Sunday, March 13, 2011

Gamelan dan Musik Klasik

-- Joss Wibisono

PADA abad XXI ini tidaklah berlebihan kalau dicatat bahwa gamelan sudah merupakan kecenderungan musik dunia. Gamelan dimainkan di mana-mana, bukan cuma di tempat asalnya: Sunda, Jawa, atau Bali. Di mana-mana juga bermunculan komponis-komponis yang menciptakan karya musik untuk gamelan. Kalau tak mau dicap ketinggalan zaman, seorang komponis modern pasti akan memasukkan unsur-unsur gamelan dalam karyanya.

Selain itu, muncul upaya menulis kembali sejarah pengaruh gamelan pada musik Barat. Hasilnya lebih dari sekadar pendalaman bagaimana dulu Claude Debussy (1862-1918), komponis pertama yang dianggap kena pengaruh gamelan, berkenalan dengan gamelan Sunda.

Dari sini terungkap beberapa komponis lain yang juga terpengaruh gamelan, tapi melalui cara yang berbeda dari Debussy. Kalau Debussy menonton pameran di Paris yang mempergelarkan gamelan, maka kelompok komponis lain ini tidaklah perlu melawat keluar negeri.

Mereka lahir dan dibesarkan di Hindia Belanda, cikal bakal Indonesia.

Debussy ke Desa Jawa

Pada tahun 1903 terbit Estampes, kumpulan tiga komposisi piano karya Claude Debussy. Nomor pertama, berjudul Pagodes, merupakan pembaruan penting. Kalau musik aliran romantis begitu bergejolak dan berapi-api, maka musik Debussy, disebut musik aliran impresionis, lebih lamat-lamat dan lebih mementingkan nuansa. Itu dicapainya dengan menggubah paduan nada (akord) yang mengambang dan tidak pernah mencapai penyelesaian. Caranya, antara lain, dengan menggunakan musik pentatonis lima nada, nada gamelan.

Sejatinya Debussy sudah lama ingin menggunakan lima nada itu. Ia baru yakin setelah menonton pergelaran gamelan pada l’Exposition Universelle (pameran semesta) yang digelar di Paris pada tahun 1889 untuk memperingati 100 tahun Revolusi Perancis.

Pada pameran itu, paviliun Belanda disebut le village javanais (Desa Jawa) atau le kampong javanais. Di situ pentas gamelan Sunda Sari Oneng dari Desa Parakan Salak, dekat Sukabumi, antara lain untuk juga mengiringi empat gadis penari keraton Mangkunegaran, Solo. Debussy sampai berjam-jam menekuni bunyi Sari Oneng.

Pameran juga disaksikan oleh komponis Kanada Colin McPhee (1900-1964) yang pada tahun 1930-an sempat tinggal di Bali. Ciptaan terkenal McPhee adalah Tabuh-Tabuhan, toccata untuk orkestra dan dua piano. Mendengar karya ini, kita akan langsung mengenalinya sebagai gamelan Bali yang dimainkan oleh orkestra Barat.

McPhee ”menularkan” gamelan Bali kepada sahabatnya, komponis Inggris Benjamin Britten (1913-1976). Britten sendiri, pada Januari 1956, sempat berkunjung ke Bali. Opera terakhirnya, Death in Venice, sangat bernapaskan Bali.

Bagaimana dengan gamelan Jawa dari Yogya atau Solo? Komponis Barat mana yang terpengaruh olehnya? Di sinilah makna penting komponis-komponis Indisch, komponis Eropa/Belanda yang berlatar belakang Indonesia.



Pianis dan pakar antropologi Belanda Henk Mak van Dijk menulis buku De oostenwind waait naar het westen (Angin timur berembus ke barat) tentang komponis-komponis yang terlupakan ini. Empat komponis mendapat bab khusus, masing-masing Constant van de Wall (1871-1945), Paul Seelig (1876-1945), Linda Bandara (1881-1960), dan Bernhard van den Sigtenhorst Meyer (1888-1953). Kemudian masih ada Theo Smit Sibinga (1899-1958), Daniel Ruyneman (1886-1963), Frans Wiemans (1889-1935), Hector Marinus (1902-1952), Berta Tideman-Wijers (1887-1976) dan beberapa orang lagi.

Pernah dengar nama-nama itu? Merekalah peletak dasar musik klasik di Nusantara, pendahulu komponis Indonesia, seperti Cornel Simandjuntak (1921-1846) atau Amir Pasaribu (1915-2010) dan Tri Sutji Kamal (1936). Lagu-lagu seriosa kita jelas tidak jatuh dari langit, tapi didahului oleh ”Maleische liederen” (Lagu-lagu Melayu), misalnya, ciptaan Constant van de Wall, atau ”Krontjong Pandan” karya Paul Seelig. ”Trois danses javanaises” (Tiga tarian Jawa) untuk piano solo ciptaan Paul Seelig jelas merupakan pendahulu ”Srikandi” karya Yazeed Djamin (1952-2001).

Para komponis Indisch ini bisa dibagi dalam dua kelompok. Pertama komponis yang mementingkan penciptaan, dengan eksponen Constant van de Wall. Baginya gamelan merupakan sumber inspirasi untuk diolah lebih lanjut. Sedangkan bagi kelompok kedua yang terpenting adalah sumbernya. Komponis seperti ini, dipelopori oleh Paul Seelig, lebih mementingkan dan karena itu lebih setia pada sumbernya. Tidaklah mengherankan kalau karya-karya Seelig lebih terdengar sebagai lagu asli Malaysia, tembang Sunda, atau Jawa.

Berlainan dengan Debussy, Jawa bagi Constant van de Wall bukan lagi le village, melainkan, paling sedikit, dua kota. Itulah Soerabaia, ejaan 1871, tahun kelahirannya, dan Semarang, tempat dia dibesarkan. Di Semarang hampir tiap hari Constant kecil mendengar gamelan. Masuk akal kalau ditulisnya bahwa bunyi-bunyian Jawa sudah merasuk dalam darahnya, sehingga karya-karyanya selalu bernapaskan gamelan Jawa.

Dalam Schimmenspel, (pertunjukan wayang) untuk vokal dan piano, Van de Wall dengan eloknya melagukan pertunjukan wayang kulit. Mungkin inilah satu-satunya lagu seriosa tentang wayang kulit. Opera ciptaannya, Attima, tentang kehidupan seorang penari Jawa, juga sarat motif gamelan Jawa. Ketika menetap di Perancis Selatan pada akhir hidupnya Van de Wall dikenal sebagai compositeur javanais, komponis Jawa.

Paul Seelig memang tidak dilahirkan di Hindia Belanda, tetapi ia lebih banyak menghabiskan hidupnya di Bandung. Tamatan konservatorium Leipzig yang terkenal itu, Seelig berkarier di beberapa istana Asia. Selain Bangkok dan Johor, ia terutama juga aktif di Solo.

Dalam jabatan kapelmeester (pemimpin) di Keraton Soesoehoenan Pakoe Boewono X, pada tahun 1899, Paul Seelig mendirikan orkestra, melatih pemusiknya. Setahun kemudian orkestra beranggotakan 20-an kawula keraton ini tampil untuk pertama kalinya. Hadirin antusias, Paul Seelig pun puas. Para pemain itu tampil dengan tepat dan mengagumkan, tulisnya. Pada masa jayanya di awal abad lalu, orkestra Keraton Solo ini beranggotakan sampai 90 pemain. Selama bekerja di Keraton Solo, Paul Seelig sempat menghimpun 200 tema gamelan Jawa yang kemudian diterbitkannya sebagai Gending Djawi.

Ia akhirnya memilih tinggal di Bandung dan mendirikan penerbit musik Matatani di Bragaweg 19. Di sinilah terbit banyak karya Seelig. Ada lagu-lagu dengan iringan piano, misalnya ”Tembang Sunda”, ”Sinom”, ”Kinanti” dan ”Dandang gula miring”, kemudian ”Tembang Sekar Tjitro Kusomo”, ”Djalak Idjo”, ”Hastaka Kuswala”, ada pula karya untuk piano solo ”Danse de masque javanaise” dan ”Pentul Tembem”, kemudian musik drama Dewi Anggraeni serta konser piano dalam Fis minor.

Para komponis Indisch ini terlupakan karena Debussy sebagai pembaru lebih dipetingkan. Ini juga berkaitan dengan posisi Belanda di Eropa yang walaupun ”punya” Hindia Belanda, tetap tidak menentukan. Perancis, misalnya, jauh lebih berpengaruh dan menentukan.

Sudah hampir satu seperempat abad gamelan memengaruhi musik Barat. Sejarah pengaruh itu, termasuk peran komponis Indisch, sedikit banyak juga merupakan sejarah musik Indonesia.

Joss Wibisono
, Penyiar Radio Nederland di Hilversum

Sumber: Kompas, Minggu, 13 Maret 2011

No comments: