Tuesday, March 22, 2011

Demokrasi, (Bukan) Milik Kita?

-- Boni Hargens

DEMOKRASI itu tunggal dan universal atau jamak dan parsial? Ini tema tua dalam filsafat politik.

Suka atau tidak, tema ini relevan diangkat kembali di tengah tendensi ganda sejarah terkini demokrasi. Pertama, arus demokratisasi di negara-negara despotik di kawasan Timur Tengah dan bagian utara Afrika. Kedua, aksi protes di negara-negara post-otoritarian sebagai reaksi atas kelambanan rezim transisi mewujudkan demokrasi substansial, misalnya di Turki, Thailand, Filipina, termasuk Indonesia.

Apa sikap dunia internasional? Inilah pertanyaan tunggal masyarakat dalam kekuasaan otoriter yang butuh dukungan mengakhiri despotisme. Sementara masyarakat transisi cenderung mempertanyakan keterlibatan internasional karena takut dijadikan wayang semata.

Dalam The Spirit of Democracy, Larry Diamond (2008) meyakinkan kita bahwa demokrasi lahir dan hidup dalam masyarakat. Ia bagian inheren dari setiap Gesellschaft. Akan tetapi, kenapa ada ”tangan asing” dalam tiap transisi politik di negara berkembang? Kenapa ada istilah good boy di negara transisi?

Lingkungan global adalah bagian dari sistem politik. Maka, demokrasi pun bersifat lokal sekaligus global. Di kenyataan, raut lokal sering kali pudar, bisa karena dominasi global yang begitu kuat, tetapi bisa juga karena kepemimpinan yang lemah. Ini yang barangkali kita sebut ”dilema demokrasi liberal”. Kita akui, tak ada negara hidup sendiri dan mengatur demokrasi menurut caranya sendiri tanpa peduli kehendak global. Namun, haruskah demokrasi diseragamkan?

Tahun 2011 Indonesia mendapat angka bagus dari Freedom House di Washington. Skor 2 untuk hak politik dan 3 untuk kebebasan sipil pada rentang skala 1-7 dengan poin 1 terbaik. FH ikut mengulas kekerasan sipil dalam kasus Ahmadiyah dan pembakaran rumah ibadah, tetapi itu tak menurunkan posisi Indonesia. Sungguh luar biasa!

Paradoks ini membuktikan bahwa demokrasi di negara berkembang tak akan pernah bersosok lokal. Sebab, ketika parameter pengukurnya ditentukan (secara sepihak?) dari luar, demokrasi bukan lagi milik kita.

Lantas, di mana posisi rakyat dalam perjuangan politik yang dibilang Huntington (1991) sebagai faktor penting gelombang demokratisasi? Masih relevankah peran rakyat dibahas dalam konteks demokratisasi ketika pemimpin negara berkembang tak kritis terhadap aktor global?

Jawaban bisa ya bila karakter politik global berubah atau ada perubahan kepemimpinan di negara berkembang. Namun, ide perubahan itu dengan mudah dicap antidemokrasi oleh elite untuk mengingatkan masyarakat pada trauma masa lalu. Lalu, elite berlindung di balik alibi ”dipilih secara demokratis” untuk menghindari tekanan publik.

Demokrasi substansial

Para aktivis di negara post-otoriter terus mengupayakan demokrasi substansial.

Di Turki, persis ketika kami bermalam di Istanbul, dua wartawan senior (Nedim Sener dan Ahmed Sik) ditangkap karena terlibat dalam investigasi Ergenekon, sebuah jaringan kejahatan klandestin yang diduga melibatkan militer dan pemerintah (Today’s Zaman, 7 Maret 2011). Di Thailand, baju merah dan baju kuning kembali bertikai. Di Filipina, kritik terhadap pemerintah terus mengarah ke perlawanan radikal.

Di Indonesia, isu pemakzulan berkembang sejak Centurygate. Terkuak lagi bersama angket mafia pajak, tetapi kembali tenggelam setelah angket gugur dengan selisih dua suara.

Dalam tiap proses ini, sulit dibantah perlunya dukungan global. Akan tetapi, dalam konteks membangun peradaban global yang demokratis, yang utama adalah bagaimana menjaga konsistensi dukungan itu. Pengalaman di banyak negara memperlihatkan inkonsistensi pihak internasional.

Padahal, yang dibutuhkan adalah, pertama, dukungan berkelanjutan terhadap demokratisasi negara berkembang.

Kedua, standar umum yang adil dalam menilai demokrasi di negara berkembang agar penilaian itu tidak menegasi kesadaran masyarakat. Indonesia adalah contohnya: kebebasan sipil diberi angka tinggi, padahal kekerasan horizontal justru

merusak ranah publik

Ketiga, memikirkan lagi yang disebut Bassam Tibi die neue weltundordnung (2002), tata dunia baru. Menata ulang struktur hubungan antar-identitas dan antar-peradaban agar tiap orang merasakan demokrasi betul miliknya. Kalau tidak, apa yang diramal Fareed Zakaria (2008) mengenai the rise of the rest bukan sekadar kebangkitan ekonomi-politik ”kaum tersisa”, melainkan perang antar-peradaban.

Boni Hargens, Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Sedang Belajar di Jerman

Sumber: Kompas, Selasa, 22 Maret 2011

No comments: