-- Satryo Soemantri Brodjonegoro
ISU yang merebak selama ini secara terus-menerus adalah pendidikan tidak terjangkau oleh orang miskin. Bahkan muncul slogan, si miskin dilarang sekolah atau kuliah. Sekolah atau kuliah hanya untuk orang kaya.
Alasan utama yang diungkap masyarakat adalah bahwa pendidikan sangat mahal. Stigma ini sudah sangat melekat di masyarakat. Bahkan Mahkamah Konstitusi menggunakan dalih pendidikan mahal ini untuk membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
Pendidikan yang mahal ini pula yang kemudian menjadikan adanya kesan kastanisasi pendidikan.
Akar permasalahan
Daya beli masyarakat memang masih rendah, apalagi pertumbuhan ekonomi di tingkat akar rumput. Pertumbuhan ekonomi pun secara mikro belum beranjak secara signifikan.
Lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat memaksa mereka membuat keputusan yang dilematis antara belanja pendidikan dan belanja bertahan hidup. Pilihan jatuh pada belanja bertahan hidup karena tidak dapat ditunda, sedangkan pendidikan masih dapat ditunda sampai mereka mempunyai dana cukup.
Di sisi lain, bagi mereka yang mampu, pendidikan tak jadi masalah, bahkan menjadi salah satu agenda belanja yang sangat menarik. Mereka dapat memilih sekolah atau perguruan tinggi yang sesuai minatnya sehingga memperoleh manfaat maksimal dari pendidikan yang ditempuh.
Tampak jelas disparitas akses pendidikan yang semakin lebar antara kedua kelompok tersebut. Gejala ini akan terus memburuk karena pertumbuhan ekonomi kita cenderung berpihak kepada yang mampu. Kesenjangan akses pendidikan akan berdampak pada kesenjangan sosial, dan bila terlalu lebar, kesenjangan tersebut dapat menimbulkan revolusi sosial.
Kita tentu tidak ingin terjadi revolusi sosial di negara tercinta ini. Apalagi, kita sadari bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar dan beradab, yang dilandasi semangat Bhinneka Tunggal Ika. Adapun kunci untuk mengatasi masalah kesenjangan adalah melalui pendidikan.
Oleh karena itu, pendidikan kita harus direformasi agar setiap anggota masyarakat punya peluang dan kesempatan serta akses yang sama untuk berkarya. Memang terkesan ironis apabila pendidikan kita selama ini menciptakan kesenjangan. Padahal, seharusnya pendidikan justru menghilangkan atau meminimalkannya.
Solusi strategis
Suatu reformasi strategis diperlukan dalam rangka dekastanisasi pendidikan. Suatu reformasi yang sifatnya menyeluruh, tidak hanya di tingkat pendidikan tinggi, tetapi harus dimulai dari tingkat pendidikan dasar, bahkan bila perlu dari tingkat pendidikan usia dini.
Selama ini mereka yang miskin tidak akan pernah sempat menikmati pendidikan tinggi karena sudah tersisih lebih dahulu dalam persaingan di pendidikan dasar. Di samping itu, keberhasilan pendidikan masyarakat harus dibarengi pelayanan kesehatan yang komprehensif. Sebab, kesehatan merupakan syarat utama keberhasilan peserta didik dalam belajar dan menempuh pendidikan.
Kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat kesehatannya karena dengan kesehatan yang prima, pendidikannya akan optimal. Pencapaian kualitas pendidikan tidak berdiri sendiri, sangat ditentukan oleh kondisi ekonomi dan kesehatan masyarakat.
Pendidikan dasar 9 tahun atau 12 tahun adalah kebutuhan publik (public goods). Oleh karena itu, adalah kewajiban pemerintah mendanai penyelenggaraan pendidikan dasar agar terjangkau oleh seluruh masyarakat dalam koridor usia pendidikan dasar, yaitu 6-15 tahun atau 6-18 tahun. Dengan demikian, program wajib belajar akan dengan sendirinya terlaksana apabila tidak ada kendala biaya untuk mengikuti pendidikan dasar tersebut.
Pendidikan tinggi adalah semipublik atau semi-private goods, di mana biaya penyelenggaraannya ditanggung bersama oleh masyarakat dan pemerintah. Pendidikan tinggi akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi individu peserta didik, sedangkan pendidikan dasar utamanya memberikan manfaat yang signifikan bagi peradaban sosial masyarakat.
Keberlangsungan pendidikan yang ditempuh oleh peserta didik sangat bergantung pada kemampuan intelektualnya, yang harus selalu didukung secara finansial dan medis. Pertanyaannya, berapa besar kebutuhan anggaran pendidikan kita agar kastanisasi pendidikan ini dapat dihilangkan?
Penulis pernah melakukan kajian mengenai satuan biaya pendidikan dengan hasil sebagai berikut. Untuk pendidikan tinggi, satuan biaya penyelenggaraan pendidikan minimal Rp 18 juta per mahasiswa per tahun. Di tingkat SMA/MA/SMK, satuan biaya penyelenggaraan pendidikannya minimal Rp 10 juta per siswa per tahun. Untuk tingkat SMP/MTs, satuan biaya penyelenggaraan pendidikannya minimal Rp 5 juta per siswa per tahun. Adapun satuan biaya penyelenggaraan pendidikan untuk tingkat SD/MI minimal Rp 2 juta per siswa per tahun.
Dengan besaran tersebut, pemerintah dapat memperkirakan anggaran pendidikan tahunan sebagai berikut. Untuk SD/MI diperlukan anggaran Rp 60 triliun untuk 30 juta siswa, SMP/MTs diperlukan Rp 50 triliun untuk 10 juta siswa, dan SMA/MA/SMK diperlukan Rp 80 triliun untuk 8 juta siswa.
Sementara untuk pendidikan tinggi, biaya ditanggung bersama dengan masyarakat. Misalnya pemerintah berkontribusi 50 persen, diperlukan Rp 36 triliun untuk 4 juta mahasiswa. Dengan memerhatikan angka-angka tersebut serta tersedianya berbagai skema pembiayaan dan penganggaran, sebenarnya tidak mustahil kesenjangan pendidikan dapat diminimalkan.
Satryo Soemantri Brodjonegoro, Mantan Dirjen Pendidikan Tinggi; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sumber: Kompas, Jumat, 25 Maret 2011
No comments:
Post a Comment