-- M Abdullah Badri
SEPATU sepertinya sebuah perangkat biasa, kebutuhan dasar yang tak begitu istimewa dalam hidup kita sehari-hari. Namun, di tempat-tempat ramai, sepatu juga menjadi identitas kelas dan status sosial pemakainya, seperti yang kita rasakan dan jumpai di kantor- kantor, mal, kampus, pesta-pesta, bahkan di sekolah dasar.
Dan ”kutukan” pun muncul ketika sepatu tak lagi dijadikan alas kaki atau pelindung kaki dari panas terik, udara dingin, virus, serangan binatang, atau berbagai gangguan kulit. Sepatu ternyata juga bekerja dalam ruang modern dalam narasi yang politis bahkan ideologis. Lebih jauh lagi, catatan historis sepatu di berbagai bangsa ada dalam kisah-kisah agama, politik, ekonomi, sosial, kultur pop juga olahraga.
Pada masa kolonial, sepatu hanya boleh dipakai oleh para bangsawan. Warga Nusantara mengenal sepatu seiring kehadiran penjajah Belanda. Jarak antara warga Belanda dan pribumi dipisah oleh sepatu, sebagai pengakuan identitas. Perbedaan kelas lahir dari sepatu. Anak-anak keturunan kulit putih dilarang tampil di arena publik tanpa alas kaki bernama sepatu itu. Di Batavia abad ke-17, keturunan bekas budak, kaum Mardijker pun, dilarang menggunakan sepatu meski boleh mengenakan pakaian ala colonial: kemeja sutra, topi berbulu, dan celana panjang.
Pada masa itu, sepatu tentu saja bagian dari hak individual kaum pribumi. Maka kepemilikan sepatu pun diperebutkan oleh pribumi sebagai raihan prestasi dan kenaikan martabat. Alas kaki yang lazim terdiri atas sol, hak, kap, tali dan ”lidah” itu merasuki setiap gedung dengan kemampuan melakukan separasi sosial dengan cara yang tak terduga. Sampai hari ini, sebagai narasi identitas, sepatu hadir di pasar, toko, atau distro sebagai sebuah simbol kelas dan kedudukan pembelinya. Begitupun saat ia masuk dan keluar di ruang penjara, persidangan, media massa, olahraga, bahkan istana.
Mochtar Lubis (1977) pernah mencatat riwayat Bung Hatta yang tak pernah mencapai mimpinya memiliki merek sepatu berkelas, Bally. Bahkan seorang intelektual ternama, seorang wakil presiden, tetap mendambakan sepatu bermerek dan berharga mahal di era 50-an. Status sosial dan kedudukan politik rasanya belum lengkap bila tidak ditandai oleh kehadiran sepasang sepatu. Mimpi Hatta, seperti menjadi paradoks dengan gaya hidupnya sederhana, kekayaan tak seberapa sebagai pejabat tinggi.
Menghancurkan wibawa
Kebutuhan tinggi pada sepatu, pada titik tertentu mencapai tingkat sakralitas tertentu, walau tanpa mitos-mitos yang biasa mengiringinya. Kaum jet set, termasuk para istri penguasa, bangsawan dan raja-raja, memperlihatkan fanatisme yang terbuka pada label-label sepatu tertentu seperti Hermes, Gucci, Caovilla, Ferragamo, Blahnik, atau Laboutin. Marie Antoniette, Ratu Perancis di perempat akhir abad ke-18, tercatat pernah memiliki lusinan pelayan yang khusus ditugasi mengurus 500 koleksi sepatunya. Imelda Marcos bahkan memiliki 3.000 pasang sepatu, yang hingga kini masih tersimpan di Museum Bata, Kanada.
Kisah lain datang dari bintang Hollywood, Maryl Streep, yang pernah mengutuk luka kakinya akibat sepatu yang dikenakan tak sesuai ukuran panjang-lebar kaki. Begitu segannya pada merek atau (pembuat) sepatunya, artis peraih beberapa Oscar itu tidak menyalahkan perangkat hidup sederhana. Ia malah menyesali kakinya yang besar seperti ukuran kaki ibunya. Demi sepatu, martabat keluarga pun dibawa-bawa oleh Streep.
Gara-gara tendangan sebuah sepatu, konflik jadi kondisi yang tak terelakkan antara David Beckham dengan pelatihnya, Sir Alex Ferguson. Beckham menderita 13 jahitan di pelipis wajah oleh tendangan sepatu Ferguson yang marah setelah Manchester United kalah dari Arsenal pada tahun 2002. Banyak yang menyebut insiden ”sepatu terbang” itu sebagai latar historis utama Beckham pindah ke Real Madrid. Sepatu pun menjadi elegi romantis sepak bola.
Kita tentu masih terkenang bagaimana seorang wartawan Timur Tengah menggunakan sepatu untuk menghancurkan moral dan menjatuhkan wibawa seorang Presiden Amerika Serikat, George W Bush, dengan melemparnya secara spontan ke wajah arsitek Perang Irak itu. Sebuah peristiwa yang ternyata menjadi ilham bagi banyak orang di berbagai bangsa untuk menyatakan protes atau merendahkan moral serta wibawa seorang penguasa.
Agaknya, benar pula komentar June Swann, sejarawan asal Inggris, yang menyatakan, sepatu bisa menjadi salah satu indikator yang baik menunjuk perasaan dan emosi seseorang.
Jejak sepatu
Dalam tradisi militer, sepatu juga berposisi tidak sekadar aksesori atau pelengkap busana belaka, tetapi juga simbol dari eksistensi keprajuritan, kekuatan, kemandirian, tanggung jawab, bahkan arsenal vital dalam pertempuran. Sanksi dan hukuman akan segera diterima oleh seorang prajurit jika sepatu boot yang dikenakannya dilepas dalam sebuah tugas militer.
Adalah Viktor E Frankl (2003), yang pernah merasakan kegelisahan, ketakutan, dan ketegangan-ketegangan psikologis dari jejak dan suara sepatu militer saat bersama teman-temannya, dipenjara di kamp konsentrasi Auschwitz, Jerman, sepanjang 1944-1945. Anak buah Adolf Hitler bisa dikenali melalui jejak dan suara sepatu lars. Jejak sepatu diwaspadai karena menginjak dan meninggalkan luka dalam ingatan.
Agus TF mengingatkan jejak sepatu yang membuat luka dalam cerpen ”Jejak yang Kekal”. Cerpen itu berkisah, ”Dengarlah sepatu berderap, dan waktu melenguh. Jejak melesak ke tubuh-tubuh. Menggasak leher, rusuk. Kau dengar pulakah suara seperti mengerang? Lapat-lapat, timbul-hilang, begitu jauh. Menembus ruang, melipat waktu, menjalar lirih ke telingamu.” Tragedi kerap terjadi karena sepatu.
Pada momen dan kalangan tertentu, sepatu telah menjadi sumber dan modus eksistensial, pilihan identitas seseorang. Seperti pada masa perjuangan, sebagian ulama pernah berfatwa haram bagi pribumi yang menggunakan sepatu. Pelarangan bukan pada aspek material sepatu, tetapi lekatan ideologisnya. Sepatu kala itu diidentifikasi sebagai pakaian kaum penjajah dan penindas Belanda. Prinsip yang menyatakan man tasyabbaha bi qaumin fa huwa minhum (sesiapa yang menyerupai kelompok, dia bagian darinya) dijadikan landasan teologis-politis menentang keberlangsungan jejak-jejak sepatu para penjajah. Sepatu dijadikan jarak politis antara penindas dan tertindas.
WS Rendra melambung namanya lewat kumpulan ”Sajak-sajak Sepatu Tua”. Lewat sepatunya ia mengidentifikasi manusia dari sejumlah kota dan bangsa. Begitupun Sapardi Djoko Damono, dalam sajak ”Sepasang Sepatu Tua” (1994), berkisah bagaimana sepasang sepatu mencoba memahami diri dan posisinya pada manusia yang menggunakannya. ”Sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya/bisa mereka pahami berdua”.
Sepatu menciptakan dunianya sendiri dan memaksa kita mengikutinya. Sepatu adalah narasi tersendiri yang juga menentukan “siapa” manusia yang mengenakannya.
M Abdullah Badri, Aktivis di Idea Studies, Fakultas Ushuluddin IAINWalisongo Semarang
Sumber: Kompss, Sabtu, 12 Maret 2011
No comments:
Post a Comment