-- Aryo Wisanggeni G
TAHUKAH Anda kalau celengan sudah ada sejak zaman Majapahit? Apakah Anda juga tahu dan pernah melihat celengan yang terbuat dari tanah liat memiliki aneka bentuk seperti babi hutan, buah manggis dan blewah, penyu, harimau, kuda, hingga sapi?
Pameran Celengan (KOMPAS/IWAN SETIYAWAN)
Jika Anda mengunjungi pameran Celengan Antik ”Simpan Satu Rupiah” di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), 17–26 Maret 2011, dua celengan berbentuk ayam akan menyambut di pintu masuk. Ada juga celengan sapi setinggi 60 cm yang ada di belakang kedua ayam itu, kendati dicat putih celengan sapi itu telah memudar dimakan usia yang sudah mencapai 60-an tahun.
Sejumlah 200 celengan koleksi Museum Anak Kolong Tangga Yogyakarta itu seakan bertutur sendiri soal asal-usul kata ”celengan” dalam perbendaharaan kosakata kita. Celeng adalah kata serapan dari bahasa Jawa, berarti babi hutan liar. Celengan berbentuk hewan liar ini kemudian dijadikan alat penyimpan uang di masa kejayaan Majapahit.
Pekatnya warna terakota celengan Majapahit milik Museum Anak Kolong mulai dari yang berdiameter 3 cm, 6 cm, 20 cm, hingga 25 cm, menandai tuanya tradisi nenek moyang berhemat, mengumpulkan keping demi keping simpanannya.
Babi hutan memang memiliki fungsi sosial dan ritual yang istimewa pada masa peradaban Majapahit. Keterangan sejarah yang dipasang di sela-sela pameran menyebutkan kitab Vahara Avatara mengisahkan penjelmaan Wisnu menjadi babi. ”Ketika seluruh permukaan bumi tenggelam ke dasar laut disebabkan bencana yang ditimbulkan ulah jin Hyranyaksha, Wisnu lantas menjelma menjadi babi dan menyelam ke dalam lautan dan membunuh jin itu. Lalu ia kembali ke permukaan, menghiasi bumi dengan gunung, lembah, dan menciptakan 7 benua.” Demikian dikutip dari kitab itu.
Tidak ada penegasan bahwa pemilihan wujud celeng dan kelahiran kata ’celengan’ terkait dengan kisah itu. Nyatanya, celengan berwujud celeng juga ditemukan dalam peradaban Inggris, yang juga bisa Anda saksikan dalam pameran ini.
Koin
Celengan bukan sekadar alat penyimpan kumpulan koin, melainkan juga menjadi media ekspresi dari masa ke masa. ”Setiap masa, memiliki coraknya sendiri. Seperti mainan bocah yang merefleksikan dunia orang dewasa, bentuk celengan juga dipengaruhi tingkat penemuan manusia pada setiap peradaban,” tutur Rudi Corens, kurator dan salah satu penggagas Museum Anak Kolong Tangga.
Celengan memang hadir dalam berbagai peradaban manusia. Penggalian kuil Yunani kuno di Kota Thessalia (sekarang bagian utara Turki) menemukan kotak uang berumur lebih dari 2.500 tahun. Kotak uang itu disebut Thesaurus, yang menjadi cikal-bakal kosa kata ’treasury’ dalam bahasa Inggris.
Banyak bahasa memiliki kosakata untuk celengan yang bisa ditemukan dalam pameran itu, seperti ’salvedennaio’ (Italia), ’sparger’ (Swedia), ’sparbuchse’, ’sparschwein’, dan ’sparschrank’ (Jerman), ’pinyinnya’ atau ’cun qian tong’ (China), ’spaarpot’, ’spaarvarken’, dan ’zwarte kous’ (Belanda), dan ’cagnotte’ (Perancis). Sejumlah celengan beraneka bentuk dari Jerman, China, Inggris, Portugis pun dihadirkan dalam pameran ”Simpan Satu Rupiah” itu.
Yang istimewa, celengan mekanik buatan Amerika Serikat yang diperkirakan dibuat pada 1870–1880. Untuk menabung di celengan berbentuk torso (orang setengah badan) itu, sebuah tombol akan menggerakkan celengan orang itu mengeluarkan lidahnya, sebagai tempat menaruh koin. Celengan itu akan menelan koin yang ditaruh.
”Bentuk celengan yang hampir selalu lucu selalu menjadi nilai tambahnya untuk mengajarkan budaya menabung kepada anak-anak. Namun, celengan pun pernah menjadi alat propaganda. Kami juga memamerkan sebuah celengan Amerika Serikat yang dibuat dari bubur kertas pada tahun 1943. Celengan itu menggambarkan pimpinan Nazi, Adolf Hitler, sebagai seekor babi,” kata Corens.
Kegigihan Corens yang berasal dari Antwerp, Belgia, mengumpulkan berbagai jenis celengan dan mainan tradisional Nusantara telah mengilhami sejumlah perupa untuk mencipta celengan ”masa kini”. Mirip dengan celengan babi berujud Hitler, celengan para perupa itu sarat pesan dan gugatan.
Koniherawati membuat celengan berbentuk tabung gas elpiji ukuran 3 kilogram yang kerap meledak dengan menaruh sumbu di atas tabung hijau itu. N Rochman membuat ”Celeng'an Bangsa”, yang wujudnya berupa sesosok orang bertanduk merah, dengan ekor merah yang runcing sedang menghitung dan memakan ”duit rakyat”. Ada pula kelinci serba oranye karya Theresa dan celengan gajah aneka warna karya pelukis kondang Djoko Pekik.
Sejak zaman Majapahit pun celengan telah memiliki wujud yang beragam. Mulai dari buah manggis, sesosok anak menggunakan perhiasan, juga bentuk bulat menyerupai sarang lebah. Pada abad ke-19, muncul variasi bentuk seperti Semar atau Gatotkaca, dan naga. Celengan sapi, ayam, penyu, kuda, harimau, katak ada hingga kini, tetapi semakin ditinggalkan dan seperti menunggu punah.
”Musuh terbesar kreativitas celengan adalah plastik. Plastik membuat proses kreatif menjadi mandek. Padahal, setiap bentuk celengan memiliki kisahnya sendiri, yang menarik untuk dikisahkan kepada anak yang belajar menabung,” kata Corens mencemaskan masa depan tradisi yang tak ditabung lagi.
Sumber: Kompas, Minggu, 20 Maret 2011
No comments:
Post a Comment