-- Ahmad Arif
ZAHRUL Fuadi (39) serta keluarganya harus mengalami gempa dan tsunami terdahsyat dalam catatan sejarah dua kali dalam hidup. Ia nyaris menjadi korban gempa dan tsunami yang menerjang Aceh, 26 Desember 2004, lalu kini mengalami gempa dan tsunami yang melanda Jepang pada Jumat (11/3). ”Kami dikejar tsunami dari Aceh hingga Jepang,” katanya.
Suasana pengungsian warga negara Indonesia di Sekolah Republik Indonesia di Meguro, Tokyo, Senin (14/3). Terdapat 100 pengungsi dari Sendai dan tiga pengungsi dari Fukushima. Dua lokasi tersebut paling parah terdampak gempa dan tsunami. Mereka akan dipulangkan ke Indonesia, Selasa. (KOMPAS/AHMAD ARIF)
Saat tsunami menerjang Aceh, Zahrul dan keluarganya selamat setelah melarikan diri dengan sepeda motor.
”Waktu itu beruntung, setelah gempa, kami pergi naik sepeda motor. Dengan demikian, saat tsunami datang, kami bisa pergi lebih cepat dibandingkan orang-orang Aceh lainnya,” paparnya. Namun, rumah dan segenap isinya di Simpang Mesra, Lamgugop, Banda Aceh, rusak diterjang tsunami. Mereka pun harus menjadi pengungsi.
Setahun setelah bencana Aceh, pengajar Teknik Mesin di Universitas Syah Kuala ini mendapatkan beasiswa doktoral dari Tohoku University, Sendai, Jepang. Ia pun memboyong istrinya, Dewi Karyani, dan anak-anaknya ke Jepang. ”Saya sudah enam tahun ini di Jepang dan sebenarnya sudah mau kembali ke Aceh. Tetapi, ternyata harus mengalami kembali bencana gempa besar lagi,” kata Zahrul, yang kini mengambil program pascadoktoral.
Begitu gempa menggoyang Jepang, Zahrul tengah presentasi di lantai tiga kampusnya, Tohoku University. ”Goyangannya keras sekali. Semua yang di ruangan langsung ke bawah meja,” ujarnya.
Mahasiswa program pascadoktoral ini pun langsung teringat kenangan pahit di Aceh. Ia mengatakan, ”Di Jepang sering mengalami gempa, tetapi gempa Jumat lalu beda. Rasanya mengayun lama dan sangat kuat, sekitar 2 menit, sama dengan yang saya rasakan di Aceh waktu itu. Saya langsung terpikir, pasti terjadi tsunami.”
Dan, tsunami benar terjadi. Beruntung tsunami tak menjangkau kampusnya yang berjarak sekitar 15 kilometer dari laut dan posisinya cukup tinggi. Namun, Zahrul tetap harus meninggalkan Sendai dan kembali menjadi pengungsi. Kota Sendai, yang paling dekat dengan titik pusat gempa, nyaris lumpuh. Zahrul dievakuasi Tim Bantuan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan kini bersiap-siap pulang ke Indonesia. ”Sebenarnya berat meninggalkan Jepang karena anak-anak sedang banyak tugas di sekolah. Demikian juga saya,” paparnya.
Namun, Zahrul tidak memiliki banyak pilihan. ”Kami harus banyak bersyukur karena masih selamat dari dua bencana terbesar yang pernah tercatat sejarah,” ungkapnya.
Dikejar air
Kedahsyatan tsunami di Jepang, Jumat siang itu, dirasakan betul oleh Haryadi Budi Susanto (32), mahasiswa doktoral di Tohoku University. Ketika gempa mengguncang, ia hanya berjarak 2 kilometer dari bibir pantai. Sehari sebelumnya, ia ditelepon sahabatnya, Nanto, nelayan Indonesia yang bekerja untuk kapal pencari ikan Jepang. Keduanya berjanji untuk bertemu di pasar ikan Shiogama, Sendai, Jumat sekitar pukul 16.00.
Sejak setahun terakhir, Haryadi menjalin hubungan baik dengan nelayan Indonesia yang menjadi anak buah kapal di Jepang. Haryadi mencoba membaurkan para nelayan dengan mahasiswa Indonesia. ”Semua anak buah kapal Jepang pencari ikan di Sendai memiliki anak buah kapal dari Indonesia. Satu kapal biasanya tujuh orang, semuanya Indonesia. Hanya kaptennya yang orang Jepang,” katanya.
Setiap merapat, beberapa anak buah kapal itu, salah satunya Nanto, menghubungi Haryadi. ”Nanto merapat ke Shiogama sebulan sekali,” ujarnya.
Pukul 14.00 siang, Haryadi berjalan menuju Shiogama bersama seorang temannya warga Jepang. Namun, tepat di ujung jembatan menuju Shiogama, gempa mengguncang keras. Haryadi terjatuh. Sirene tsunami bergema di mana-mana. Ia memaparkan, ”Saya segera bangkit dan berlari menjauh dari laut. Guncangannya sangat keras dan saya langsung berpikir pasti terjadi tsunami.”
Saat itu suhu di bawah titik nol derajat. Udara dingin. Haryadi berlari di tengah guyuran salju. Sekitar 2 kilometer berlari dari jembatan itu, ia mendengar suara gemuruh air dari arah laut. Tsunami menderu. ”Saya tidak ingat berapa jauh berlari. Namun, setelah sampai rumah, segera membawa anak saya berlari ke arah bukit,” ujarnya.
Selama tiga hari Haryadi dan anaknya serta beberapa tetangga mengungsi di bukit kecil. Tak ada makanan karena pasokan makanan sangat kurang.
Haryadi dan rombongannya bertahan hidup dengan makan seadanya. ”Tidak ada jatah makan di pengungsian. Yang dapat cuma anak anak dan ibu hamil,” tuturnya. Ia pun tak tahu bagaimana nasib Nanto.
Ketika Tim Bantuan KBRI menemukan Haryadi pada Minggu siang, ia langsung mengajak tim ke Shiogama untuk mencari Nanto. Namun, area itu ditutup Pasukan Bela Diri Jepang karena tsunami kembali datang. Kini Haryadi hanya pasrah dan menitipkan nasib kawan-kawannya yang masih tersisa di Sendai pada kesigapan Tim Bantuan KBRI Jepang.
Haryadi bersiap pulang ke Indonesia, ikut rombongan 103 pengungsi Indonesia yang akan dipulangkan ke Jakarta. ”Saya sudah menitipkan tanggung jawab ke Pak Dubes untuk mencari kawan-kawan saya yang barangkali masih di sana,” katanya.
Dubes RI untuk Jepang Muhammad Lutfi berjanji akan berupaya dengan segenap daya untuk mencari orang-orang Indonesia di sana. ”Banyak nelayan Indonesia yang bekerja di Shiogama dan Kesennuma. Kami belum tahu jumlah tepatnya, tetapi kemungkinan cukup banyak,” ujarnya.
Sesuai data terakhir berdasarkan Pusat Krisis Persatuan Pelajar Indonesia dan KBRI Tokyo, total warga negara Indonesia yang belum diketahui keberadaannya 376 orang dari 1.301 orang Indonesia yang terdata di Jepang.
Lutfi mengatakan, masih ada tim KBRI yang bertahan di sekitar Sendai, tetapi medannya memang sangat berat. Ia menambahkan, ”Tadi Mayor Zaenal (Ketua Tim Bantuan KBRI) melaporkan, gempa masih terus terjadi dan banyak area yang masih ditutup.”
Akan tetapi, Lutfi berjanji, ”Kami akan terus mencari warga negara Indonesia sampai orang terakhir.”
Sumber: Kompas, Selasa, 15 Maret 2011
No comments:
Post a Comment