-- Marhalim Zaini
SETIAP kali saya berhenti di perempatan traffic-light, di simpang Khentungan jalan Kaliurang, Sleman-Yogyakarta, setiap kali itu pula saya menyaksikan pertunjukan seni tradisional Jawa, Jatilan, beraksi. Seiring bunyi gong dan bendhe (gamelan) yang seperti bergema di telinga para pengendara, para penari pun muncul dengan kostum dan make-up yang khas; blangkon atau iket (udeng) di kepala, baju rompi, celana panji, kain dan stagen dengan timangya. Lalu, bunyi sebatan cambuk beberapa kali pecah di aspal. Sebelum lampu merah berubah jadi hijau, pertunjukan Jatilan berdurasi singkat ini, harus berakhir, dan mereka harus segera berjalan berpendar membawa kantong plastik menghampiri setiap orang; meminta simpati dan uluran uang.
Fenomena semacam ini rupanya, tidak hanya saya temukan di perempatan Khentungan itu, tapi juga di beberapa traffic-light lain di sekitar Kabupaten Sleman, khususnya. Setidaknya tersebar di 4 titik lokasi; pertigaan Manguoharjo, pertigaan Janti, perempatan Condong Catur, dan perempatan Kenthungan. Kelompok Jatilan yang marak sekarang ini, dikabarkan merupakan kelompok baru, karena pengamen Jatilan sebelumnya sempat ditertibkan dan telah dikembalikan ke daerah asalnya di Temanggung Jawa Tengah.
Ada stigma negatif, yang memang nampaknya harus diterima oleh para pengamen Jatilan ini. Sehingga mereka kerap harus “ditertibkan” karena dianggap mengganggu pengguna jalan. Apa boleh buat, para pekerja seni tradisional Jatilan ini memang harus siap dikategorisasikan sebagai pengamen jalanan. Sementara kenyataan lain menunjukkan bahwa, seni tradisi tarian rakyat ini, yang dalam sejarahnya termasuk tarian paling tua di Jawa dan banyak versi yang menyebut tarian ini tak terlepas dari nilai-nilai semangat kepahlawanan pada masa lampau, tentu adalah aset budaya penting dan berharga yang tidak mestinya termarjinalisasi dalam ruang perubahan sosial hari ini.
Seni Tradisi dan Globalisasi
Tema perbincangan tentang kegamangan seni tradisi dalam menghadapi globalisasi sebenarnya bukanlah tema yang baru. Tema ini, seolah mengikuti perkembangan tema-tema besar dalam teori perubahan sosial di dalam tubuh masyarakat kita. Sebagaimana juga misalnya, ketika paradoks-paradoks yang disuguhkan oleh globalisasi, kian menghadirkan kontradiksi-kontadiksi yang tak kunjung dapat diurai, maka seni tradisi yang jadi bagian dari konstruksi nilai-nilai kehidupan masyarakat tradisional mendapat imbasnya. Seni tradisi dan seni modern misalnya, adalah salah satu kontradiksi itu, selain lokal-global, homogen-heterogen, dan sebagainya. Sementara, seturut dengan Yasraf Amir Pilliang, paradoks dari globalisasi itu meluas dalam konteks yang lain, misalnya di satu sisi ada kecenderungan mencipta dunia tanpa batas (borderless world), masyarakat terbuka (open society), pasar bebas; namun di sisi lain menguatnya otonomi, desentralisasi, tribalisme, sektarianisme, dan sejenisnya, (2006;273).
Hemat saya, demikian pula halnya dengan perkembangan dunia seni kita. Di satu sisi, seni tradisi dituntut untuk bertahan dengan nilai-nilai (value) yang dikandungnya demi menunjukkan kekuatan identitas lokalnya, menguarkan local wisdom-nya, di sisi lain seni tradisi harus bisa survive ketika berhadapan dengan publik/massa modern yang pragmatis dan hedonis. Namun, persoalannya kemudian adalah seni tradisi yang belum kokoh infra-strukturnya itu, hidup dengan pola tradisional yang masih menganut seni sebagai representasi makna-makna sosial dan ideologis, harus berhadapan misalnya dengan seni kontemporer yang cenderung menolak konvensi dan ideologi. Meski, belakangan memang dikotomi seni tradisi dan seni modern ini telah kian mencair dalam berbagai bentuk kerja kreatif para seniman kita. Tapi tetap masih belum dapat sepenuhnya mengakomodir berbagai persoalan yang memang cukup kompleks.
Selain itu, di tengah kapitalisme yang terus menumbukan consumer cultur dan rupanya telah menjadi life-style dalam tatanan masyarakat kota hari ini, dengan berbagai fasilitas teknologi dan komunikasi yang tersedia, maka seni tradisi bukan lagi menjadi pilihan “hiburan” (juga apresiasi) yang nikmat untuk dikonsumsi. Sebab kebutuhan masyarakat kelas menengah baru tak lagi dapat terpuaskan dengan apa yang disuguhkan oleh seni tradisi yang cenderung monoton dan stagnan. Menurut Irwan Abdullah (2007), ada dua proses tanda yang menunjukkan transformasi dari sosial perkotaan ini. Yakni, proses konsumsi simbolik dan transformasi estetis. Proses konsumsi simbolik lebih menekankan pada nilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktik dibanding pada nilai-nilai kegunaan dan fungsional. Di sini, pola konsumsi seseorang menunjukkan proses identifikasi kelas sosialnya. Mengkonsumsi citraan (image) mampu menegaskan identitas sebagai manusia modern. Maka proses konsumsi simbolik ini kemudian menunjukkan kecenderungan estetisasi, di mana nilai etis (yang terdapat dalam seni tradisional, misalnya) mulai kehilangan kekuatan untuk menggerakkan kehidupan. Maka, seturut dengan pertanyaan Philip Yampolsky (2001) dalam sebuah artikelnya, “can the traditional arts survive, and should they?”
Reproduksi Seni Tradisi
Istilah reproduksi belakangan memang kerap dikaitkan dengan wacana “industri kreatif”. Akan tetapi, untuk konteks kasus ngamen Jatilan ini, saya tidak sedang melihatnya sebagai upaya sungguh-sungguh para pekerja seni tradisi Jatilan ini untuk dapat masuk ke wilayah industri kreatif. Karena, pertama, mereka memang tidak sedang berniat untuk berkompetisi dengan produk-produk kreatif lain yang lebih progresif dan inovatif yang terus berupaya untuk memanjakan “selera pasar”, karena mereka hanya hendak mencari “sesuap nasi.” Kedua, tema reproduksi dalam dunia industri kreatif hanya menempatkan seni tradisi pada ruang komersialisasi dalam pusaran politik (regulasi bisnis) dengan dominasi peran pasar dan kekuatan pemodal.
Maka, ada baiknya mungkin kita menggunakan teori reproduksi kebudayaan (Abdullah, 2007) untuk menafsir fenomena ini. Sebab, bagi saya, proses reproduksi kebudayaan yang lebih melihat sebuah proses transformasi sosial sebagai hasil dari sebuh dialog dan adaptasi, terasa lebih “manusiawi.” Andai pun terjadi proses dominasi dan subordinasi dalam perkembangannya, itu memperlihatkan sebuah dinamika kebudayaan untuk menemukan identitas-identitas baru. Sebab teori reproduksi kebudayaan “merupakan proses aktif yang menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan berbeda, (2007:41).
Untuk itu, mari kita lihat para seniman seni tradisi Jatilan ini dalam kategori sebagai sekelompok “pendatang” yang masuk ke dalam sebuah lingkungan budaya tertentu. Sebagai pendatang, seniman seni tradisi Jatilan ini membawa sejarah, identitas dan ekspresi kultural tradisionalnya, untuk kemudian masuk ke ruang kultural baru yang bernama “kota urban.” Maka apakah kemudian seni tradisi Jatilan ini berhasil mereproduksi permaknaan kultur aslinya dalam ruang (arena) sosial baru yang terus berubah itu?
Untuk menjawabnya, memang memerlukan proses. Namun, jika berharap hanya dari para pekerja seni tradisi Jatilan sendiri, dengan segala kelemahan yang mereka miliki, saya kira akan sulit mewujudkannya. Maka peran pemerintah untuk melihat ini sebagai potensi kekuatan kultural sekaligus ekonomi, adalah penting. Misalnya, apakah tidak mungkin pemerintah menyediakan panggung kecil di setiap traffic-light untuk mereka berekspresi? Selain bisa memberi ruang bagi para pekerja seni tradisi menemukan arena sosial baru mereka, sekaligus juga memperkuat identitas kultural bagi Yogyakarta sendiri.
Ya, fenomena yang saya bahas ini terjadi di Jogjakarta, sebuah kota dengan berbagai label termasuk sebagai “kota budaya”. Toh, rupanya seni tradisi masih juga bersusah payah mencari ruang bernafasnya. Lalu, bagaimana di Riau?***
Marhalim Zaini, pemerhati seni dan budaya
Sumber: Riau Pos, Minggu, 27 Maret 2011
No comments:
Post a Comment