ketika mengikuti pelatihan bagi motivator dan pengembangan pribadi. Di sana ia melihat nilai yang dikembangkan cenderung didasarkan pada nilai-nilai di negara maju yang berorientasi pada materialisme.

”Saya merasa risau. Kalau nilai-nilai seperti itu yang dikembangkan, kita akan asing dengan nilai-nilai budaya sendiri. Sebagai bangsa, kita akan bangga kalau punya karakter kuat yang didasarkan nilai budaya kita,” ujarnya.

Di Jawa, lanjut Pitoyo, terdapat nilai-nilai budaya dan kearifan berupa falsafah dan ajaran yang menunjukkan karakter bangsa kita. Seperti falsafah ”sugih tanpa banda” yang berarti kaya tanpa harta.

”Itu bermakna bangsa kita hidupnya tak mengutamakan kekayaan atau materi karena kaya tidak hanya diukur dari materi. Begitu pula ajaran nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake (menyerbu tanpa pasukan, mengalahkan tanpa melecehkan),” katanya.

(Ardus M Sawega, Wartawan, Tinggal di Solo)

Sumber: Kompas, Jumat, 11 Maret 2011

No comments: