Sunday, March 20, 2011

Cerita dari Pasar Kintamani

-- Putu Fajar Arcana

CHUSIN Setiadikara satu dari sedikit pelukis realistik yang tetap memilih bahasa konvensional. Ia selalu membangun struktur lukisannya dengan sketsa untuk kemudian disentuhnya kembali dengan warna atau dibiarkannya menjadi sekadar ”drawing”.

Pengunjung mengamati. (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

Di tengah metode baru yang memudahkan kerja melukis realistik dengan menggunakan gambar proyeksi atau olah digital, Chusin tetap bergeming. Ia terus melakukan perburuan ke pelosok-pelosok Bali yang telanjur memikat hatinya. Chusin bukanlah pemburu yang asal main bidik. Ia pemburu yang tekun mengamati obyek buruannya, sampai akhirnya pelukis kelahiran Bandung 1949, ini berhasil mempresentasikan hasil buruannya sebagai sebuah pernyataan. Pernyataan-pernyataan Chusin tentang hasil buruannya itu dipamerkan dengan judul ”Chusin’s Realistic Painting. A Thesis”, 15-25 Maret 2011 di Galeri Nasional Indonesia Jakarta. Pameran dengan kurator Jim Supangkat ini dimotori CP Foundation yang sabar menunggu Chusin sampai sembilan tahun untuk berpameran tunggal.

Pasar Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, seolah menjadi pernyataan Chusin tentang perubahan sosial yang terjadi di sekitar kita. Dalam empat seri lukisan tentang Pasar Kintamani sejak tahun 1994 sampai 2011, pasar yang letaknya di kawasan perbukitan di atas Danau Batur, itu menjadi studi tentang berbagai perubahan sosial-ekonomi yang terjadi di sekitar kita. Chusin mempresentasikan perubahan itu lewat benda-benda seperti celengan, plastik pembungkus dagangan, pakaian, serta pola perilaku orang-orang sekitar pasar. Pada seri terakhir lukisannya, Chusin menemukan para pedagang yang sudah menggunakan telepon seluler serta gadis-gadis yang bermain iPhone.

Pertama, fenomena perubahan itu ”hanya” didokumentasikan Chusin melalui kamera sebagai senjata utama dalam perburuannya. Ketika dokumentasi-dokumentasi tentang Pasar Kintamani itu dipresentasikan dalam lukisan, Chusin menyatukan berbagai frame hasil bidikan kamera untuk mendukung pernyataannya tentang perubahan itu. Kedua, berbagai perubahan itu kemudian menjadi representasi dari berbagai perubahan yang terjadi di sekeliling kita. Chusin mengerti benar bahwa pasar adalah simpul paling transparan, jika kita ingin menemukan dengan segera berbagai perubahan sosial yang terjadi.

Lukisan tubuh

Pasar Kintamani sampai kini tetap berlokasi di atas perbukitan, di mana kita bisa menyaksikan keindahan Danau Batur dari kejauhan. Pasar ini menjadi simpul utama pertemuan warga dari beberapa desa yang terletak di kawasan Kecamatan Kintamani. Lantaran letaknya di daerah berhawa sejuk, benda-benda yang dijajakan di Pasar Kintamani, selain hasil bumi, juga pakaian-pakaian dan selimut serta berbagai aksesori penghangat tubuh.

Lewat berbagai ”rekaman” gambarnya Chusin menunjukkan betapa ”kultur” plastik juga menyerbu ke daerah-daerah yang sesungguhnya memiliki begitu banyak pilihan untuk ”sekadar” membungkus barang. Kintamani adalah daerah pegunungan yang kaya dengan hasil bumi, terutama kopi dan kayu albesia. Sungguh mudah mencari daun atau sejenisnya untuk mengemas barang dagangan. Dan itu pula yang direkam Chusin dalam seri-seri awal tentang pasar ini.

Jika ”dinikmati” dari sudut ini Chusin tentulah bukan sekadar perekam yang ulung terhadap sajian visual yang ada di Pasar Kintamani. Ia juga adalah perupa, pengamat, dan pengkritik yang paham benar memosisikan diri. Dalam bahasa Jim Supangkat, Chusin tidak melukis dengan kepala, tetapi melihat dan mempresentasikan segala sesuatu dengan hati (tubuh). Oleh sebab itu, lukisan-lukisan Chusin senantiasa menyisakan bagian-bagian drawing. Ia sengaja memperlihatkan struktur bekerjanya sebagai bagian dari keinginannya memunculkan gagasannya. Bahwa apa yang ia rekam tidaklah sekadar pemindahan terhadap realitas sebagaimana dilakukan fotografi, tetapi ia memasukkan gagasannya lewat amatannya terhadap perubahan dalam realitas.

Jelas bahwa perupa yang menimba ilmu lukis realistik lewat Balai Seni Barli di Bandung, ini tak sekadar bermanis-manis menyajikan gambar-gambar dengan warna menawan serta citraan realistik yang mudah disimak, tetapi ia menyajikan sebuah esai lewat berbagai seri lukisannya.

Pasar Kintamani tidak saja muncul dalam empat seri lukisannya sejak 1994-2011, tetapi juga ditangkap Chusin lewat gambar-gambar lepas. Pameran tunggalnya di Galeri Nasional Indonesia Jakarta, ini dengan begitu menjadi paparan menarik tentang dinamika perubahan sebuah komunitas masyarakat di ”pedalaman”. Ia juga akan menjadi ”rekaman” sejarah tentang peradaban manusia dengan berbagai aktivitas dan perilakunya. (Aryo Wisanggeni G)

Sumber: Kompas, Minggu, 20 Maret 2011

No comments: