-- Putu Fajar Arcana
JOMPET Kuswidananto, perupa instalasi asal Yogyakarta, membangun rumah Jawa dalam Selasar Sunaryo Art Space. Ia membuat konstruksi dasar atap rumah joglo dengan elemen-elemen mitologis, sosiologis, agama, tradisi, nasionalisme, kolonialisme, dan modernisme. Semuanya bersenyawa membentuk identitas baru: Jawa hibrida!
Dalam pameran "Java s Machine: Family Chronicle" di Selasar Sunaryo Art Space Bandung, 25 Maret-7 April 2011, Jompet menampilkan instalasi sebagai pernyataan atas kebudayaan Jawa yang hibrida. (KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA)
Pameran seni instalasi karya Jompet yang bertajuk ”Java’s Machine: Family Chronicle” ini berlangsung 25 Maret-7 April 2011 di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Pameran ini menjadi seri kedua pencarian Jompet terhadap identitas Jawa. Sebelumnya, tahun 2008-2010, ia memamerkan secara keliling pameran ”Java’s Machine: Phantasmagoria” di Yogyakarta, Singapura, dan Hongkong.
Dalam pameran ini Jompet mengonstruksi Jawa dengan berangkat dari lagu ”Caping Gunung” karya Gesang. Ia seolah berada dalam satu narasi tentang keprihatinan seorang ayah yang harus berpisah dengan anaknya untuk berangkat perang. Sejak kecil ia memelihara anak itu, tetapi kemudian harus pergi karena perang. Konon, perang sudah dimenangkan, tetapi anak lelakinya tak kunjung pulang. Apakah ia lupa pada janji untuk kembali pulang?
Narasi tentang harapan ayah terhadap anak lelakinya dipamerkan Jompet dalam ruang terpisah. Ia memakai metafor ayah sebagai wilayah asal (Jawa). Pada rangkaian instalasi di ruang tengah ini, Jompet ingin menunjukkan satu rangkaian proses akulturasi yang sesungguhnya membentuk identitas Jawa. Selain rangka atap rumah yang diberi nama Kiai Ageng Mataram, Jompet juga menggelar video tiga keluarga menjelang sebuah karnaval di Jawa.
Bahkan, pada sebuah rumah di ruang dalam galeri, perupa yang tidak memiliki basis akademis seni ini membuat instalasi manusia-manusia tanpa tubuh. Ia hanya memperlihatkan artefak-artefak seperti sepatu bot, baju besi, tutup kepala dari berbagai etnis, drum, dan bellyra. Seluruh rangkaian instalasi ini dilengkapi dengan komponen kinetik dan musik. Rangkaian dengan tajuk ”The Liminal” ini ingin memperlihatkan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang tak bertubuh. Sosok ”sesungguhnya” sebuah kebudayaan (Jawa) ”hanya” berupa momen-momen yang menguarkan identitas nisbi. ”Kebudayaan itu tanpa sosok karena ia terus bergerak dan menyerap berbagai unsur dari mana pun,” ujar Jompet.
Gerak
Jompet berfantasi bahwa seluruh rangkaian pergerakan dan persenyawaan berbagai artefak kebudayaan itu dijalankan oleh sebuah mesin bernama mesin Jawa. Secara metaforik ia menganggap pergerakan mesin itu dimulai ketika pabrik-pabrik gula menyebar ke seluruh pelosok.
Mesin dalam wujud fisik, menurutnya, telah mengalami proses mistifikasi dalam bentuk penyelenggaraan ritual di seputar tebu, pabrik, dan gula. Mesin-mesin pabrik yang terus bergerak itulah yang menjadi penggerak dasar bergulirnya seluruh peradaban di Jawa dahulu.
Dalam ruang lain, Jompet memajang deretan bangku panjang menyerupai ruang tempat berdoa. Di sudut ruangan itu ia membangun tiang listrik beserta pengeras suara dengan kabel yang menjulur ke atap rumah doa. Di bangku bagian tengah, seorang anak kecil duduk seorang diri. Inilah bagian lain dari kisah ”Caping Gunung”, di mana anak lelaki ”mengingkari” janji untuk pulang karena berbagai alasan yang sulit dia hindarkan.
Secara simbolik, instalasi bertajuk ”A Space Between You and Me” ini mengabarkan bahwa salah satu mesin penggerak dari mesin Jawa itu adalah keberadaan agama dengan berbagai unsur kebudayaannya. Di ruang tengah sebenarnya pada karya ”Whispering Kala”, Jompet juga menunjukkan hal yang sama.
Babad keluarga dalam tangkapan Jompet memanjang sejak Nabi Adam sampai Panembahan Senopati atau sebagaimana dalam syair yang digubah Sunan Kalijaga. Bahwa tubuh manusia (Jawa) dikonstruksi oleh berbagai ”gen agama” yang berdiam pada napas, gerak, suara, pikiran, serta organ tubuh. Tafsir itu diwujudkan Jompet pada satu instalasi video yang memperlihatkan sesosok lelaki yang sedang bergerak dan kemudian mengenakan pakaian dari berbagai atribut kebudayaan.
Mesin Jawa itu kini telah menciptakan satu entitas kultural yang kita pahami bersama bernama Jawa. Padahal, ia sesungguhnya berasal dari berbagai gen dan elemen kebudayaan, yang kemudian membangun satu struktur: Jawa hibrida! Bukankah seluruh peradaban dan kebudayaan dibangun oleh sebuah persenyawaan, sebagaimana pertemuan gen lelaki dan perempuan? Jompet merangkai seluruh ”penemuannya” ini melalui sebuah riset panjang sebelum akhirnya dipresentasikan sebagai karya instalasi. Seni yang sangat serius dengan pengunjung yang padat! Bukan main.
Sumber: Kompas, Minggu, 27 Maret 2011
No comments:
Post a Comment