-- Yulia Sapthiani dan Nur Hidayati
ANAK yang berkebutuhan khusus akan menapaki usia dewasa dengan membawa karakter khas yang membedakan mereka dengan sebayanya. Namun, mereka pun bisa menemukan dunia yang memberi ruang bagi minat dan bakatnya.
Jati (19) mencintai musik underground, dari jenis post-hard core hingga death metal, tetapi ia tidak akan pernah memakai celana jins berlubang. ”Saya suka yang rapi,” ujar mahasiswa Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta, ini.
Bagi ayahnya, Jimmy (58), menyaksikan Jati tumbuh seperti saat ini sungguh membahagiakan dan melegakan.
Jimmy sudah amat bersyukur ketika putranya dapat merampungkan pendidikan sekolah menengah atas. Kian membuncah kebahagiaannya saat Jati dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Bangku kuliah itu menjadi penting karena di situ Jati menemukan jalan mengembangkan minat dan bakatnya dalam editing film.
Masih jelas dalam ingatan Jimmy ketika putranya itu didiagnosa mengalami gangguan konsentrasi akibat attention deficit disorder (ADD) pada usia sekitar delapan tahun. Di kelas tiga sekolah dasar, Jimmy diminta memindahkan Jati dari sekolah karena gurunya mengaku tak sanggup lagi menangani Jati.
Di masa kanak-kanak, menurut Jimmy, Jati memang tampak hiperaktif, terkesan tak bisa diatur dan tak bisa diam sebentar pun. Setelah dikonsultasikan ke psikolog, Jati menjalani terapi dan pengobatan. Pada saat yang sama, ia meneruskan belajar di sekolah umum.
”SD-nya yang kedua bukan sekolah favorit, tetapi gurunya sangat baik dan bisa memahami kondisi Jati,” ujar Jimmy. Di SMP, Jati juga berganti sekolah untuk menemukan suasana belajar yang sesuai baginya.
Kini, di mata Jimmy, putranya itu telah tumbuh menjadi anak muda yang mampu mengembangkan minatnya sendiri, baik hati, dan luar biasa jujur.
Rasa syukur yang sama dirasakan Dyah Puspita menyaksikan putranya, Ikhsan Priatama (20). Ikhsan menyandang autisme dan ia tak bisa berbicara. Komunikasi dilakukan Ikhsan dengan mengetik SMS. Meski begitu, Ikhsan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, penuh rasa ingin tahu, mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, dan perasaannya.
Simak saja cerita ketika Ikhsan membuka rekening tabungan atas namanya sendiri, hasil dari penjualan lukisannya dalam sebuah pameran.
Meski sempat terkendala karena sikap customer service yang kaku, Ikhsan menjalani semua proses membuka tabungan, termasuk menandatangani formulir dan buku tabungan.
Ia juga antusias mengikuti Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 lalu. Semua proses dilakukannya sendiri, termasuk ketika mencontreng di bilik suara. Ikhsan bahkan punya pilihan sendiri. Dyah Puspita atau Ita, sang ibu, yang mengikutinya di belakang hanya mendokumentasikan peristiwa itu.
”Pada hari pemilihan, dia sangat bersemangat. Sudah bangun dari pukul 04.00 pagi. Esoknya, tanda tinta di jari dia perlihatkan pada orang lain dengan bangga,” tutur Ita.
Ita pun lantas bercerita awal kisah Ikhsan memberikan suara dalam pilpres. Semula Ikhsan bertanya mengapa Ibu Ida, gurunya belajar di rumah, meminta izin tidak mengajar pada 8 Juli 2009, padahal tanggal itu bukan hari libur nasional.
Setelah sang guru bercerita tentang pemilu, tak dinyana Ikhsan meminta ikut serta. ”Saat itu saya berpendapat, saya tidak boleh mencabut haknya dia,” kata Ita.
Sebagai bekal pada hari pemilihan, beberapa hari sebelumnya Ikhsan diberi gambaran tentang cara mengikuti pemilu dan calon-calon presiden-wakil presiden yang bisa dipilih. ”Kami tidak mengarahkan dia untuk memilih pasangan tertentu. Tetapi ternyata, dia punya pilihan sendiri,” kata Ita.
Cerita tentang Ikhsan itu banyak pula dituangkan Ita dalam blog pribadinya http://dyahpuspita.wordpress.com.
Tak dikasihani
Ita yang juga seorang psikolog bekerja keras untuk mengasuh Ikhsan putra tunggalnya yang autistik itu sebisa mungkin mampu mengurus dirinya sendiri. ”Misalnya, anak usia tertentu harus sudah bisa apa. Saya berusaha menerapkan itu pada Ikhsan. Saya tidak suka anak autistik dibesarkan dengan cara selalu dikasihani,” kata Ita.
Ikhsan belajar di Sekolah Mandiga yang dikhususkan untuk anak autistik pada usia 9 tahun hingga 17 tahun. Setelah itu, Ita mendatangkan guru untuk mengajar di rumah. Saat ini, setiap hari Selasa hingga Kamis, masing-masing tiga jam, Ikhsan belajar bersama guru yang mendampinginya sejak usia 6 tahun. Pada hari Senin, Ikhsan mengikuti les piano dan melukis di hari Jumat, sesuai dengan minatnya.
Les piano dilakukan di tempat kursus. Sementara, dari melukis, sudah lima kali Ikhsan mengikuti pameran. Dan dari lima pameran itu, dua lukisannya terjual. ”Saya ingin suatu saat Ikhsan bisa menggelar pameran tunggal,” ujar Ita.
Ikhsan juga diperkenalkan pada dunia luar dengan program jalan-jalan setiap hari Sabtu bersama seorang teman yang berusia tujuh tahun lebih tua darinya.
”Dia sendiri yang meminta dicarikan seorang teman. Bilangnya ingin teman laki-laki dewasa. Setelah gurunya mencarikan, ada yang bersedia untuk mendampingi Ikhsan. Jalan-jalannya terserah Ikhsan maunya ke mana,” ujar Ita.
Ita juga mengajarkan pada Ikhsan untuk mengelola uang. Sejak usia 16 tahun Ikhsan diberi dompet dan diajari bertanggung jawab terhadap isi dompetnya. Selain tidak boros, Ita mengajari Ikhsan menggunakan uang sendiri untuk membeli kebutuhan dia. ”Jadi, kalau dia belanja, tidak boleh ada yang menalangi,” katanya.
Dari pengalaman mengasuh Ikhsan sekaligus mengelola Sekolah Mandiga, Ita juga kerap menjadi pembicara dalam berbagai seminar dan workshop seputar autisme. Menurutnya, anak autistik perlu dididik sedini mungkin untuk mandiri.
”Saat balita, anak diajarkan tentang kemandirian, misalnya makan sendiri, memakai baju, dan buang air kecil sendiri. Waktu sekolah, selain diajari baca tulis, carilah minatnya. Setelah itu, pada saat remaja, kembangkan minat ditambah lifeskill, misalnya kalau lapar enggak usah nangis, lebih baik cari tempat makan. Kalau mati lampu, tidak usah teriak-teriak, kan bisa telepon PLN lalu menunggu sampai lampu terang,” tutur Ita.
Sumber: Kompas, Minggu, 13 Maret 2011
No comments:
Post a Comment