-- Mochtar Buchori
BEBERAPA waktu lalu, empat teman datang ke rumah. Mereka membawa manuskrip berjudul ”Pedagogik Kritis”.
Teman-teman ini ingin tahu pendapat saya dan sekaligus meminta saya menulis kata sambutan untuk penerbitan buku itu. Ini berarti mereka berasumsi bahwa saya akan setuju dengan isi manuskrip tersebut. Sebuah fait accompli yang halus!
Manuskrip terdiri dua bagian: sejarah perkembangan pedagogik kritis dan beberapa karangan tentang pendidikan di Indonesia yang berciri pedagogik kritis.
Menurut pendapat saya, kata kritis sebagai adjektiva kata pedagogik agak berlebihan (redundant). Pedagogi (teori tentang membimbing anak menuju kedewasaan) dan pedagogik (praksis membimbing anak menuju kedewasaan) lahir dan berkembang karena adanya pemikiran kritis mengenai gagasan-gagasan dan praksis pendidikan yang berlaku selama suatu kurun waktu.
Lalu, mengapa teman-teman saya tadi memakai istilah pedagogik kritis? Dugaan saya, karena dalam pandangan mereka banyak terjadi praksis serta kebijakan pendidikan yang mengabaikan perkembangan penting dalam masyarakat.
Menurut pendapat saya, penyimpangan-penyimpangan ini terjadi karena di antara kita banyak yang tidak benar-benar memahami makna berbagai perubahan tersebut bagi kehidupan kita ke depan. Misalnya, berapa dari kita yang memahami arti filsafat Pancasila sebagai landasan kehidupan berbangsa bagi pendidikan kita? Apa implikasi kenyataan ini bagi pendidikan kita? Lalu, setelah kita berkeputusan membangun masyarakat berdasarkan demokrasi, apa pula maknanya bagi pendidikan Indonesia?
Tidak paham perubahan
Ketidakpahaman tentang makna perubahan mendasar ini membuat kita tetap bersikukuh pada praksis-praksis pendidikan yang dibangun berdasarkan kaidah-kaidah lama, kaidah yang tidak pernah diperbarui berdasarkan tuntutan baru yang muncul dalam masyarkat. Lalu, praksis pedagogik yang ada pun menjadi usang dan petunjuk-petunjuk yang dilahirkan pedagogik terasa aneh dan menjadi dalil-dalil antik yang terasa dogmatis.
Ketidakpahaman pedagogik terhadap perubahan zaman ini terjadi karena tanpa kita ketahui pedagogik membeku menjadi ilmu keguruan. Ini adalah suatu mazhab pendidikan yang berpandangan bahwa pendidikan hanya terjadi di sekolah dan hanya gurulah yang mampu mendidik. Pedagogi dan pedagogik bukan lagi suatu ilmu yang memerhatikan praksis-praksis yang benar tentang membimbing anak.
Pedagogik bertujuan agar anak di kemudian hari mampu memahami dan menjalani kehidupan dan kelak dapat menghidupi diri mereka sendiri, dapat hidup secara bermakna, dan dapat turut memuliakan kehidupan. Untuk itu, mereka harus dididik agar menguasai sejumlah pengetahuan yang penting dalam hidup, menguasai keterampilan tertentu, dan memahami nilai-nilai kehidupan. Yang pertama diajarkan melalui pembelajaran pengetahuan, yang kedua diajarkan melalui latihan menguasai keterampilan nyata, dan yang ketiga diajarkan melalui pemahaman tentang nilai-nilai kehidupan.
Dalam bahasa Ingris, tugas pertama dinamakan teaching, yaitu pengalihan pengetahuan (transfer of knowledge), yang kedua melalui training, dan yang ketiga melalui education. Pedagogik sebagai ilmu mencakup ketiga hal ini. Adapun bagian yang membahas pembelajaran saja lazim disebut didaktik dan metodik.
Kita ketahui bersama bahwa pengetahuan terus berkembang. Teori ilmu kedokteran, misalnya, berubah terus. Keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk praktik kedokteran juga berkembang
dan nilai-nilai tentang praktik kedokteran makin kompleks. Perkembangan-perkembangan seperti ini serta yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan dunia pendidikan tidak pernah dipahami secara penuh oleh ilmu pendidikan karena cakupannya terlampau sempit.
Guru selaku pendidik tak pernah dilatih memahami hal-hal di luar praksis-praksis keguruan di sekolah. Itu sebabnya, ilmu pendidikan untuk guru diajarkan pada teachers’ college (perguruan tinggi untuk guru). Modernisasi dari situasi ini mengubah sifat pendidikan guru. Mereka tak lagi dilatih institusi dalam cakupan konsep teachers’ college, tetapi dalam institusi-institusi dengan orientasi lebih luas tentang pendidikan, yang disebut graduate school of education. Tujuannya, agar para calon guru dapat memahami perkembangan dalam masyarakat.
Upaya menjadi kritis
Apakah yang perlu dilakukan agar pedagogik Indonesia jadi lebih kritis? Pada dasarnya kita yang merasa jadi pengampu pedagogik berusaha memperluas pengetahuan umum. Perluasan pengetahuan umum ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Yang penting, dengan pengetahuan umum yang diperluas itu, kita dapat melihat lebih jelas hubungan antara apa yang terjadi di sekolah dan apa yang terjadi dalam masyarakat.
Kalau kita ingin mengetahui mengapa masyarakat terus-menerus mengeluhkan ujian nasional, misalnya, kita perlu mengetahui bagaimana persepsi masyarakat umum tentang pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah. Bagaimana pandangan masyarakat tentang mutu pendidikan di sekolah dan apakah biaya pendidikan yang harus ditanggung orangtua terasa berat, biasa-biasa saja, atau ringan. Mengetahui hal-hal ini secara saksama akan membantu kita memahami keberatan kebanyakan orangtua mengenai ujian nasional tadi. Kemudian, kita juga akan memahami mengapa ada orangtua ingin menyekolahkan anak mereka di luar negeri sejak dini.
Ketika mempelajari sejarah pendidikan guru di Indonesia, mula-mula saya tidak mengerti mengapa pendidikan guru Jawa baru dimulai tahun 1852. Baru kemudian saya ketahui, hal ini erat hubungannya dengan perubahan politik di negeri Belanda, yaitu perubahan status Pemerintahan Belanda dari absolute monarchie menjadi constitutionele monarchie pada 1848. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari liberalisasi alam pikiran di Eropa yang mengubah cara berpikir orang Eropa pada umumnya dan menghasilkan semboyan liberty, egality, dan fraternity.
Kalau sekarang kita ingin tahu mengapa di Timur Tengah dan Afrika Utara terjadi gejolak politik hampir bersamaan, fenomena ini juga hanya akan kita pahami kalau kita memiliki pengetahuan umum yang luas.
Bagi saya, sejarah merupakan inti pengetahuan umum yang perlu dikuasai untuk memahami lebih dalam apa yang saya kerjakan dalam hidup saya. Bagi orang lain, inti pengetahuan umum yang diperlukan mungkin lain lagi. Jadi, tidak ada patokan yang baku, menurut saya, apa inti pengetahuan umum itu. Setiap orang membutuhkan ramuan yang berbeda.
Juga tidak ada orang lain yang mengawasi apa yang kita pelajari. Kita sendiri yang mengawasi diri kita masing-masing, memeriksa ke dalam diri sendiri, apakah kita benar-benar mendapatkan apa yang kita perlukan. Ini memerlukan kecintaan terhadap perbuatan belajar itu sendiri. Kita harus mengembangkan love for learning dalam diri kita masing-masing demi pengabdian kita kepada para peserta didik yang melihat kita sebagai pembimbing atau guru mereka.
Bagi saya, inilah esensi profesionalitas atau profesionalisme guru, bukan secarik kertas yang ditandatangani dan distempel oleh birokrasi.
Mochtar Buchori, Pengamat Pendidikan
Sumber: Kompas, Senin, 21 Maret 2011
No comments:
Post a Comment