Sunday, March 13, 2011

Teater: Membaca Kebudayaan Antara dari Garasi

-- Th Pudjo Widijanto

PEMENTASAN lakon ”Tubuh Ketiga” oleh Teater Garasi di Taman Budaya Yogyakarta, Jumat-Sabtu (11-12/3) seperti mengokohkan grup teater ini, yang memilih lanskap eksperimental (cutting edge). Menggunakan ”setting” kehidupan musik tarling khas Indramayu, teater ini mencoba mengeksplorasi sesungguhnya bagaimana bangun kebudayaan umat manusia.

Teater Garasi menampilkan pentas bertajuk "Tubuh Ketiga", di Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Jumat (11/3). Pentas tersebut menggambarkan kesenian tarling di pesisir utara Jawa yang terbentuk dari berbagai kebudayaan. (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)


Bahwa sinkritisme tidak bisa ditolak dalam perjalanan peradaban umat manusia. Tak ada kebenaran tunggal dalam aspek apa pun, baik dalam individu maupun kelompok.

Dominasi musik tarling mewarnai pentas ini. Boleh dikata penampilan Teater Garasi kali ini menyuguhkan hiburan yang segar. Namun di balik itu, sebagaimana kekhasan teater garasi, kita diajak untuk bergumul tentang makna, khususnya menyangkut hakikat kebudayaan, termasuk budaya kekerasan yang terkadang menghakimi terhadap budaya lain.

Tak ada kisah linier yang melibatkan tokoh-tokoh sentral, semua pendukung lakon berperan penting. Lakon ini lebih merupakan potongan-potongan kisah yang dikemas dalam satu benang merah sehingga membentuk sebuah esai kehidupan di seputar dunia musik tarling.

”Tak ada naskah baku. Yang ada hanya poin-poin penuntun pertunjukan. Kami lebih mengandalkan proses improvisasi,” kata Yudi Ahmad Tajudin, sutradara pementasan ini. Atau boleh jadi pementasan ini lebih menerjemahkan sebuah teks esai tentang simpul-simpul budaya yang secara konseptual digarap oleh Yudi sebagai penggagas ide.

Isyarat

Sejak gerbang pintu masuk sesungguhnya pertunjukan sudah dimulai. Setelah melewati jajaran umbul-umbul dan janur kuning melengkung, layaknya sebuah perhelatan di pedesaan Jawa, penonton disambut salam oleh putri-putri ayu dan jajaran laki-laki tampan yang semuanya mengenakan kebaya untuk perempuan dan beskap (pakaian Jawa) untuk laki-laki. Begitu masuk ruang pertunjukan penonton langsung disambut kesenian musik tarling. Itulah awal yang memberi isyarat ke mana arah kisahan berjalan.

Berikutnya digambarkan di sebuah persawahan dengan banyak petani yang sedang memanen dan menjemur padi dan ada pula sosok petani yang mewadahi padi-padi ke karung. Dalam suasana penuh kegembiraan itu, sayup-sayup terdengar suara lagu berjudul ”Jeritan TKW” (tenaga kerja wanita) dari sebuah pesawat seluler. Ada pula seorang perempuan petani yang menyanyi lagu ”Tarling” diiringi sebuah gitar.

Latar belakang persawahan itu tertancap menjulang tinggi sebuah tower jaringan seluler. Ada anak-anak muda yang ngibing mengikuti irama lagu tarling. Di tengah keriuhan petani panen raya itu, muncul orang-orang berkepala karung seolah-olah menggambarkan para pengijon yang membeli gabah petani dengan harga murah. Mendadak pula ada suara gemuruh seperti kereta api lewat mengiringi jatuhnya tumpukan sampah ke persawahan. Sawah dan sampah gambaran betapa tidak berartinya petani.

Meski kehidupannya sering tertindas, namun TKW, petani dan kegembiraan adalah bagian dari kehidupan musik tarling. Karena itu, pentas itu juga menggambarkan kemeriahan pesta musik tarling setelah masa panen. Orang-orang berdatangan yang dikisahkan mengitari panggung yang dibangun mengambang di atas selokan irigasi. Laki perempuan menari ngibing, saling sawer memasukkan uang ke tubuh penyanyi tarling yang berpakaian minim.

”Penonton, nama panggung ini adalah Santi Revaldi yang baru saja pulang dari Jakarta, habis manggung. Sejak kecil Santi memang sudah senang menyanyi. Tapi baru profesional tahun 2005, setelah ia menikah. Ibunya adalah penyanyi sintren. Selain menyanyi dangdut. Santi juga menyanyi lagu-lagu kasidah. Ia juga bisa nyinden seperti ibunya. Kalau tidak bisa menyanyi, mungkin ia sudah berangkat jadi TKW sebagaimana kawan-kawan di kampungnya. Ia dan kawan-kawannya sudah tidak lagi mau turun ke sawah,” kata seorang pembicara yang bertindak sebagai panitia.

Dalam adegan itu digambarkan pula seseorang yang berlari-lari mencari sesuatu dengan berteriak. ”Mencari Dewi Sri. Dewi Sri makin miskin dan suatu saat nanti memutuskan pergi menjadi TKW.” Gambaran kepergian Dewi Sri (Dewi penjaga padi) adalah simbol hilangnya kemakmuran petani.

Dengan tarling, Yudi selaku penulis ide, memang ingin berbicara kebudayaan dalam konteks keindonesiaan. Tarling yang berkembang di pesisir utara Jawa yang menggunakan musik gitar bercampur musik tradisi, bergerak di antara kebudayaan agraris dan industrial, antara desa dan kota, yang tradisional dan modern. Tarling juga problematis, karena dianggap bukan seni tradisi tetapi juga belum seni modern. ”Tetapi di tengah posisi problematis itu tarling berkembang, terus tumbuh menjadi penanda kebudayaan antara (antara modern dan tradisi), suatu kebudayaan yang tidak tumbuh dari suatu definisi atau identitas,” kata Yudi.

Dalam konteks keindonesiaan banyak hal kebudayaan Indonesia tersusun dari entitas-entitas kebudayaan ketiga itu. Sebagaimana tersirat dalam adegan dialog budaya dalam pementasan ini, bahwa kesadaran akan budaya antara ini penting agar kita memahami kebudayaan dan memiliki kebebasan untuk membangun sebuah produk budaya. Betatapun sesilangan budaya, sinkritisme itu nyata. Di situ kebudayaan antara itu terus menghidupi dirinya sendiri....

Sumber: Kompas, Minggu, 13 Maret 2011

No comments: