Sunday, May 27, 2007

Seni Tradisi di Ibukota: Banyak Penggiat Miskin Peminat

-- Reini Dwinanda

Tantangannya adalah meracik seni trasisi menjadi menarik bagi generasi muda.

Ibarat sepiring gado-gado, Jakarta menampung warganya yang campur aduk latar belakang budayanya. Pendatang --entah dari berbagai penjuru Indonesia atau negara lain-- dan tentunya juga orang Betawi asli, memadati Jakarta.

Meski tak lagi di kampung halamannya, para pendatang tak serta merta melupakan jati diri kesenian tradisionalnya. Jadilah Jakarta -- ibukota yang hampir genap berusia 480 -- itu sebagai pentas besar seni tradisi.

Semanis itukah kenyataannya? Rupanya tidak. Di Jakarta, seni tradisi tidak hidup penuh gemerlap. Bahkan, geliatnya lemah. Seni tradisi terpinggirkan, tergerus.

Pengamat seni tradisi, Jusuf Sugito, memantau fenomena tersebut. Selaku kasubdis pembinaan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, ia tak berdiam diri. ''Demikian pula mitra kami yang melakukan pengkajian dan pengembangan kebudayaan,'' katanya.

Pemerintah, lanjut Jusuf, tak meluputkan perhatiannya pada keberadaan seni tradisi. Sejumlah uang dianggarkan untuk membina sanggar-sanggar seni tradisi yang hidup di Jakarta. Tanpa menyebut jumlahnya, Jusuf mengatakan APBD memang mengadakan pos pendanaan tersebut.

Dukungan pemerintah ditunjukkan pula dengan mengadakan ajang pemberdayaan kelompok-kelompok kesenian melalui lomba dan festival untuk kalangan pelajar. Lantas, pemerintah juga mengupayakan peningkatan kualitas SDM. ''Di lima wilayah Jakarta terdapat balai latihan kesenian yang dapat dimanfaatkan oleh para penggerak seni tradisi,'' papar Jusuf.

Bentuk pembinaan yang paling penting, menurut Jusuf, adalah kesempatan tampil. Ini akan menjadi alat bukti eksistensi sebuah kelompok kesenian. ''Pagelaran seni tradisi dibutuhkan untuk pelakon sekaligus meningkatkan apresiasi masyarakat,'' katanya.

Seni tradisi memang banyak pelakonnya. Mereka terus saja berkesenian di tengah kesibukan sehari-hari mempertahankan hidup di Jakarta. Malah, tak jarang para pelakon menyambung hidup dengan berkesenian. ''Sayangnya, orang yang mengapresiasinya masih terbatas,'' sesal Jusuf.

Kenyataan getir tadi tak bisa diubah oleh pemerintah seorang. Posisi pemerintah dalam hal ini hanyalah fasilitator. ''Yang bisa mengubah keadaan cuma masyarakat,'' ucap Jusuf.

Di Jakarta, ada 32 lembaga kebudayaan daerah. Yang berhasil mengemas seni tradisi dengan menariklah yang dapat bertahan. Seni tradisi yang dipercantik penampilannya itu lantas menjelma menjadi milik bersama, dan lebih mudah mencuri hati penikmat seni.

Jusuf mencontohkan ketoprak humor. Seni lakon orang Jawa itu kini diminati masyarakat secara luas. ''Ketoprak humor sukses menggaet penonton tanpa mempedulikan perbedaan latar belakang budayanya,'' katanya.

Bagaimana dengan seni tradisi Betawi? Sebagai tuan rumah, kesenian tradisional Betawi mendapat perhatian besar dari pemerintah setempat. ''Pelestarian seni tradisinya dipusatkan di Srengseng yang kini dikenal sebagai perkampungan budaya Betawi,'' kata Jusuf.

Soal nasib seni tradisi di Jakarta, Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Aurora Tambunan, pernah mengungkapkan kegusarannya. Ia miris melihat kawula muda menganggap kuno seni tradisi. ''Ini merupakan tantangan bagi penggiat seni tradisi, bagaimana meraciknya menjadi suguhan yang menarik bagi generasi muda,'' katanya.

Padahal, seperti diyakini Prof Dr Arief Rachman MPH, seni tradisi berdampak positif bagi tumbuh kembangnya anak. Ia bahkan yakin pengajaran seni tradisi di kalangan pelajar dapat meminimalisir angka kejadian bullying.

Berpegang pada keyakinan tersebut, ketua harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO itu lantas memberi dukungan penuh pada penyelenggaraan Konser Karawitan Muda Indonesia yang akan digelar pada 28 dan 29 Mei mendatang di Auditorium RRI Pusat Jakarta.

''Berbagai tindak kekerasan terjadi karena orang tak lagi dekat dengan seni budaya,'' kata Arief kepada Republika beberapa waktu silam.

Untuk mendekatkan anak muda zaman sekarang dengan seni tradisi, Arief berpendapat pengenalan harus dilakukan di sekolah. Seni tradisi selayaknya dijadikan ekstrakurikuler.

Agar pengenalan seni tradisi berjalan lancar, menurut Arief, tenaga pengajar tentunya mesti disiapkan dan digaji dengan semestinya.

Sumber: Republika, Minggu, 27 Mei 2007

Wednesday, May 23, 2007

Guru Besar: Indonesia Hadapi Ancaman Kepunahan Bahasa Daerah

Jakarta, Kompas - Kepunahan bahasa, terutama bahasa daerah, menjadi masalah serius yang juga perlu perhatian pemerintah dan masyarakat. Sebab, proses kepunahan bahasa ini akan diikuti dengan kepunahan budaya dan pada akhirnya kepunahan masyarakat.

Padahal, bahasa adalah refleksi dan identitas yang paling kokoh dari sebuah budaya. Untuk itu, upaya serius dalam menyelamatkan bahasa-bahasa daerah perlu dilakukan sehingga Indonesia tetap menjadi negara yang bhineka tetapi tetap bertunggal ika.

Demikian disampaikan Arief Rachman dalam orasi pengukuhan sebagai guru besar bidang ilmu pendidikan bahasa Inggris pada Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta (FBS- UNJ), Selasa (22/5). Sidang pengukuhan tersebut dipimpin Rektor UNJ Bedjo Sujanto.

"Kondisi bahasa-bahasa daerah di seluruh dunia yang sangat banyak ini ternyata hanya digunakan oleh minoritas masyarakat dan tergeser oleh bahasa-bahasa yang dianggap lebih universal, seperti bahasa Inggris dan bahasa resmi negara masing-masing. Indikasi ini mencerminkan bahwa bahasa-bahasa daerah yang masuk dalam kategori bahasa mayoritas, tetapi minoritas pemakaiannya, secara perlahan akan mengalami kepunahan," kata Arief dalam orasinya berjudul "Kepunahan Bahasa Daerah karena Kehadiran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris serta Upaya Penyelamatannya".

Kepunahan bahasa daerah di Indonesia, seperti terhimpun dalam Atlas of The World’s Languages in Danger of Disappearing karya Stephen A Wurm (2001) yang diterbitkan UNESCO menunjukkan fenomena itu. Di Sulawesi, misalnya, dari 110 bahasa daerah, 36 bahasa terancam punah dan satu sudah punah. Di Maluku, 22 bahasa terancam punah dan 11 sudah punah dari 80 bahasa daerah yang ada. Ancaman kepunahan cukup besar ada di Papua. Dari 271 bahasa yang ada di sana, 56 terancam punah.

Dalam konteks Indonesia, kata Arief, memang tidak ada bukti yang dapat dikemukakan bahwa kehadiran bahasa Indonesia ataupun bahasa lainnya, seperti bahasa Inggris, menyisihkan kedudukan bahasa daerah. Akan tetapi, ada indikasi atau kecenderungan pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk kepentingan tertentu—termasuk dalam pendidikan formal—membuat kedudukan bahasa-bahasa daerah menjadi lemah.

"Anak-anak sekolah digiring untuk beranggapan bahwa bahasa Indonesia dan (bahasa) Inggris menjadi superior dibandingkan dengan bahasa ibunya. Kondisi ini diperparah sikap orangtua di rumah yang juga tidak memakai bahasa daerah dalam berkomunikasi," jelas Arief.

Menurut Arief, perlu dibuat program-program penyelamatan bahasa daerah yang terancam punah melalui kegiatan-kegiatan strategis. Bahasa daerah juga perlu diberi peran yang berarti dalam kehidupan modern, termasuk pemakaian bahasa lokal pada kehidupan sehari-hari, perdagangan, dan pendidikan. (ELN)

Sumber: Kompas, Rabu, 23 Mei 2007

Tuesday, May 22, 2007

Wacana: Sejarah Terbelah, Sastra Jadi Perekatnya

-- M Shoim Anwar*

BARU-BARU ini Kejaksaan Agung mengeluarkan surat keputusan yang isinya menarik tiga buku pelajaran sejarah karena dinilai mengingkari fakta. Buku-buku tersebut tidak mencantumkan kata "Partai Komunis Indonesia/PKI" untuk peristiwa Pemberontakan Madiun 1948 dan Gerakan 30 September 1965. Buku-buku ini ditulis untuk Kurikulum 2004.

Tahun 2003 yang lalu buku Kaum Merah Menjarah (2001) karya Aminudin Kasdi juga secara diam-diam "ditarik" dari pasaran. Padahal, buku tersebut mengungkap dengan jelas aksi sepihak PKI/BTI di Jawa Timur tahun 1960-1965. Konon, buku ini ditarik karena tidak disukai oleh penguasa saat itu. Sementara, pada pertengahan tahun 1980-an, Nugroho Notosusanto saat menyusun buku sejarah nasional juga pernah mendapat reaksi keras karena dinilai tidak sesuai dengan fakta.

Pada awalnya sejarah adalah fakta. Tetapi, dalam perjalanannya, sejarah dapat berbias menjadi opini. Berbagai kepentingan didesakkan, sehingga pohon sejarah menjadi terlalu rimbun dengan berbagai cabang, ranting, dan dahan semu. Pijakan akar sejarah akhirnya menjadi goyah oleh berbagai tarikan kepentingan. Secara metodologis, mengungkap sejarah kontemporer, termasuk keberadaan PKI, sebenarnya lebih mudah. Tapi, politik dan kekuasaan selalu membelah wajah sejarah.

Penguasa memberi andil terbesar dalam perjalanan wajah sejarah. Tidak heran jika ada yang menyatakan bahwa sejarah adalah milik penguasa. Dengan berbagai motif dan kepentingan, sejarah direkayasa menjadi opini yang tendensius. Peristiwa semacam ini lebih banyak terjadi pada sejarah kontemporer yang para pelakunya masih banyak yang hidup. Mereka memperebutkan citra hero.

Pramoedya Ananta Toer membuat pembelaan dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995) untuk diri dan kelompoknya, Lekra, dalam peristiwa G30S/PKI. Sementara itu Taufiq Ismail dan DS Moeljanto dalam buku Prahara Budaya (1995) dan Katastrofi Mendunia (2004) menyodorkan bukti autentik tentang keterlibatan Lekra dalam tragedi sejarah tersebut. Terbitnya buku BJ Habibie, Detik-detik Yang Menentukan (2006) tentang peran Prabowo saat-saat reformasi juga menimbulkan perdebatan perihal sejarah kontemporer.

Peristiwa pemberontakan PKI memang fakta, tapi siapa saja dalang di balik peristiwa tersebut masih sering diperdebatkan. Buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai (1989) karya Soegiarso Soerojo, juga pernah menjadi perdebatan panjang. Bahkan, naskah asli Super Semar yang punya kaitan sejarah dengan pemberontakan PKI pun hingga kini tak jelas rimbanya. Akibatnya, opini tentang itu jadi makin melebar. Kepentingan politik telah membelahnya.

Memang, sejak reformasi bergulir, ada fenomena untuk membuka lembaran baru dalam kehidupan berbangsa, termasuk dalam menyikapi masa lampau. Tetapi, sejarah adalah sejarah. Fakta yang terjadi di masa lampau tidak boleh dibelokkan untuk kepentingan pragmatis. Bagaimanapun, generasi penerus harus mengetahui jejak-jejak kehidupan bangsanya yang terburuk sekali pun. Di beberapa negara lain, dokumen rahasia yang merupakan bagian dari sejarah bahkan boleh diungkap setelah berumur 50 tahun. Artinya, ada tanggung jawab untuk meluruskan jejak sejarah yang mungkin masih buram.

Sejarah adalah bagian dari ilmu sosial yang sulit menemukan kemapanan. Untuk itu, wacana sejarah kontemporer perlu mendapat sandingan sehingga fakta lebih mudah dikukuhkan. Taufiq Ismail, dalam kedua bukunya di atas telah mengumpulkan puisi para aktivis PKI, seperti Kusni Sulang, Wong Tjilik, Subronto K. Atmodjo, Mawie, Sobron Aidit, T Iskandar AS, Setiawan Hs, Virga Belan, Nusananta, Agam Wispi, dan Tobaga. Di antara puisi-puisi mereka ada yang judulnya khas simbol sosialis, seperti Kepalaku Marxis, Diriku Leninis; Leningrad, Penerbangan Malam ke Leningrad, Peking, dan Tafakur kepada Lenin.

Puisi-puisi mereka dengan jelas mengarah pada terjadinya provokasi dan pemberontakan PKI, kebanyakan dimuat koran Bintang Timur yang diredakturi oleh Pramoedya Ananta Toer. Salah satu puisi karya Mawie berjudul Kunanti Bumi Memerah Darah yang ditulis 21 Maret 1965 telah menampakkan citra kekerasan PKI:

bulan arit di langit
cinta dan kasih
bergelimpangan di jalanan
mawar dan wajah
menanti bumi memerah


Melalui teks-teks sastra, sejarah dapat dikuak secara lebih baik. Tulisan-tulisan Pramoedya yang dimuat di koran Bintang Timur telah menjadi bukti tak terbantahkan aliran politik Pram. Teks sastra telah memberikan kesaksian pada zamannya. Itulah sebabnya Umar Kayam sangat tergoda untuk mengangkat peristiwa yang berkaitan dengan pemberontakan PKI ke dalam karya sastranya, seperti cerpen Sri Sumarah, Bawuk, Musim Gugur Kembali di Connecticut (1975), serta novel Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (2000).

Dalam Para Priyayi, Umar Kayam memberi gambaran prototipe aktivis PKI lewat tokoh Retno Dumilah (Gadis) --anggota Gerwani-- yang keras, progresif, sengit, dan suka mengganyang lawan dan organisasi lain. Melalui tokoh ini kita tahu kecenderungan politik PKI yang keras sehingga menyeret tokoh Harimurti dalam keterpengaruhannya. Pada Bawuk, lewat tokoh Hasan dan Bawuk, juga dapat diketahui sepak terjang keorganisasian PKI hingga meletusnya pemberontakan di Madiun. Penggayangan oleh PKI ditulis pula oleh Satyagraha Hoerip lewat cerpen Pada Titik Kulminasi (1966).

Ahmad Tohari lewat novel Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Jantera Bianglala (1986) dan Lintang Kemukus Dini Hari (1988) juga merekam peristiwa pemberontakan PKI lewat sisi kemanusiaan. Dalam Kubah terlihat sekali pemikiran dan provokasi tokoh Margo sebagai pengikut PKI yang menyeret tokoh Karman untuk ikut bergabung. Karakter Margo senada dengan Retno Dumilah dan Hasan pada karya Umar Kayam. Mereka adalah motor PKI.

Agak berbeda dengan sejarah, sisi kemanusiaan dalam tokoh sastra mendapatkan perhatian secara lebih utuh. Tokoh-tokoh yang menjadi korban sejarah mendapat penekanan. Tokoh Srintil, dalam tiga novel Ahmad Tohari yang disebut terakhir, adalah contoh figur yang menjadi korban permainan politik PKI, mirip seperti nasib tokoh Karman. Figur-figur yang mengalami keterpengaruhan PKI juga digambarkan Umar Kayam lewat tokoh Sri Sumarah, Bawuk, Harimurti, dan Eko.

Sisi kemanusiaan dalam kaitannya dengan pemberontakan PKI juga ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma lewat novel Kalatidha (2007). Dalam karya Seno ini bahkan dikisahkan hingga kejatuhan Soeharto.

Sastra memang memiliki kaitan erat dengan sejarah dan perpolitikan suatu bangsa. Pemberian hadian nobel sastra, sampai hari ini, masih ada kecenderungan untuk dikaitkan dengan hal tersebut. Itulah sebabnya meski sudah beberapa kali masuk nominator penerima hadiah nobel sastra, sampai akhir hanyatnya Pramoedya belum juga berhasil. Meski karyanya dinilai bagus, Pram juga dinilai memiliki hutang kemanusiaan ketika dia bergerak di dunia politik-kebudayaan yang pernah menindas sesamanya.

Posisi tokoh atau pelaku sejarah dalam kehidupan nyata mungkin akan sering berubah. Politik dan kekuasaan membuat mereka selalu dalam proses ketegangan. Pergantian posisi kawan dan lawan akan terus membelah wajah sejarah. Buku sejarah mungkin masih akan sering berubah. Tetapi, karya sastra yang telah merekam perjalanan wajah sejarah tak akan berubah. Itulah sebabnya, ketika sejarah terbelah, sastra akan jadi perekatnya.

* M Shoim Anwar, Sastrawan dan pengajar sastra

Sumber: Republika, Minggu, 20 Mei 2007

Saturday, May 19, 2007

Esai: Arsenal Utama yang Terlupa

-- Radhar Panca Dahana*

SEMBILAN tahun reformasi berlalu dan Orde Baru tumbang ternyata masih meninggalkan banyak pesimisme di berbagai kalangan. Kritik dan keluhan banyak dilontarkan pada merosotnya kemampuan produksi, daya saing, kreativitas, dan kualitas produk-produk unggulan negeri ini.

Biar tercatat sedikit kemajuan, ia tidak cukup signifikan untuk mengangkat standar hidup, terutama di kalangan rakyat kecil, ke tingkatan yang sama dengan negara-negara tetangga, bahkan pada level yang pernah dicapai pemerintahan Soeharto. Apa yang kini menjadi bahan keributan utama justru urusan-urusan politik, atau segala macam persoalan yang dipandang dari kepentingan politis.

Hal itu tak hanya membuat kita menderita mental "kalahan", sampai tak mampu berbuat apa-apa ketika beberapa potensi utama bangsa ini "dirampok" atau dipatenkan oleh pihak asing, di mana mereka mengomersialkannya secara global tanpa sisa keuntungan sedikit pun untuk kita.

Dominasi kepentingan politis itu membuat kita lupa pada satu kekuatan utama, yang—dalam sejarah panjang negeri ini—justru membuat bangsa mana pun respek, bahkan mengapresiasinya dengan kekaguman. Di kala semua komoditas ekonomi, sosial, dan politik kita mengalami inflasi di tingkat global, potensi inilah satu-satunya yang dapat mempertahankan nilai dan mutunya.

Mesti diakui, potensi dan produk yang satu ini pula yang selama ini berhasil menjaga wibawa, meningkatkan "harga", bahkan mendukung—langsung dan tak langsung—sukses diplomasi kita. Potensi itu tidak lain adalah karya kreatif, artistik pada khususnya. Kita menyebutnya karya seni dan kesenian.

Bahkan, sebelum negeri ini secara modern terbentuk dan diakui, kesenian negeri kepulauan ini telah sukses. Tak hanya menerima aplaus, tetapi juga menanam pengaruh yang tajam di beberapa seniman legendaris dunia. Sejak dari masa Raden Saleh, kekaguman Rabindranath Tagore (yang menolak menyatakan Borobudur adalah karya seni derivatif dari India), hingga Claude Debussy, Antonin Artaud, atau Peter Gabriel—antara lain—yang konsep-konsep jenial mereka "meminjam" atau dipengaruhi oleh kekaguman dan studi mereka pada kesenian di kepulauan ini.

Dan itu berlaku hingga hari ini.

Senjata budaya

Betapa pun, dahulu Soekarno—sebagai presiden pertama Indonesia—memiliki perhatian begitu besar pada kesenian. Begitu pun KH Abdurrahman Wahid, presiden keempat, memiliki keterlibatan kental dengan hidup kesenian. Akan tetapi, tetap saja seni sebagai sebagai "kekuatan"—kultural, ekonomis, juga politis—belum diperhitungkan dalam strategi besar kita dalam bernegara.

Berbagai kebijakan perihal kesenian hingga di kabinet "SBY", sebagaimana tertuang dalam kebijakannya di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, masih tetap melihat peran kesenian secara minor, jika tidak termarjinalisasi, dibandingkan sektor-sektor lainnya. Pemahaman akan kesenian lebih didominasi oleh pertimbangan ekonomis: sebagai salah satu sektor penghasil keuntungan finansial.

Pandangan tersebut tidak seluruhnya keliru. Namun, tentu, ia tidak harus menafikan potensi kesenian dalam menciptakan fungsi dan peran yang jauh lebih kuat dan lebih luas dari itu. Dibandingkan dengan nama-nama besar dalam dunia politik dan diplomasi kita, mulai dari Soekarno, Agus Salim, hingga Adam Malik, Soeharto hingga Gus Dur, dan presiden incumbent kita sekarang ini, banyak nama dalam kesenian Indonesia yang memperoleh penghargaan dan kehormatan setara di dunia internasional.

Katakanlah nama Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar (yang masuk dalam ensiklopedia resmi Perancis dan Rusia, misalnya), Mochtar Lubis, Rendra, Putu Wijaya, Sardono W Kusumo hingga belakangan Rahayu Supanggah, Garin Nugroho, dan masih banyak nama lagi. Penghargaan internasional banyak diraih tokoh-tokoh kesenian, bahkan di saat citra Indonesia—secara sosial, politik, dan ekonomi—terpuruk.

Itu pun belum memperhitungkan karya-karya kreatif lain yang bersifat kolektif dan anonim, baik yang modern, tradisional, maupun yang primitif. Dibandingkan dengan sektor-sektor hidup lain, bukti dan potensi ini sesungguhnya dapat menjadi kekuatan pendamping, bahkan senjata utama, dalam usaha diplomasi atau penegakan posisi tawar Indonesia di mata dunia.

Sayangnya, masih banyak pengambil kebijakan yang memandangnya sebelah mata. Itu karena mereka tak mengenalnya dengan baik atau telanjur terkena stigma negatif akibat latar historis seni yang buruk atau perilaku yang kadang terpandang "eks-sentris", urakan bahkan asosial.

Potensi raksasa

Satu hal lagi yang terlupa dari potensi kesenian sebagai produk budaya adalah kemampuannya dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara sangat signifikan. Hal ini terbukti di Inggris, negeri yang pada tahun 1990-an awal disebut sebagai "negara ketiga Eropa" secara ekonomis karena kekalahannya dalam industri berat, terutama setelah ekspansi macan-macan Asia, seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan India belakangan.

Tahun 1998, Pemerintah Inggris melakukan pemetaan yang komprehensif mengenai potensi ekonominya. Mereka menemukan ternyata sektor (industri) kreatif, termasuk musik—yang sampai 1997 dipandang sebelah mata—telah memberi sumbangan sangat signifikan dan pertumbuhan ekonomi mereka. Data itu membuat para pengambil kebijakan memberi fokus yang lebih kuat pada industri budaya tersebut.

Hasilnya, industri kreatif Inggris—seperti kriya, desain, busana, film, televisi, musik, seni pertunjukan, iklan, arsitektur—menciptakan pertumbuhan rata-rata 9 persen per tahun, tiga kali lebih pertumbuhan ekonomi nasionalnya yang hanya 2,8 persen. Tahun 2003 ia menyumbang 8 persen dari PDB Inggris (121,6 miliar pound) dan 15 persen dari nilai ekspornya. Ia menjadi sumber penghasilan kedua setelah jasa perbankan, dan merekrut tidak kurang dari dua juta tenaga kerja.

Di bagian lain dunia, kita tahu, bisnis serupa merupakan penghasil uang terbanyak di Amerika Serikat, setelah bisnis senjata. Di Singapura ia menyumbang 5 persen dari PDB dengan pertumbuhan annual 10 persen. Di Kolombia, 4 persen PDB dan jauh lebih tinggi dari produk unggulan mereka: kopi.

Di Indonesia, potensi itu begitu meraksasa. Bukan hanya karena pengenalan dunia pada kreativitas seniman kita yang tinggi dan penuh ide, tetapi juga fakta-fakta kecil, seperti 1.500 gerai pakaian independen ("distro") di Jakarta, Bandung, Yogya, Medan atau Surabaya, yang memberi penghasilan pada pengusaha muda hingga 75.000-100.000 dollar AS tiap bulannya.

Belum lagi kreativitas seniman muda kita dalam semangat DIY (Do It Yourself)-nya, yang juga mampu menembus pasar internasional di bidang game dan animasi. Bahkan, dalam permebelan global muncul merek Chamdani, perusahaan lokal yang semula bernama Alam Calamus.

Raksasa tidur

Contoh kecil di atas masih tak bisa menutupi kenyataan bagaimana sentra-sentra industri kreatif, kota-kota atau komunitas dengan kekayaan artistik dan produk budayanya, seperti batik, lukisan, patung, musik, seni pertunjukan, furnitur, hingga arsitektur, masihlah kembang kempis hidupnya, sebagaimana UKM pada umumnya.

Karya-karya mereka begitu kaya dan unik, tetapi selalu gagal pada tahap komersialisasi atau industrinya. Banyak yang kemudian menjadi korban pembajakan dan "perampokan" potensi ekonominya. Posisi mereka begitu lemah bahkan subordinat di antara kapital besar. Sementara bukan hanya birokrasi pemerintah, para elite, melainkan juga pihak swasta (perbankan antara lain) tak berhasil memandang kekuatan gigantik dari raksasa tidur itu.

Pihak kreator dan senimannya sendiri kerap bereaksi secara pasif dan defensif, seperti Putu Wijaya yang pernah menyatakan, "Biarlah mereka merampok satu-dua, bahkan sepuluh-dua puluh ide kita, karena kita masih menyimpan seribu dalam kepala." Sikap ini memang mengundang decak kekaguman walau juga menyiratkan kenaifan dan semacam kepasrahan.

Padahal, Putu sendiri, dengan gaya teatrikal eksperimental tahun 70-annya saja, masih mampu meraih penghargaan tertinggi dalam festival teater eksperimental internasional di Cairo, tahun lalu. Dan masih banyak putu-putu lain, yang tak cukup menyadari, betapa mereka sesungguhnya adalah panglima besar yang dapat menjadi loko bagi perkembangan bangsa ini di semua lini.

Karena, mereka memiliki satu hal yang khas: karya kreatif. Sebuah arsenal yang begitu utama, tetapi kita melupakannya. Maka, siapa pun jenderal dan prajurit negeri ini pasti menderita rugi bila mereka lupa diri dan tenggelam melulu dalam statistik serta indikator politik-ekonomi, yang sebenarnya sudah bisu dan basi.

* Radhar Panca Dahana, Sastrawan Tinggal di Tangerang

Sumber: Kompas, Sabtu, 19 Mei 2007

Friday, May 18, 2007

Seriusi Pembajakan Buku: Ikapi Meminta Pemerintah Benar-benar Memiliki Komitmen Politik

Jakarta, Kompas - Kalangan penerbit buku yang tergabung dalam Ikatan Penerbit Buku Indonesia atau Ikapi kembali meminta pemerintah agar benar- benar serius menangani pembajakan buku yang merugikan industri perbukuan di Tanah Air.

"Selain berdampak terhadap menurunnya minat penerbit untuk menerbitkan buku-buku berkualitas, pembajakan buku yang merajalela juga sudah sampai memengaruhi kepercayaan penerbit buku di luar negeri yang bukunya hendak diterbitkan di Indonesia," kata Ketua Ikapi Cabang DKI Jakarta Lucya Andam Dewi, Rabu (16/5) di Jakarta.

Oleh karena itu, Ikapi meminta pemerintah benar-benar memiliki komitmen politik yang tinggi dalam menghadapi pembajakan buku yang sudah berkembang menjadi industri yang hanya mengejar keuntungan. Selain penegakan hukum yang memberi efek jera kepada para pembajak, juga sudah saatnya pemerintah menciptakan infrastruktur yang memudahkan masyarakat mengakses buku yang murah.

Kegiatan pembajakan buku yang terus merajalela itu kembali terungkap berkat keberhasilan Tim Penanggulangan Masalah Pembajakan Buku (PMPB) Ikapi DKI Jakarta yang menggagalkan pembajakan salah satu buku terjemahan yang sangat laris, The Da Vinci Code, karangan Dan Brown sebanyak 1.840 eksemplar.

Ribuan buku bajakan yang hak penerbitan sahnya dimiliki Penerbit Serambi itu ditemukan saat dalam proses penjilidan kulit muka buku yang dilakukan di Sejahtera Printing, Jalan Kalibaru Timur Dalam, Jakarta Pusat. Namun, hingga sejauh ini pemesan dan perusahaan pencetak buku bajakan itu belum diketahui.

Pada Februari lalu, Tim PMPB juga berhasil menggerebek perusahaan penerbitan PT Samudra Jaya di Bekasi, yang membajak buku-buku teks terbitan dalam dan luar negeri, yang nilainya mencapai miliaran rupiah.

"Pembajakan buku sudah sangat memprihatinkan penerbit buku dan penulis. Tentu kami tak mau tinggal diam. Setidaknya, kami akan terus meminimalkan pembajakan buku dan ini butuh dukungan dari pemerintah dan masyarakat," kata Lucya.

Menurut dia, keberhasilan Ikapi mengungkap pembajakan buku ternyata berpengaruh terhadap kepercayaan penerbit luar negeri. Seperti penerbit Amerika Serikat dan Singapura, mereka akan ikut mendesak Pemerintah Indonesia agar memberikan perhatian terhadap masalah pembajakan buku.

Kredibilitas dipertaruhkan


Husni Syawie, Direktur Penerbit Serambi, mengatakan, penerbit buku asing—terutama yang bukunya masuk dalam kategori best seller—tentu bertanya-tanya jika penjualan buku mereka di Indonesia tidak bagus. Buat penerbit sendiri, selain kerugian material yang bisa mencapai miliaran rupiah karena harus membayar lisensi, penerjemahan, dan sebagainya, yang paling utama adalah kredibilitas.

"Tidak semua buku yang diterbitkan itu bisa untung. Jika ada buku best seller bisa terjual itu bagus. Keuntungannya untuk menutup kerugian yang lain supaya penerbit bisa terus berkarya. Dengan pembajakan yang merajalela, masuk akal jika penerbit berpikir keras untuk mau mengambil risiko menerbitkan buku yang berkualitas," kata Husni.

Awod Said, Ketua Kompartemen Organisasi Hubungan Kelembagaan, Hukum, dan Hak Cipta Ikapi, mengatakan, meskipun pembajakan buku tidak sebesar peranti lunak atau musik, pemerintah juga perlu memerhatikan hak intelektual buku. Lebih penting lagi, pemerintah menciptakan infrastruktur untuk memudahkan masyarakat mengakses buku murah.

Menurut Awod, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah. Hal itu di antaranya dengan tak menerapkan pajak untuk buku yang ada kaitannya dengan pendidikan, penyediaan kertas yang murah, memperbolehkan fotokopi buku-buku teks tetapi hak royalti penulis atau penerbit tetap dijamin. (eln)

Sumber: Kompas, Jumat, 18 Mei 2007

Tuesday, May 15, 2007

Indonesia Bangsa yang Santun dalam Tradisi Berbahasa: Ritus Kehidupan di Festival Pantun Nusantara 2007

Jakarta, Kompas - Pada dasarnya bangsa Indonesia memiliki cita rasa yang tinggi dalam tradisi berbahasa. Bisa dipahami bila pada banyak daerah di Nusantara, tradisi kritik-mengkritik yang disampaikan pun tetap mempertimbangkan aspek kesantunan.

"Dalam konteks budaya Indonesia, salah satu sumber berbahasa dengan santun dapat diambil dari berbagai pantun sebagai inspirasi," kata Pudentia, Ketua Asosiasi Tradisi Lisan, Senin (14/5), terkait rencana pergelaran Festival Pantun Nusantara 2007 dalam waktu dekat.

Festival itu sendiri, menurut Pudentia, akan dikemas sebagai seni pertunjukan dengan tema besar terkait ritus kehidupan. Sedikitnya 12 daerah sudah menyatakan siap berpartisipasi dengan tradisi berpantun mereka yang menggambarkan mulai dari saat manusia di kandungan hingga pantun-pantun yang tersaji pada upacara kematian.

Festival pantun ini merupakan salah satu program Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, bekerja sama dengan ATL; Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB-UI), serta para seniman yang akrab dan kerap mendukung kegiatan seni pertunjukan di Tanah Air.

Sumber keteladanan

Menurut Pudentia, pemerolehan berbahasa yang santun tidak dengan serta-merta dapat dilakukan dan didapatkan oleh seseorang. Sebab, kebiasaan sejak dini dan lingkungan sosial masyarakat akan banyak menentukan pola berbahasa seseorang.

"Bagaimana keefektifan bahasa sebagai sarana komunikasi akan berperan dalam penyampaian gagasan, pikiran, dan perasaan sudah terbukti dan tak perlu lagi diperdebatkan. Namun, yang perlu diingat, bahasa yang baik tidak saja karena konstruksi tata bahasanya benar, tetapi juga karena disampaikan dengan cara yang tepat, sesuai dengan situasi, kondisi, dan sasaran pembicaranya," papar Pudentia, yang sehari-hari adalah staf pengajar di FIB-UI.

Dalam beberapa tahun terakhir muncul gejala, dalam peristiwa politik, misalnya, masyarakat Indonesia mulai mengabaikan aspek kesantunan dalam menyampaikan pikiran dan gagasannya. Bahasa yang digunakan cenderung vulgar, bahkan terkesan kasar, jauh dari sifat dasar pola berbahasa orang-orang Indonesia pada umumnya yang penuh kesantunan.

"Festival pantun yang direncanakan digelar bulan Oktober nanti adalah salah satu upaya untuk mengingatkan kita semua bahwa sifat kesantunan dalam berbahasa itu ada di hampir setiap daerah di Nusantara," ujar N Riantiarno, dramawan yang ikut terlibat dalam persiapan festival ini.

Karena sifat kesantunan dalam ragam pantun Nusantara, kata Pudentia, apa yang diungkapkan pun hampir tidak pernah melukai hati meski yang itu dimaksudkan sebagai kritikan. Karena itu, tak aneh bila pantun dapat digunakan dalam berbagai kesempatan.

"Menyampaikan gagasan, pikiran, dan perasaan dengan cara yang santun, tetapi tepat dan sekaligus indah dapat dijadikan sebagai salah satu kebanggaan bangsa, sekaligus juga kekuatan bangsa," kata Pudentia. (ken)

Sumber: Kompas, 15 Mei 2007

Monday, May 14, 2007

Esai: Hak Masyarakat atas Akses Informasi

-- Udo Z. Karzi dan Andri Saputra*

DALAM sebulan terakhir, kehidupan birokrasi di Kotawaringin Barat menunjukkan gejala yang kurang bersahabat. Sejumlah pejabat menolak diwawancarai dengan alasan yang beragam. Anehnya, sikap ini ditunjukkan setelah pers memublikasikan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai penyimpangan anggaran yang terjadi di beberapa instansi.

Aneh bin ajaib jika ada pejabat yang mengatakan menerima atau menolak diwawancarai dengan atau tanpa alasan sebagai sebuah hak asasi pejabat yang bersangkutan. Mana bisa seorang ketua lelang mengaku tidak mengetahui daftar nama proyek; seorang pejabat mengaku tidak ikut rapat, padahal jelas-jelas ia menjadi peserta rapat.

Kita menjadi bertanya-tanya ‘hak asasi’ semacam apa yang membenarkan pejabat berwewenang atau yang paling berkompeten dengan urusan pemerintahan dan pembangunan kok malah tutup mulut. Pejabat toh pemimpin rakyat yang kebetulan mendapat amanah mengepalai atau menjadi ketua sebuah dinas/badan/institusi atau bagian/subbagian/seksi dalam institusi (organisasi) pemerintahan daerah.

Jelas dan gamblang pejabat (pemimpin) atau bahkan pegawai terendah di Pemkab Kobar menjalankan kegiatan pemerintahan dan pembangunan untuk tujuannya, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, di antaranya yang terpenting, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyejahterakan masyarakat. Tidak pada tempatnya pejabat menjadi tertutup dengan informasi kepada rakyat (Warga Negara Indonesia). Dan, koran sebagai media publik menjalankan peran itu, yaitu membuka akses sebesar-besarnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi.

Paradigma yang dianut birokrasi itu yang harus dibalik. Yang punya hak asasi itu adalah warga (publik). Tegasnya, pejabat dilarang menyimpan informasi. Apa lagi yang terkait dengan kepentingan publik. Tidak ada argumen pemerintah bagi pemerintah secara sengaja menggunakan kekuasaan untuk membatasi hak-hak publik dalam memperoleh informasi.

Menjadi soal ketika pejabat (termasuk dalam hal ini para legislator) dengan gampang berkata, saya tidak bisa bilang, ini ‘rahasia negara’. ‘Rahasia negara’, kata dia, tetapi sesungguhnya karena ada kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu. Yah, sudah menjadi rahasia umum kalau yang namanya penguasa itu suka berkongkalikong atau bahasa resminya KKN dengan pengusaha.

‘Kepentingan’ kelompok inilah yang hendak dilindungi oleh kata-kata ‘rahasia negara’ atau ‘saya tidak berkompeten untuk bicara’ itu. Jelas, pejabat tertutup karena memang takut ‘rahasia pribadi’ atau ‘rahasia atasan’ (bukan rahasia negara) terbongkar. Padahal, ini bukan zamannya lagi. Kalau memang good governance, clean government, transparansi, akuntabilitas, profesionalisme benar-benar mau dijalankan -- sekali lagi -- tidak ada argumen yang tepat untuk mengelak dan menutup diri terhadap kerja pers.

Soalnya konsep-konsep penyelenggaraan pemerintah yang baik yang dikemukakan tadi; memerlukan satu syarat terbuka terhadap informasi. Bagaimana bisa dikatakan good goverment jika publik tidak mempunyai jalan untuk menilai? Bagaimana clean government kalau jalannya pemerintah justru serbarahasia? Bagaimana akuntabilitas jika pejabatnya suka bohong? Lalu, transparan bagaimana kalau masih suka ketertutupan? Kok bisa mau dikatakan profesional kalau tidak paham pada apa yang dilakukan (kegiatan pemerintahan dan pembangunan)?

Pers sebagai pilar keempat demokrasi, setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif, telah menyediakan diri menjadi sarana untuk mewujudkan apa yang digembargemborkan sebagai good governance, termasuk clean government, akuntabilitas, dan sebagainya yang menjadi bagian dari good governance itu.

Saat inilah Pemkab Kobar sebagai pihak yang mendapatkan amanat masyarakat membuktikan komitmennya untuk mewujudkan tujuan pemerintahan, yaitu antara lain meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan rakyat. Karena esensi segala kegiatan pemerintahan dan pembangunan diarahkan kepada kepentingan rakyat banyak dan bukan untuk segelintir orang/golongan yang sedang berkuasa atau yang berharta; maka ‘tidak boleh ada dusta di antara kita’.

Semua terbuka, semua transparan; tidak boleh ada yang dirahasiakan. Lebih dari itu pejabat daerah tidak boleh antikritik. Jangan pernah meremehkan masyarakat yang sudah melek informasi, dan menganggap mereka tidak (boleh) tahu apa-apa. Menutup diri justru akan semakin menguatkan dugaan bahwa pemerintah kita alergi terhadap kritik. Semestinya, pemerintah legowo terhadap berbagai kritik yang disampaikan publik.

Sikap serba tertutup para pejabat, justru menjadi penyemangat bagi kerja jurnalis dan menantang bagi upaya ‘membongkar kebobrokan birokrasi’. Pers, kata Goenawan Mohamad, memang bukan satu-satunya kebenaran, tetapi dia akan terus-menerus mengupayakan kebenaran.

Sederhana saja, kalau tidak salah, mengapa pejabat takut berbicara di koran. Atau, jangan-jangan ketertutupan para pejabat, sesungguhnya untuk menyembunyikan ‘ketidakbecusan’ menjalankan roda pemerintah.

Apanya yang transparan, kalau begitu?

* Udo Z. Karzi dan Andri Saputra, keduanya jurnalis

Langkan: Gus tf Sakai di "Apresiasi Reboan" FIB UI

Kumpulan cerpen terbaru peraih Southeast Asian (SEA) Write Award tahun 2004 dari Indonesia, yaitu Gustrafizal—atau lebih dikenal dengan Gus tf Sakai (ketika menulis prosa) atau Gus tf (ketika menulis puisi)—akan diperbincangkan dalam forum Apresiasi Reboan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI). Perantau, yang merupakan kumpulan cerpen ke-4 Gus tf Sakai, akan dibahas oleh Sunu Wasono (pengajar FIB UI) dan Ibnu Wahyudi (pengajar FIB UI). Adapun Gus tf Sakai sendiri dijadwalkan akan hadir dan mengungkapkan proses kreatif maupun hal-hal yang bersinggungan dengan kumpulan cerpen terbarunya itu. Acara yang merupakan kegiatan rutin dua kali sebulan ini, yang diberi nama Apresiasi Reboan, kali ini terselenggara berkat kerja sama Program Studi Indonesia FIB UI dengan Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Untuk diskusi karya penerima penghargaan Hadiah Sastra Lontar tahun 2001, penghargaan Pusat Bahasa tahun 2002, penghargaan Sih Award dari Jurnal Puisi tahun 2002 itu dilaksanakan pada hari Rabu, 16 Mei 2007, pukul 13.00-15.00, di Ruang Serbaguna II (Ruang 4101) FIB UI Depok. Diskusi terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya. (*/ine)

Sumber: Kompas, Senin, 14 Mei 2007

Sunday, May 13, 2007

Horison: Tragedi Buyat dalam Foto dan Puisi

-- Burhanuddin Bella

PANTE Lakban, Minahasa Selatan, 25-26 Juni 2006. Sebanyak 68 kepala keluarga memilih eksodus, meninggalkan desa mereka. Dibalut duka, mereka menempuh perjalanan kurang lebih 130 km menuju Desa Duminanga, Bolaang Mongondow. Hari berganti, tapi roda kehidupan tak mesti berhenti di sana.

Denny SE Taroreh -- penggemar fotografi lulusan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi -- bersama Jamal Rahman (wartawan Harian Suara Kita Manado), hadir di sana. Denny membidikkan kameranya, Jamal mengamati.

Dua buku foto-puisi pun terbit dalam episode yang berbeda itu, Sepenggal Kisah Anak Buyat: Eksodus ke Tanah Harapan, dan Buyat: Hari Terus Berdenyut.

Di sana, kala itu, sangat mungkin ada masalah. Tapi di sini, di buku ini, tidak membahas masalah yang ada. Denny menyajikan rekaman peristiwa dua hari itu dengan kamera dan memilahnya dalam dua bagian: Pante Lakban (desa asal) dan Duminanga (tanah harapan). Ia menangkap dua hal dari situ: anak-anak dan kepedihan.

Lihatlah sampul buku setebal 88 halaman yang diterbitkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) ini. Seorang anak berbaju kembang lengan panjang duduk termenung. Tangan kanannya dilipat menyilang hingga memegang lutut kirinya. Tangan yang lain diangkat ke muka, nyaris menyentuh bibirnya yang mungil.

Di depannya tampak bangunan rumah yang tak beraturan -- nyaris rubuh -- tapi bola matanya tidak sedang mengarah ke sana. Denny seakan membiarkan gambar itu 'liar', melepaskan orang yang memperhatikan berdiri dalam tafsir masing-masing.

Pada gambar yang sama di dalam buku itu, Jamal Rahman menorehkan puisinya:

bahwa kemarin aku
senang ikut ayah melaut
karena yakin
kami bisa selalu kembali

bahwa kini aku meratapi puing-puing ini
bukan sedih, namun sepi membayangi
bahwa besok, aku mungkin memilih di sini
hanya ingin mengulang kembali
walau tahu itu tak pasti
(hal. 17)

Duminanga, tanah harapan. Sebuah perahu tertambat di pantai, tanpa awak. Langit biru, sebiru air laut membujur nun jauh di sana. Di situ Jamal juga menuliskan puisinya:

kami telah tiba
dengan memendam luka itu
di sini, keringat
segera menetesi tanah
yang sejak kemarin
telah membasahi air muka
wajah pribumi
Selamat datang
di dunia beban!
(hal.63)

Denny mengakui, apa yang disajikan dalam buku ini, bukanlah cerita keseluruhan dari tragedi di Buyat. Ini hanyalah sepenggal kisah tentang eksodus sebagian besar warga Buyat yang bermukim di Desa Pante Lakban menuju Desa Duminanga. Dalam pengantar bukunya, Denny menulis, ''Walau kontraversi tentang Teluk Buyat sudah berlangsung lama, namun perjalanan ini merupakan kali pertama saya menyapa tempat yang ternyata tidak lebih bagus dari Pante Tasikoki -- tempat saya keseharian. Anehnya, kedatangan saya ke Buyat justru saat orang-orang di sana memutuskan untuk pergi.''

Masa eksodus usai, beberapa hari berselang. Denny -- juga Jamal -- datang lagi ke Buyat Pante. Lagi-lagi Denny memotret, Jamal mengamati. Mereka menemukan tidak semua warga ramai-ramai menuju tanah harapan. Sebagian yang eksodus kembali lagi ke tanah semula. Mereka menemukan denyut nadi warga masih berdetak, roda kehidupan masih berputar.

Denny merekam aktivitas nelayan yang melaut, warga yang ramai-ramai menggotong ikan hasil tangkapan, anak-anak bermain lepas, alas kaki bertumpuk dekat pintu musalah. Seperti perjalanan sebelumnya, Denny kembali membingkai rekaman gambar-gambar itu dihiasi goresan puisi Jamal. Sebuah buku foto-puisi kembali lahir dari tangan keduanya, Buyat: Hari Terus Berdenyut, diterbitkan oleh Banana.

Ada anak yang membantu orangnya tuanya mendorong perahu ke tepi pantai, ada bocah kecil memperbaiki ban mobil-mobilan yang terbuat dari karet, ada wajah-wajah tersenyum di balik jendela bersama seorang anak di sebelahnya yang tampak malu-malu, seakan mengisap jempol tangannya.

Lohat pula sebuah perahu yang tertambat di pantai. Bocah-bocah kecil bermain riang di sisi sebelah angkutan laut itu. Sang kakak memeluk adik sembari mengangangkat telunjuk dan jari tengah, seorang bocah lainnya memegang dagu dengan sebelah tangan menunjuk.

Di situ Jamal menggoreskan puisinya:

sekelompok burung camar
membuat aku belajar
seolah semua datang
pula pergi begitu saja
tapi di pelataran bumu mana pun
tak ada yang benar-benar sendiri
setidaknya hamparan pasir
masih setia dipijaki
juga ombak tak jemu
mencandai jemari.


Sebuah gambar berbicara seribu kata, kata orang. AS Laksana -- yang memberi pengantar buku ini -- pun menyadari, buku ini tak diniatkan berurusan dengan proses hukum yang terjadi di sana. Bagi AS Laksana, ia hanyalah secuil upaya untuk mewakili ketidakhadiran kita, sebuah ikhtiar untuk meringkas jarak dan mendekatkan kita pada apa yang saat ini berlangsung di sana.

Tentu, dia melanjutkan, ada pesan di dalamnya, ada upaya menyampaikan sesuatu melalui gambar-gambar yang disajikan. ''Dan dalam banyak kesempatan, Anda tahu, foto adalah alat yang efektif untuk menyampaikan pesan.''

Sebagai penulis, AS Laksana mengaku cemburu pada fotografer. Dia bilang, ''Seorang fotografer yang cermat saya kira adalah orang yang memiliki kesabaran, ketajaman intuisi, dan nasib baik untuk mengabadikan momen-momen langka.''

Dengan kameranya, menurut dia, seorang fotografer mewakili orang lain yang mungkin sibuk dengan urusan sehari-hari sehingga abai pada persoalan-persoalan kemanusiaan yang jaraknya ribuan kilometer. ''Ia mengajak kita merasakan denyut kehidupan yang terjadi di tempat-tempat jauh,'' tulisnya.

Denny SE Taroreh, pria kelahiran Manado, 10 September 1973 ini, mengambil peran itu. Denny memperpendek jarak, mendekatkan kita dengan Buyat. Ia datang saat warga memilih eksodus, ia ke sana setelah itu. Buku Eksodus ke Tanah Harpan dan Buyat: Hari Terus Berdenyut menjadi indah dengan bait-bait puisi Jamal Rahman.

Sumber: Republika, Minggu, 13 Mei 2007

Wacana: Menuju Komunitas Sastra-Budaya Nusantara

-- Viddy AD Daery*

KOMUNITAS Sastra Indonesia (KSI) sudah banyak dikenal. Tapi, apakah sudah ada yang mengenal keberadaan komunitas sastra-budaya Nusantara?

Sudah dapat dipastikan tidak ada yang tahu, karena sebenarnya secara de jure terbentuk. Tetapi, secara de facto, komunitas yang mencoba menggalang hubungan timbal-balik dan kerjasama sastra dan budaya Nusantara itu sudah ada. Hanya saja belum mempunyai wadah resmi secara organisatoris.

Ide untuk membentuk semacam jaringan atau komunitas sastra se Nusantara (baca: Asia Tenggara) sebenarnya sudah sempat mengemuka di kalangan pengurus KSI. Pembentukan komunitas -- yang idenya bermula dari penyair Ahmadun Yosi Herfanda -- itu bahkan sudah menjadi agenda penting Jambore Sastra Asia Tenggara yang rencananya akan diadakan tahun 2006 di Pantai Anyer, Banten. Tapi, acara itu tertunda oleh Pilkada Banten 2006, dan sampai saat ini belum diagendakan kembali.

Kebetulan sekali, pada 25-28 Mei 2007, di Medan akan digelar The 1st International Poetry Gathering, yang mayoritas pesertanya berasal dari negara-negara di wilayah Nusantara. Kiranya sangat tepat, kalau pada acara yang dilaksanakan oleh Laboratorium Sastra Medan itu juga diagendakan pembetukan semacam jaringan atau komunitas sastra-budaya se Nusantara.

Misalnya, disepakati nama dan pengurus inti atau formaturnya dulu, lalu dideklarasikan. Sedangkan kelengkapan pengurus, program dan tetek bengeknya, sesuai usul Ahmadun, bisa dimatangkan dalam 'kongres pertama' (misalnya, Kongres Komunitas Sastra-Budaya Nusantara I) yang kita harapkan dapat dilaksanakan di tengah Jambore Sastra Asia Tenggara di Anyer, Banten, yang juga kita harapkan dapat direalisir pada tahun 2008.

Wilayah Nusantara tentu tidak hanya Indonesia. Wilayah Nusantara atau yang disebut oleh pujangga penyair besar zaman Mojopahit, Empu Prapanca, sebagai Wilayah Yang Delapan dimulai dari Tanah Genting Kra sampai Pattani (kini disebut Thailand selatan), lalu Hujung Medini (kini Malaysia bagian Semenanjung), Temasik (kini Singapura ), Baruna Dwipa (kini menjadi wilayah Brunei, Sabah-Malaysia, Labuan-Malaysia dan Kalimantan-Indonesia).

Selanjutnya, adalah Sulu dan Manila (kini Filipina), lalu Timor (kini Timor Leste dan Timor-Indonesia), dan keseluruhan wilayah Indonesia tanpa kecuali. Saat dikuasai oleh Majapahit, keseluruhan wilayah itu diberi nama Nusantara atau Dwipantara. Jadi, wilayah Nusantara hampir meliputi sebagian besar wilayah Asia Tenggara.

Konsep kewilayahan Nusantara itu tidak banyak diingat oleh kebanyakan orang Indonesia. Tetapi, para budayawan-sastrawan Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailand, serta sedikit dari Filipina Selatan (Mindanao), sangat mengenal dengan baik konsep kenusantaraan itu.

Karena itulah, dalam setiap pertemuan antar mereka yang diadakan secara patungan dan sistem gilir-arisan di negara-negara mereka, tanpa risih mereka memakai istilah Nusantara. Padahal, bagi mereka yang non-Indonesia, sebenarnya istilah Nusantara mempunyai konotasi masalalu yang kurang enak, karena identik dengan penjajahan politik Jawa-Majapahit terhadap bangsa-bangsa Nusantara.

Tetapi, mungkin karena mereka kini adalah bangsa-bangsa yang kaya dan terhormat, maka tak merasa risih dan jengah kepada mantan 'penjajah mereka' yang kini jatuh miskin dan bodoh, akibat selalu menjatuhkan diri secara pasrah mirip keledai ke dalam jajahan para pemimpinnya sendiri yang berjiwa kerdil dan korup.

Bahkan, saking berjiwa besarnya para tetangga itu, pada PSN (Pertemuan Sastrawan Nusantara) XIV pada Juli 2007 nanti, yang direncanakan akan berlangsung di Alor Star, Negara Bagian Kedah, Malaysia, salah satu makalah yang dipesan mereka adalah Membicarakan Kembali Gajah Mada, Pahlawan Agung Nusantara. Karena, tema utama pertemuan internasional itu memang Maha Wangsa atau bangsa yang gagah perkasa.

Mungkin karena mereka sadar, bahwa Gajah Mada tidak hanya menjajah, melainkan juga mendidik mereka menjadi bangsa yang berperadaban maju, dan mereka sadar, ketika Jawa sudah menjadi kota yang canggih dan beradab, kota-kota besar Malaysia masih berupa hutan. Pemukiman mereka kebanyakan hanya di pantai-pantai nelayan, dengan istana kesultanan yang ringkih dan mudah terbakar.

Kondisi itu bahkan berlangsung sampai abad ke-17 M, seperti digambarkan oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam karyanya, Pelayaran Abdullah ke Kelantan.

Toh, sekarang keadaannya terbalik total. Murid yang dulu banyak berguru ke Majapahit, bahkan di zaman Orba masih banyak mahasiswa Malaysia yang belajar di Indonesia, kini menjadi bangsa maju dan kaya, dengan kota-kota indah dan cantik bersih, karena sistem gotnya yang bagus dan besar ala Amerika.

Kondisi itu berbanding terbalik dengan mantan gurunya yang bodoh, kota-kotanya becek dan banjir tiap hujan, akibat sistem gotnya yang cethek dan penuh sampah.

Aktivitas jaringan sastrawan Nusantara yang ada, yang biasanya diaktifkan oleh Gapena Malaysia di bawah pimpinan Prof DR Tan Sri Datuk Ismail Hussein, kini agak meredup. Sudah menjadi hal yang biasa, bila sang pimpinan sudah sepuh, generasi penerusnya belum tentu mau melanjutkan usaha mulia yang telah dirintisnya.

Bahkan, mereka yang berada di bawah bimbingan Tan Sri, kini mulai merasa pintar, dan mulai berani melontarkan kritik. Padahal, apa yang diperbuatnya secara pribadi sangat jauh sedikit dan tidak banyak artinya dibanding keringat dan air mata sang pemimpin.

Maka, sangat diperlukan 'penerima tongkat estafet baru' dari komunitas sastrawan Nusantara itu yang akan melanjutkan usaha mulia Tan Sri Datuk Ismail Hussein.

Kebetulan, The 1st International Poetry Gathering di Medan akan diikuti sekitar 100 penyair dan sastrawan dari berbagai negara di Nusantara. Selain dari Indonesia, ada yang dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan dan Thailand selatan.

Komitmen mereka yang luar biasa terhadap persaudaraan Nusantara perlu diresmikan dengan pembentukan wadah secara nyata dalam organisasi nirlaba serumpun, semacam komunitas sastra-budaya Nusantara.

Pencantuman unsur budaya disamping sastra adalah untuk memperluas wilayah cakupan kegiatan, karena sastra tanpa budaya akan sangat miskin dan kering, dan selama ini mau tidak mau, sastra akan banyak bersentuhan dengan unsur kebudayaan secara luas.

Bahkan, dalam Perhimpunan Penulis Muda Nasional 2005 yang berlangsung di Pontian, Johor, Malaysia, yang sebagian dari tokoh-tokoh pentingnya akan hadir dalam acara di Medan tersebut, ada budayawan muda bernama Rahimiddin Zahari, yang melontarkan kerisauannya karena unsur budaya banyak diterlantarkan oleh para penulis muda Malaysia.

Rahimiddin mengajak penulis generasi baru untuk memperkaya wawasan dengan mengenal budaya sendiri, budaya lokal yang kaya dan tinggi mutunya.

Bagi Indonesia, acara di Medan itu adalah momMient yang tepat, karena dilantiknya DR Mukhlis PaEni sebagai Dirjen Kebudayaan telah membawa angin segar dengan kebijakan yang berkomitmen pada kebudayaan lokal.

Beberapa langkah pentingnya, antara lain memberi santunan tetap tiap bulan kepada empu-empu kebudayaan lokal Indonesia, dan kemudian akan memberi uang pensiun kebudayaan kepada budayawan Indonesia.

Di Malaysia, Brunei dan Singapura, hal itu sudah biasa dan sudah lama dilakukan oleh pemerintah, karena pemerintah di sana berpendapat, bahwa budayawan adalah penjaga roh bangsa. Tanpa penjagaan, kebudayaan suatu bangsa akan tergerus dan akhirnya akan musnah, seperti yang sedang terjadi di Indonesia.

* Viddy AD Daery, Sastrawan, pekerja televisi

Sumber: Republika, Minggu, 13 Mei 2007

Si Binatang Jalang dan Sang Maestro

-- Wahyudin*

PADA Jumat siang, 18 April 1949, ketika Chairil Anwar dikebumikan di pekuburan Karet, Affandi tengah meradang dan menerjang di hadapan sosok Si Binatang Jalang yang belum rampung tergurat di sepotong terpal becak yang meranggas di bekas sebuah garasi di kompleks Taman Siswa, Jalan Garuda 25, Jakarta. Itu sebabnya, pelukis itu absen di pemakaman penyair yang meninggal pada usia 27 tahun itu.

Kata dia kepada Nasjah Djamin—yang di kemudian hari mengutip perkataan ini dalam bukunya, Hari-hari Akhir Si Penyair (Pustaka Jaya, 1982: 52): "Saya tidak ikut tadi mengantarnya ke Karet, Dik! Dari CBZ (Centraal Burgerlijk Ziekenhuis—sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta) saya terus pulang. Untuk menyiapkan tarikan terakhir pada lukisan Chairil, sebab saya takut besok lusa saya tak menemukan lagi ke-Chairilannya Chairil."

Tak lebih dari dua babak pertandingan sepak bola, lukisan itu pun kelar. Tampak di dalamnya Chairil Anwar menerpa dengan mata merah menyala bak kuda jantan yang tergasang paha-paha putih-pasi perempuan malam. Affandi memberikannya judul Chairil Anwar (1949). Pada hemat saya, lukisan itu merupakan sebuah dokumen visual terbaik tentang sang penyair yang pernah dibuat oleh seorang kampiun seni lukis Indonesia modern.

Pasalnya, lukisan itu menggurat tidak hanya makna ekspresif berupa kehendak sang pelukis mengentalkan ingatannya akan sang penyair, tapi juga santir rupa yang cergas perihal sang penyair sebagai Si Binatang Jalang, seperti yang berkumandang dalam sajak "Aku" (1943): "Kalau sampai waktuku/ ’Ku mau tak seorang ’kan merayu/ Tidak juga kau/ Tak perlu sedu sedan itu/ Aku ini binatang jalang ...."

Domestikasi


Kini, lukisan itu berada di tangan Chris Dharmawan, arsitek dan pemilik Galeri Semarang, Jawa Tengah, setelah sebelumnya menjadi koleksi pengusaha Jusuf Ronodipuro selama lebih-kurang dari empat dasawarsa. Pada titik ini, secara aksiologis, lukisan itu mengalami domestikasi—yang menyembunyikannya dari penglihatan publik—dan karena itu membuatnya diam ditekan dan tercekik kesunyian.

Apa boleh buat. Mungkin itulah nasib—dan nasib adalah kesunyian masing-masing, kata Chairil Anwar dalam sajak "Pemberian Tahu" (1946)—yang harus dipikul oleh tidak hanya lukisan itu, tapi juga lukisan-lukisan Affandi lainnya yang terdomestikasi di rumah-rumah mewah para kolektor seni rupa di dalam dan luar negeri.

Bagaimanapun, lukisan itu telah membuktikan bahwa Chairil Anwar merupakan sosok penting yang mendapat tempat terhormat dalam kehidupan Affandi—dan ini seolah-olah menjawab permintaan sang penyair kepada sang pelukis, seperti tersurat dalam salah satu larik sajak "Kepada Pelukis Affandi" yang bertitimangsa 1946: "... berilah aku tempat di menara tinggi, di mana kau sendiri meninggi."

Tapi, lebih dari sekadar permohonan, larik sajak itu mengikhtisarkan pengakuan sang penyair terhadap reputasi sang pelukis—sebentuk ungkapan takzim yang merendah-hati—sekalipun pada waktu itu ia telah tersohor sebagai "Si Binatang Jalang dari kumpulannya terbuang" yang "hilang sonder pusaka, sonder kerabat"—dan karena itu "tidak minta ampun atas segala dosa, tidak memberi pamit pada siapa saja." Tapi tidak pada Affandi—yang menjelmakan ke dalam dirinya harkat dan martabat seorang pemeluk teguh ekspresionisme "atas keramaian dunia dan cedera, lagak lahir dan kelancungan cipta," sehingga "gelap-tertutup jadi terbuka".

Di sinilah, saya kira, Affandi dan Chairil Anwar saling mempertautkan diri sebagai pemeluk teguh dan pengusung aliran ekspresionisme dalam seni lukis dan sastra Indonesia modern. Selain itu, mereka bertautan dalam perkara membaca suratan takdir—terutama yang berkenaan dengan maut. Pada Chairil Anwar maut mengental-pekat dalam sajak-sajaknya. Misalnya, "Yang Terampas dan Yang Putus"—di mana ia menulis larik magis ini: "... di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru dingin", seolah-olah ia sudah tahu bahwa di pekuburan itulah ia akan berkalang tanah pada 1949.

Sedangkan pada Affandi maut menyelubung nyesak di antara lukisan-lukisan potret dirinya yang bertarikh 1980-an. Sebutlah, misalnya, Ayam Mati dan Potret Diri (1986) dan Hampir Terbenam (1987)—yang mengisyaratkan dengan pedih nasib seorang pelukis kenamaan di bawah bayang-bayang maut pada senja usia. Kenyataannya, tiga-empat tahun kemudian, setelah mengikutsertakan kedua lukisan tersebut dalam pameran retrospektif di Jakarta, pelukis itu tutup usia dalam umur 83 tahun.

Modal spiritual

Mungkin itu sebabnya, ada yang memercayai keduanya sebagai individu-individu jenius dengan keahlian elite—yang tidak hanya memiliki modal simbolik, tapi juga modal spiritual untuk meramal ajal masing-masing. Kini, keduanya telah diam dan sendiri di pusara masing-masing. Tapi ada yang selalu bisa diucapkan tentang keduanya—yang namanya selalu lekat dalam sanubari anak-anak sekolah dari Sabang sampai Merauke. Sangat mungkin bahwa tidak ada nama penyair dan pelukis Indonesia yang seterkenal nama Chairil Anwar dan Affandi di kalangan anak-anak sekolah di negeri ini.

Bahkan, seperti pernah dikemukakan Sapardi Djoko Damono, beberapa larik sajak Chairil Anwar telah menjelma semacam pepatah atau kata-kata mutiara: "Sekali berarti sudah itu mati", "Hidup hanya menunda kekalahan", "Kami cuma tulang-tulang berserakan", dan "Aku mau hidup seribu tahun lagi"—yang belum lama ini telah menginspirasi perupa Agus Suwage untuk menggelar pameran potret diri tokoh-tokoh besar dunia—termasuk, tentu saja, potret diri Chairil Anwar—yang bertajuk I/Con di Galeri Nadi, Jakarta.

Sedangkan lukisan-lukisan Affandi, khususnya yang tersimpan di museum pribadinya di tepi Sungai Gajah Wong, Yogyakarta, sekalipun tak selalu ramai, tak luput dikunjungi oleh masyarakat dari dalam dan luar negeri—tak terkecuali kunjungan para pelajar dari berbagai penjuru negeri ini pada musim liburan sekolah.

Kenyataan itu, mengambil-alih kata-kata Sapardi Djoko Damono, tentu tidak membuktikan bahwa kebanyakan anggota masyarakat kita telah menekuni sajak-sajak Chairil Anwar dan menelaah lukisan-lukisan Affandi—juga belum menunjukkan bahwa pemahaman dan penghargaan masyarakat kita terhadap sastra dan seni rupa telah tinggi. Namun, setidaknya ia mengungkapkan bahwa sajak-sajak Chairil Anwar dan lukisan-lukisan Affandi sudah mendapat tempat di tengah masyarakat.

Saya kira, pernyataan itu cukup beralasan, terutama bila kita menempatkannya untuk Affandi. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa lukisan-lukisan sang maestro berharga ratusan juta rupiah di pasar seni rupa. Tapi ironisnya, sampai sejauh ini, telaah dan kajian mendalam tentang lukisan-lukisan Affandi dan riwayat hidupnya sebagai seorang maestro seni lukis Indonesia modern masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan.

Kenyataan itu memang bukan milik Affandi semata, tapi juga berlaku untuk hampir semua kampiun seni lukis di negeri ini. Apa mau dikata: Ia sudah dapat tempat, tapi belum dicatat.

* Wahyudin, Kurator Seni Rupa, Tinggal di Yogyakarta

Sumber: Kompas, Minggu, 13 Mei 2007

Esai: Risiko Kritik(us)

-- Aminudin TH Siregar*

TULISAN Bre Redana dan Afrizal Malna yang dimuat dalam harian ini (Kompas, 6 Mei 2007) sama-sama mempermasalahkan peran dan fungsi kritik(us) seni atau boleh dibilang keduanya tengah mempertanyakan kemerosotan "aura" (pamor) kritik seni. Menurut Bre, dibalik agresivitas pasar mengonsumsi karya-karya seni rupa kontemporer, diam-diam posisi kritikus jadi dilematis. Bre curiga, pasar sesungguhnya tidak membutuhkan acuan dari seorang kritikus, sebab pasar sanggup berjalan dengan logikanya sendiri.

Sementara, kritikus cenderung merayakan pasarnya, yaitu "pasar wacana" yang berbeda kepentingan dengan "pasar" dalam arti sesungguhnya. Di lain pihak, Afrizal Malna berkeluh kesah tentang transformasi peran kritik seni sebagai promotor seni. Kritik seni, demikian Afrizal, menjadi lipstik untuk karya yang dipuji dan menjadi comberan untuk karya yang dianggap buruk.

Baik Afrizal maupun Bre kemudian mencium gelagat bahwa kondisi seni rupa kita sekarang belum bisa keluar dari kungkungan pasar. Yang berbahaya, dalam situasi demikian, kritikus mau tidak mau harus tunduk pada kepentingan pasar.

Oleh karena itulah, pertanyaan esensial yang diajukan oleh keduanya: apakah peran kritik(us) seni di zaman komersialisasi-komodifikasi seni dewasa ini? Alih-alih menjawab peran maupun fungsi kritik seni, saya lebih tertarik untuk mendiskusikan soal bagaimana seseorang menjalani hidup sebagai kritikus di tengah perubahan konstelasi maupun infrastruktur seni rupa sekarang ini.

Afrizal agak benar ketika menyebutkan bahwa kritik yang menjelma ke dalam "jurnalisme gaya hidup" condong bersikap kurang adil, sebab lebih mengutamakan seniman selebritas. Padahal, sejatinya kritik seni menyasar pula ke relung medan seni rupa di lapis bawah. Namun, inilah kiranya, hemat saya, risiko yang dihadapi oleh kritikus kontemporer yang berhadapan dengan perubahan dalam paradigma seni yang begitu cepat.

Menjalani hidup sebagai kritikus saat ini tidak lagi berhadapan dengan medan sosial seni yang sederhana, sebagaimana yang dihadapi oleh, misalnya, generasi S Sudjojono maupun Trisno Sumardjo. Meskipun demikian, bobot permasalahannya boleh jadi sama-sama rumit. Satu hal yang kentara jelas, di masa S Sudjojono cakupan mediasi seni jauh lebih variatif dan hubungan-hubungan antarjenis kesenian masih bisa disatukan dalam satu majalah. "Tradisi" kritik kita mulanya dibangun melalui komunikasi interdisiplin.

Kita pun tahu sejumlah terbitan majalah seni budaya pada masa itu siap menampung tulisan-tulisan kritik, begitu pula surat kabar umum yang sesekali disisipi tulisan tentang seni rupa. Kita kenang majalah Zenith, Indonesia, Budaja, Siasat, Seni, Seniman atau Mimbar Indonesia, dan banyak lagi. Berbeda dengan peluang kritikus untuk menulis di segelintir media massa yang kita miliki sekarang di mana kritikus pun harus rela antre agar tulisannya bisa dimuat di sebuah koran nasional, sebab setiap koran atau majalah sudah memiliki penulis yang otomatis mengambil peran kritikus. Kalaupun kelak tulisan kritik tersebut dimuat, kritikus pun geleng-geleng kepala menghitung kecilnya jumlah bayaran yang diterima.

Kondisi yang payah ini tak ayal membuat kritikus beralih ke profesi lain yang kini makin terkenal, yaitu kurator. Tentu saja, dari segi ekonomis, menjalani hidup sebagai kurator jauh lebih layak.

Pendek kata, merosotnya jumlah kritikus di Indonesia antara lain disebabkan kecilnya ruang mediasi yang kita miliki sekarang dan minimnya pendapatan ekonomis. Belum pernah ada dalam sejarah di Republik ini yang mengabarkan kelayakan hidup seorang kritikus seni dibandingkan seniman. Sejarah lebih sering mengabarkan keperihan hidup seorang kritikus.

Kita tentu ingat almarhum kritikus Trisno Sumardjo. Sampai-sampai pelukis Nashar, Rusli, dan Zaini pada tahun 1970-an berinisiatif menggelar pameran yang hasil penjualannya kelak dimanfaatkan untuk memperbaiki makamnya. "Kalau tidak mau TBC", kata S Sudjojono dulu, "jangan jadi seniman!" Kredo ini bisa berlaku untuk kritikus sekarang. "Kalau tidak mau TBC, jangan jadi kritikus!"

Krisis kritisisme semacam ini sempat melanda seni rupa Amerika beberapa tahun silam. Kritisisme di Amerika mengalami kemerosotan pasca-Clement Greenberg. Setiap surat kabar maupun majalah sudah memiliki penulis internal. Lalu, jurnal-jurnal seni rupa seolah diperuntukkan khusus untuk kritikus terkenal. Bayaran yang diterima kritikus pun relatif kecil untuk menyambung hidup selama sebulan. Persis dengan situasi di Indonesia, tidak heran kalau berbondong-bondong kritikus menjelmakan dirinya sebagai kurator.

Belum lagi, "kritikus-kritikus sejati" kini berhadapan dengan "kritikus medioker" yang hanya numpang sesaat menulis di surat kabar nasional atau majalah. Bisa dikatakan, meneruskan nalar Afrizal, setiap orang hari ini bisa tiba-tiba menjadi kritikus sebagaimana tiba-tiba seseorang menjadi seniman dan dibaptis oleh media massa, dirayakan oleh kilau gaya hidup.

Saya paham bahwa alasan di balik fenomena kritikus medioker adalah premis-premis yang menginginkan terciptanya egaliterisme dalam dunia seni rupa. Premis ini bertolak dari pemikiran bahwa dunia seni rupa adalah dunia elitis, menara gading. Salah satu biang keroknya yang sering disasar tak lain adalah akademi-akademi seni rupa. Namun, implikasinya, terciptanya situasi egaliter sekarang membuat kita akan selalu bertemu dengan tulisan-tulisan kritik yang medioker tersebut.

Situasi sekarang membuat kita tidak tahu lagi, mana kritik yang baik, mana kritik yang sifatnya review, mana kritik yang tidak berbekal pemahaman seni rupa. Nah, sebenarnya pada titik ini terasa ganjil kalau Afrizal Malna menilai lemahnya peran akademi dan penelitian menghadapi fenomena perkembangan seni rupa. Dari perspektif akademi, bagaimanapun juga perkara demikian lagi-lagi akan menciptakan sikap dilematis alias serba salah. Bukan, tidak mustahil, kembali dominannya para kaum akademis dalam medan sosial seni akan memunculkan kecemburuan dan kecaman dari publik seni. Tetapi, mau tidak mau demikianlah situasinya.

Sudah sepantasnya publik seni rupa tidak harus menuntut peran dan fungsi kritik(us). Keberanian untuk menjalani hidup sebagai seorang kritikus di zaman sekarang saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa.

* Aminudin TH Siregar, Kurator Galeri Soemardja

Sumber: Kompas, Minggu, 13 Mei 2007

Kreativitas: Sastra Indonesia harus Melahirkan Ide-Ide Dunia

LINTAS pergaulan dunia sastra kita, sering kali terjebak pada lintas pergaulan sektoral. Ia hanya berbicara pada tataran domestik dan mengabaikan wilayah global sebagai sarana untuk memprovokasi sastra Indonesia ke dalam jangkar sastra dunia.

Masuknya sastra Indonesia ke lintas pergaulan sastra dunia, mau tak mau, harus dijadikan tolak ukur dan titik pijak akan keberhasilan sastra Indonesia.

Pikiran di atas dilansir Nugroho Suksmanto, pengusaha dan penulis buku cerita pendek Petulangan Celana Dalam dalam diskusi terbatas di University of Southern California, pekan silam. Nugroho Suksmanto yang didampingi sastrawan Triyanto Triwikromo, novelis Eka Kurniawan, dan penyair Edy A Effendi yang juga wartawan Media Indonesia, melihat realitas sastra sebagai sebuah industri, yang mau tak mau harus berkompromi dengan pasar dunia.

''Perspektif pergaulan sastra dunia ini, jika kita ingin berdiri sejajar dengan sastra dunia, para sastrawan Indonesia harus mempromosikan karya-karyanya ke dalam lajur sastra dunia. Tentu saja cara berpikir seperti ini, untuk keluar dari sangkar sastra Indonesia yang hanya berkutat pada isu-isu domestik tanpa mau menyentuh isu universal,'' tegas Nugroho.

Nurgroho juga mengharapkan para sastrawan Indonesia harus melihat subjektivitas pembaca. Selama ini, ungkap Nugroho, para sastrawan melihat subjektivitas pribadi tanpa mau menjenguk keinginan pembaca. Pola seperti itu seolah-olah sastrawan tidak mau kompromi dengan pembaca. ''Padahal, pembaca sastra adalah bagian dari proses kreatif sastrawan.''

Acuan yang ingin digulirkan Nugroho, yaitu karya-karya sastra juga harus mampu membidik pasar dunia sebagai risiko agar karya-karya sastra Indonesia bisa berdiri sejajar dengan sastra negara lain. Pada titik itu para sastrawan harus berkompromi dengan ide-ide besar, ide universal, dan tidak masuk perangkap ide-ide sektoral.

Pikiran Nugroho dalam konteks yang lain, diamini sastrawan Triyanto Triwikromo. Triyanto yang juga wartawan Suara Merdeka membenarkan pikiran-pikiran yang digulirkan Nugroho Suksmanto.

Bagi Triyanto, sastrawan Indonesia harus melihat otonomi kreativitas tidak hanya kebebasan berekspresi secara individual, tapi ia juga harus mampu berkompromi dengan sektor lain, yakni sektor bisnis.

''Jika ada ide dari pengusaha agar sastra kita bisa masuk pasar dunia, ini tidak serta-merta membelenggu kreativitas sastrawan. Justru ide masuk pasar dunia itu perlu direspons sebagai bagian dari upaya penyebaran wilayah bacaan,'' ungkap Triyanto.

Triyanto menganggap para sastrawan sudah seharusnya membidik pasar dunia jika karya-karya yang tercipta ingin masuk lintas pergaulan dunia. Dan tentu saja, jangan selalu melihat sumir, jika ada para pebisnis masuk dunia sastra.

''Kita harus melihat niat baik pengusaha atau pebisnis. Saya yakin, toh mereka tidak akan mengerangkeng ide-ide kreatif kita. Para pengusaha itu sekadar memberi ruang lain dalam peta sastra Indonesia, agar masuk pasar sastra dunia,'' tegas Triyanto.

Menjemput isu

Gagasan Nugroho dan Triyanto juga didukung novelis Eka Kurniawan. Eka melihat para sastrawan memang harus membuka banyak kemungkinan masuk sastra dunia. Dan, salah satu cara masuk sastra dunia, yaitu dengan mencoba membuka pasar sastra ke dalam jantung sastra dunia. Upaya membuka pasar dunia itu, menurut Eka, salah satu caranya dengan mencoba menjemput isu-isu dunia dengan mengusung gagasan besar yang tidak terpaku dalam wilayah domestik semata.

''Gagasan-gagasan besar itu berkaitan erat dengan persoalan-persoalan universal, yang memiliki tata nilai dunia, bukan tata nilai lokal. Dan, jika ada tata nilai lokal, sebaiknya dijadikan pendamping untuk masuk tata nilai dunia,'' papar Eka.

Penulis novel Lelaki Harimau itu melihat perjalanan para sastrawan ke Los Angeles, Las Vegas, California, dan San Fransisco itu, sebagai upaya untuk melihat lebih dekat realitas pasar sastra dunia. Sebuah pasar yang harus dijadikan pembanding untuk melahirkan karya-karya berkelas dunia.

Di sisi lain, menurut Edy A Effendi, realitas pasar sastra, mau tak mau, harus dijadikan poros utama dalam menembus realitas pasar dunia. Selama ini, para sastrawan Indonesia terjebak dalam lingkar pergaulan domestik dan tidak mau melihat realitas pergaulan dunia.

''Salah satu hambatannya adalah kemampuan bahasa. Harus diakui kemampuan bahasa untuk melihat realitas karya-karya dunia, memang menjadi satu persoalan. Sementara itu, ada beberapa kawan yang sudah masuk lintas pergaulan sastra dunia, tapi tidak mampu menciptakan ruang-ruang baru bagi sastrawan yang lain,'' tegas Edy.

Dari sudut itulah, Edy melihat harus ada cara baru untuk membongkar kebekuan sastra Indonesia. Sebuah cara melihat sastra tidak hanya pada isu-isu lokal, tapi ia juga mampu menyeret isu-isu global dalam kerja kreatifnya. ''Sastrawan harus melahirkan ide-ide besar, ide-ide dunia," tegas Edy. (Chavchay Saifullah/R-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 13 Mei 2007

Sastra: Peluncuran Buku Puisi Aurelia Tiara

SEUSAI berkeliling ke beberapa kota untuk meluncurkan buku puisinya yang bertajuk Sub Rosa, penyair belia yang dikenal sebagai penggiat komunitas Bunga Matahari (milis para pecinta puisi), Aurelia Tiara Widjanarko, 24, mengenalkan karyanya khusus ke publik Jakarta, akhir pekan lalu.

Buku puisi setebal 174 halaman itu secara umum bertutur tentang cinta, yang dikelompokkan dalam enam bagian, yakni penemuan rasa, penjajakan, rindu, klimaks, ingkar, dan ikhlas. Setiap bagian dipisahkan dengan foto-foto artistiknya dalam balutan gaun panjang tanpa lengan. Uniknya, meski bertutur tentang cinta, Tiara tak menggunakan kata-kata yang indah dan puitis untuk menggambarkannya. "Yang terpenting adalah kejujuran dan bisa membuat orang yang membaca tergugah atau teringat pernah merasakan hal serupa," ujarnya.

Sub Rosa, menurut Aurelia, artinya di bawah bunga mawar. "Yakni, istilah untuk situasi pembicaraan yang bersifat rahasia ketika digantungkan bunga mawar pada pintu ruang pertemuan," ungkapnya. Dalam buku puisinya, Tiara juga menyisipkan kata berbahasa asing, seperti bahasa Latin dan Jawa yang sengaja tak diberinya keterangan arti.

Penyair asal Yogyakarta, Joko Pinurbo, yang diundang untuk membahas puisi-puisi ini menilai, penyair yang lulus pendidikan S-1 dengan predikat summa cum laude itu mempunyai orisinalitas karya. "Yang paling istimewa, saya tidak bisa melacak jejak penyair-penyair sebelumnya dalam karya Tiara," ungkapnya.

Joko mengungkapkan sebagian besar penyair muda Sering kali terinspirasi oleh penyair-penyair terkenal yang dikaguminya. Inspirasi itu akhirnya ikut larut dalam karya-karya penyair baru itu.

"Ia memiliki estetika tertentu yang menjadi acuan dan belum terkontaminasi estetika penyair senior," tambahnya. (Eri/R-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 13 Mei 2007

Wednesday, May 09, 2007

Globalisasi: Bangsa Indonesia Kehilangan Jati Diri

GLOBALISASI merupakan suatu keniscayaan. Ia terus bergerak dan menyentuh setiap sisi kehidupan manusia di penjuru dunia. Globalisasi mengalir cepat tidak bisa dibendung. Tidak mengherankan, sebagian kalangan khawatir arus globalisasi akan menggerus nilai-nilai asli. Keberadaan tradisi dan budaya lokal terancam tersisih.

Padahal era globalisasi tidak perlu ditakuti jika bangsa Indonesia membekali diri dengan memperkuat kebanggaan jati diri bangsa. Sebab, jati diri bangsa yang kokoh akan melahirkan karakter bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa lain. Bangsa Indonesia pun akan mampu bicara di tingkat global.

Demikian kesimpulan dari diskusi bertema Konsolidasi ekonomi perdagangan nasional berbasis khazanah budaya bangsa yang digelar Indo Solution di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta, Senin (7/5). Acara diskusi itu digelar menjelang diadakannya seminar nasional bertajuk Penyiapan Kapal Dagang Indonesia, Belajar dari Pengalaman Sejarah Perdagangan Indonesia-India di Jakarta, pada 21 Mei mendatang.

Dalam diskusi itu, budayawan WS Rendra mengungkapkan, penjajahan Belanda telah berhasil merusak tatanan bidang tata negara, tata pemerintahan, tata hukum, dan tata pembangunan Indonesia. Bahkan sampai sekarang masalah tatanan tersebut belum teratasi.

"Mereka berhasil membuat kohesi atau rasa kebersamaan bangsa kita menjadi tidak kokoh lagi. Jadi sebenarnya kita bukan mengalami krisis nasionalisme, tetapi krisis kohesi," ujarnya.

Hukum dirusak kolonial Belanda. Kalau dahulu, hukum adat begitu kuat, kini sudah melemah. "Oleh karena itu, konflik di berbagai daerah di Indonesia terus terjadi. Coba kalau pakai hukum adat. Kalau kepala adat bilang setop, tidak akan ada perpecahan," ungkapnya.

Penyair yang menguasai sejarah itu memandang konflik di Poso bisa dituntaskan. Bila aparat polisi tidak masuk dan kepala adat diberdayakan, persoalan konflik horizontal tidak separah sebagaimana yang terjadi belakang.

Ironisnya, perusakan tatanan kehidupan bangsa Indonesia terus berlanjut. Bahkan pascapenjajahan, proses perusakan tatanan kehidupan terus berlanjut. Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru turut andil merusak tatanan kehidupan.

"Aturan di segala bidang menggunakan aturan yang dibuat Belanda (pemerintah). Tidak mengherankan, kalau tatanan hidup bangsa Indonesia terus amburadul. Bangsa kita telah kehilangan jati dirinya," paparnya.

Keadaan seperti itu telah menyebabkan sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia tidak matang, terutama saat menghadapi dunia modern. "Ini dampak budaya yang menyedihkan," ujarnya.

Dampak selanjutnya, bangsa Indonesia kehilangan kewibawaan saat beradaptasi dengan ilmu pengetahuan. Ketidakwibawaan muncul ketika menghadapi banjirnya produk-produk dunia modern hasil bidang pemikiran, ekonomi, dan perdagangan. Tidak ada transfer produk modern yang disaring berdasarkan pertimbangan. "Kita hanya menjadi peniru," tandasnya.

Sementara itu, pembicara lain, Guru Besar Manajemen Strategis Universitas Prasetya Mulya, Sammy Krista Mulyana, mengungkapkan, kemampuan adaptasi bangsa Indonesia memang bagus. Sayangnya, karena tidak mempunyai jati diri budaya, bangsa Indonesia dikesankan hanya sebagai penghasil imitasi. "Karenanya, untuk memasuki era globalisasi diperlukan adanya perencanaan dengan pemahaman terhadap budaya lokal," ungkapnya.

Amerika Serikat kalah pada perang Vietnam. Penyebabnya, karena Amerika tidak menguasai budaya atau cara berperang orang Vietnam.

Sammy memandang sebuah bangsa yang menjalankan sesuatu, baik itu bidang sosial, politik, ekonomi atau budaya, akan maju jika mempunyai karakter atau jati diri bangsa sendiri.

"Misalnya, India yang sering diprotes Bank Dunia karena sangat lambat mengeluarkan aturan. Tapi, mereka karena mengenal jati diri bangsanya sendiri, ya mereka tidak menghiraukan peringatan tersebut. Toh, India maju juga sekarang. Bahkan, menjadi negara yang amat diperhitungkan di dunia sekarang ini," katanya. (Eri Anugerah/H-2)

Sumber: Media Indonesia, Rabu, 9 Mei 2007

Tuesday, May 08, 2007

Konferensi Linguistik: Penggunaan Bahasa Gaul Semakin Marak

Jakarta, Kompas - Penggunaan bahasa gaul dirasakan semakin marak. Meski tidak semua penggunaannya merusak khazanah bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, bahasa gaul perlu pengawalan jika digunakan secara formal.

Kenyataan ini diungkapkan Supyan Hussin dari Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universitas Kebangsaan Malaysia, dalam Konferensi Linguistik Tahunan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Senin (7/5). Supyan mengadakan penelitian di Malaysia, Jakarta, Bandung, dan Riau dengan melihat penggunaan bahasa gaul dalam berbagai media, terutama surat kabar.

Dia mengatakan, bahasa gaul atau bahasa singkatan dapat dianggap bahasa slang dan umumnya digunakan dalam konteks tidak formal. Fenomena bahasa gaul sesungguhnya menggambarkan betapa bahasa bersifat dinamis dan hidup bila ia memenuhi keperluan komunikasi, ekonomi, dan sosial masyarakat. Bahasa yang terus dilestarikan adalah bahasa yang dihargai penuturnya.

Ciri bahasa gaul dan singkatan ialah beberapa perkataan disingkat menjadi akronim, gabungan beberapa perkataan dijadikan perkataan baru, serta pemendekan kata melalui proses pengguguran huruf—baik vokal maupun konsonan—yang mengubah ejaan asalnya.

Menurut dia, tidak semua bahasa gaul merusak bahasa. Singkatan nama seseorang, misalnya di Indonesia ada SBY untuk Susilo Bambang Yudhoyono atau di Malaysia ada DSMM untuk Dato’ Seri Mahathir Mohamad. Untuk jangka panjang, hal itu tidak memengaruhi pelestarian bahasa Melayu-Malaysia dan Indonesia karena akan hilang dengan sendirinya ketika yang bersangkutan tidak menjabat atau tiada lagi. Demikian pula singkatan untuk nama tempat atau yang sudah diterima dipakai secara luas.

"Yang akan memengaruhi antara lain singkatan untuk kata nama umum, seperti minyak tanah menjadi minah, rumah toko menjadi ruko, rapat kerja menjadi raker dan lain-lain," katanya.

Dalam konferensi linguistik tersebut terdapat sekitar 40 makalah lain yang dibawakan oleh para akademisi bidang linguistik. Sebagian dari makalah tersebut menyoroti perkembangan penggunaan bahasa seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. (INE)

Sumber: Kompas, Selasa, 8 Mei 2007

Sunday, May 06, 2007

Esai: Gaya Hidup "delete" Kritik Seni "enter" Promotor Seni

-- Afrizal Malna*


HAMPIR selama dua minggu, sejak awal April kemarin, saya beberapa kali sempat bertemu dengan Boedi S Otong, sutradara Teater Sae yang hidup sebagai performer di Eropa sejak awal tahun 1990-an.

Selama dua minggu itu saya cenderung terlalu memaksakan diri untuk bisa bertemu dan ngo- brol dengannya. Tubuh dan jiwa saya terasa sakit dan tidak siap untuk bertemu dengan siapa pun waktu itu.

Saya merasa berada dalam tekanan yang datangnya tidak jelas. Seperti ada makhluk yang mau meledak dalam tubuh dan jiwa saya. Tapi saya tidak memberi tahu keadaan ini kepada Boedi. Mungkin dia bisa merasakannya seperti keringat yang merembes lewat alis matanya.

Lalu kami sempat terperangkap dalam tema pembicaraan di sekitar wajah kekuasaan: Kenapa di wajah sebagian teman-teman kesenian kini memiliki semacam "selubung kekuasaan"? Kami berdua mungkin juga bagian dari wajah itu. Kita tidak bertemu dengan seniman atau dengan seorang teman, melainkan bertemu dengan kekuasaan yang sosoknya tidak jelas.

Apakah kesenian itu? Dan apakah menjadi seorang seniman itu? Kesenian tidak bisa dijaga oleh wacananya sendiri. Kesenian menjadi ember bocor justru lewat kehidupan senimannya.

Progresivitas gaya hidup membuat sebagian seniman kehilangan kesadaran kelasnya dan membiarkan kehidupan sosialnya dikonstruksi lewat kelas sosial yang menjadi super-ego tak sadarnya. Hubungan-hubungan politik, terutama yang dekat dengan pemerintahan, parlemen, dan partai politik, membuat sang seniman rela menjadikan dirinya sebagai "agen politik" dengan kesenian sebagai obyeknya.

Sensitivitas klik dan intrik juga bermunculan di sini, seperti virus sosial yang membuat hubungan-hubungan dalam lingkungan kesenian menjadi kumuh. Setiap telinga dan mulut seperti memiliki sumbu kompor dan korek api. Masalah kemanusiaan dan sosial kian terabaikan dalam hubungan-hubungan itu. Identitas kemanusiaan tertanggalkan hanya untuk memperbesar gaya hidup kesenimanan.

Rezim gelap dan teater tidur

Dalam kondisi itu, ada dua hal yang mungkin kita tertarik menanyakannya: di manakah peran kuratorial (legitimasi, visi) dan kritik seni (pengembangan wacana-wacana kritis kesenian) kini?

Peran kuratorial lebih menonjol di seni rupa dalam membuat pemetaan seni rupa, terutama lewat forum-forum bienale seni rupa. Walaupun "pesan" yang dibawa para kolektor papan atas sedikit banyaknya ikut bermain. Hubungan seni rupa dalam kondisi ini kian dekat dengan gejolak ekonomi. Karena itu, manajemen dan infrastruktur seni rupa memerlukan banyak perubahan dalam memasuki fenomena ini.

Tetapi, di bidang seni lain peran ini gelaplah sudah. Sebagian kesan yang muncul justru bukan pemetaan kuratorial, melainkan klik dari rezim yang berkuasa.

Rezim seni ini sebagian merupakan "rezim gelap" yang tidak mengamati langsung kehidupan kesenian yang bergerak di sekitarnya. Mereka hanya bermain di tingkat networking dan meninggalkan subyeknya sendiri.

Teater kini mungkin tampak sedang tidur, dan beruntung tidak memiliki rezim yang menentukan keberadaannya (mungkin karena tidak terlalu menguntungkan).

Teater yang mengesankan sedang meninggalkan ruangnya sendiri dan tidak terlalu mengambil sikap atas tumbuhnya performance art. Teater yang kehilangan pernyataan.

Teater kampus tumbuh di mana-mana dan ikut merayakan narasi yang bukan datang dari dunianya sendiri. Tetapi, ketika teater kembali membaca aktor dan tubuh seperti apa yang sedang dialami oleh dunia di sekitarnya, mungkin teater akan bangun dan terkejut ketika menyaksikan bahwa jam di tangannya telah berpindah mencekik lehernya sendiri.

Jurnalisme gaya hidup

Tetapi, apa kabar peran kritik seni?

Uh. Kritik seni masih membawa masalah lamanya: Kesulitan melakukan identifikasi karya, lalu hanya bermain di tingkat konsep dan tema; menggunakan karya yang dikritik hanya sebagai obyek justru untuk membicarakan teori-teori yang digunakannya. Kritik yang cenderung menempatkan diri di atas karya seni.

Kritik seni menjadi lipstik untuk karya yang dipuji, dan menjadi comberan untuk karya yang dianggap jelek. Kritik yang masih bermain di tingkat apakah karya yang dibahas bagus atau jelek, dan bukannya lebih berurusan dengan fenomena seni yang dibawa sebuah karya.

Padahal, bagus dan jelek sebuah karya seni bukanlah urusan kritik seni, melainkan urusan pasar. Pasar bisa subyektif di tingkat konsumen, tetapi bisa obyektif di tingkat pembentukan pasar. Kritik seni yang perannya berubah menjadi pendapat konsumen atau pendapat pasar adalah kritik seni yang sebenarnya lebih menjalankan perannya sebagai "promotor seni".

Bergesernya peran kritik seni menjadi promotor seni sebenarnya berhubungan dengan dekatnya kritik seni atas media massa, bersamaan itu dengan lemahnya peran akademis dan penelitian.

Media massa, terutama karena provokasi media tv, membuat politik jurnalisme kian mendekati dirinya sebagai "jurnalisme gaya hidup" yang menggunakan kecantikan, kekerasan, dan selebriti sebagai performance dan politik pembacaannya. Kesenian yang bermain di lapis bawah cenderung tidak mendapatkan ruang dan kritik, bersaing dengan kesenian dari seniman selebriti.

Karena itu pula medan baca kesenian cenderung kehilangan halaman lain oleh jurnalisme gaya hidup seperti ini, di mana kritik seni lebih menjalankan perannya sebagai promotor seni.

Pendidikan dan tradisi

Pada pihak lain, dunia akademis, baik sastra maupun disiplin seni lainnya, hampir tidak memiliki sumbangan untuk pengembangan wacana seni dewasa ini, kecuali dari ilmu-ilmu komunikasi dan antropologi seni.

Dunia pendidikan juga harus menerima nasibnya seperti media massa, di mana budaya saintis dalam kehidupan kampus kian tergantikan oleh budaya gaya hidup (konsumerisme). Menjadi mahasiswa sama seperti memasuki gaya hidup, siswa dan mahasiswa masuk tv, tv juga masuk ke sekolah dan ke kampus.

Dunia pendidikan seni seperti sibuk dengan urusan birokrasi, proyek pertunjukan, dan soal-soal teknis kesenian. Cenderung melahirkan seniman yang cukup tangguh secara teknis, tetapi basis intelektualnya untuk mencipta cukuplah miskin.

Pendidikan tari paling menderita dalam hal ini karena hanya mahasiswa tarilah yang paling dibebani untuk mewarisi tradisi dibandingkan dengan disiplin seni lain yang lebih memiliki kebebasan untuk mencipta. Tradisi yang umumnya lahir dari sikap "melakoni", oleh pendidikan hanya diperlakukan sebagai pola-pola teknik dalam metodologi penerapannya. Gaya hidup membuat "salonisasi tradisi" tak terhindarkan berlangsung lewat pendidikan tari.

Tradisi kehilangan kelanjutannya dalam konteks perubahan yang dibawa oleh generasi selanjutnya. Dalam fenomena ini tradisi sebenarnya bukan diwariskan ke generasi di selanjutnya, melainkan ditaklukkan dan diringkus untuk sebuah kemasan gaya hidup.

Ketika politik identitas dibiarkan dikuasai gaya hidup, tradisi pun terancam kehilangan sejarahnya sendiri.

* Afrizal Malna, Penyair

Sumber: Kompas, Minggu, 6 Mei 2007

Wacana: Menunggu 'Godot' Pengajaran Sastra Indonesia* (Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan)

-- Ahmadun Yosi Herfanda**

PERSOALAN utama yang hingga kini masih menghambat pengembangan pengajaran sastra di sekolah menengah umum (SMU) adalah masih melekatnya pengajaran sastra pada mata pelajarah bahasa (Indonesia). Persoalan utama ini sudah sering digugat oleh para akademisi sastra dan sastrawan, misalnya Suminto A Sayuti dan Taufiq Ismail, tapi masih saja berlangsung seperti itu.

Posisi pengajaran sastra yang melekat pada pelajaran bahasa Indonesia itu mengisyaratkan, bahwa pengajaran sastra hanya ditempatkan sebagai salah satu aspek pengajaran bahasa -- aspek-aspek lainnya adalah keterampilan membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, dan tata bahasa. Posisi melekat itu juga masih bertahan pada era Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku sekarang ini.

Dengan posisi melekat pada pelajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra akhirnya akan sangat tergantung pada guru-guru bahasa. Jika sang guru bahasa memiliki apresiasi sastra yang tinggi, maka pengajaran sastra juga akan mendapatkan perhatian yang lebih. Karena memang berminat, sang guru akan terdorong untuk mengajarkan apresiasi sastra secara sungguh-sungguh dan kreatif mencari solusi atas sempitnya waktu yang tersedia.

Tetapi, jika sang guru bahasa Indonesia tidak memiliki minat terhadap sastra, atau memiliki apresiasi sastra yang rendah, maka pengajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya sesuai materi yang ada di buku pegangan. Guru tidak akan tertarik untuk bersungguh-sungguh meningkatkan apresiasi, wawasan dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Apalagi, memperkaya materi pelajaran yang ada.

Dengan hanya menjadi bagian dari pelajaran bahasa Indonesia, maka prestasi siswa dalam pengajaran sastra tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri, tapi hanya menyumbang sedikit (kurang dari 20 persen) pada nilai bahasa Indonesia. Akibatnya, para siswa tidak terdorong untuk bersungguh-sungguh dalam mengikuti dan menguasai pelajaran sastra.

Cukup logis, jika para siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya -- persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.

Selain itu, pelajaran bahasa Indonesia juga banyak dibebani semacam 'titipan' pengetahuan bidang lain, seperti kesehatan, lingkungan, politik, dan budaya, bahkan transmigrasi, teknologi dan olahraga. Sehingga, yang muncul pada sub-sub judul buku pelajaran bahasa dan sastra bukan aspek-aspek bahasa dan sastra itu sendiri, tapi bidang-bidang pengetahuan yang lain.

Lihat saja, misalnya, buku Bahasa dan Sastra Indonesia susunan Dra N Sukartinah dkk (CV Thursina, Bandung, 2003). Sub-sub judul yang dimunculkan pada buku ini 90 persen justru non-sastra dan non-bahasa, yakni Keselamatan dan Kesehatan Tenaga Terja, Teknologi, Pendidikan, Pertanian, Transmigrasi, Lingkungan, Peristiwa, serta Olahraga. Sehingga, sepintas, kita malah bingung, itu buku pelajaran bahasa atau pengetahuan umum.

Keanehan itu, selain membuat siswa tidak terkonsentrasi pada masalah bahasa dan sastra, juga menutup peluang untuk meningkatkan sentuhan materi sastra dalam pengajaran bahasa. Untuk aspek membaca, mendengarkan dan berbicara, misalnya, bukan membaca, mendengarkan, dan berbicara dengan materi karya sastra, baik esei, cerpen, maupun puisi; tetapi dengan materi tentang kesehatan, lingkungan, teknologi, dan bidang-bidang lain yang tidak ada kaitannya dengan sastra.

Mungkin, hal itu dilakukan agar pengajaran bahasa dapat diberikan secara menarik dan variatif topiknya, tapi bisa saja siswa malah bingung, itu pelajaran bahasa atau bukan. Akibatnya, fokus atau konsentrasi siswa pada pelajaran bahasa dan sastra juga malah terpecah ke bidang lain, sehingga malah mendangkalkan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia itu sendiri.

Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mendesakkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia, terutama sejak pendidikan tingkat SMU. Rasanya, inilah cara yang paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal.

Dengan pemisahan seperti itu, maka mata pelajaran sastra akan berdiri otonom dan akan menyumbangkan nilai 100 persen pada rapor atau nilai kelulusan siswa. Pemisahan itu cukup dimulai sejak SMU, karena pada jenjang itulah penguasaan bahasa siswa rata-rata sudah cukup memadai, dengan daya penalaran yang cukup matang dan pada usia itulah minat dan bakat khusus siswa perlu diberi peluang untuk tumbuh lebih menonjol, termasuk bakat di bidang sastra.

Namun, menunggu pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa, barangkali seperti menunggu Godot. Kita tidak tahu kapan kebijakan itu akan diputuskan oleh pemerintah (Depdiknas), dirumuskan oleh penyusun kurikulum, dan dilaksanakan di sekolah. Wacana pemisahan itu sudah sering muncul sejak tahun 1980-an, tapi timbul tenggelam seperti suara siaran radio yang diterbangkan angin, atau seperti teriakan di tengah padang pasir. Barangkali diperlukan unjuk rasa besar-besaran oleh para guru sastra dan sastrawan untuk meloloskan ide pemisahan tersebut menjadi kebijakan pemerintah.

Dalam posisi yang masih menyatu dengan pelajaran bahasa, pada akhirnya, sekali lagi, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, tergantung pada guru bahasa Indonesia. Jika sang guru bahasa tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif dan efektif.

Jika kebanyakan guru bahasa Indonesia berkarakter seperti itu, maka pengajaran sastra akan tetap menuai kegagalan demi kegagalan seperti selama ini. Maka, sekali lagi, tidak ada jalan lain untuk meningkatkan pengajaran apresiasi sastra di SMU dalam rangka ikut meningkatkan apresiasi sastra masyarakat kecuali memisahkan pelajaran sastra dari pelajaran bahasa!n

* Tulisan ini merupakan makalah untuk Seminar Pengajaran Bahasa dan Sastra dalam rangka Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia 2007, HMBSI FPBS UPI Bandung, di gedung PKM UPI, 10 April 2007. Semoga bermanfaat! n

** Ahmadun Yosi Herfanda, Sastrawan dan wartawan Republika

Sumber: Republika, Minggu, 6 Mei 2007

Pluralisme: Hidup Damai Milik Dawam Rahardjo

PADA perayaan ulang tahun ke-65, Dawam Rahardjo keluar dari ruang kesepiannya setelah teman-teman lama menjauhinya. Mengenakan peci hitam dan setelan jas abu-abu, ia menyambangi teman-teman barunya.

Ulang tahun Dawam dirayakan bersamaan dengan peluncuran buku berjudul Demi Toleransi, Demi Pluralisme, di aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta, Jumat (4/5) malam.

''Ternyata teman saya masih banyak, karena akhir-akhir ini saya merasa ditinggalkan oleh teman-teman lama saya,'' kata Dawam di sela perayaan ulang tahunnya.

Buku sebagai hadiah ulang tahun telah diedit oleh kawan-kawannya, Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyimm, dan JH Lamardy. Buku itu memberi kesan bahwa para kolega dan sahabatnya masih setia dengan pemikiran dan gerak aktivitas, serta esai-esai Dawam.

Keistimewaan buku itu ditulis oleh 31 orang, antara lain Ahmad Syafii Maarif, BJ Habibie, Siti Musdah Mulia, Franz Magnis Suseno, Komaruddin Hidayat, Didik J Rachbini, Nono Anwar Makarim, dan Daniel Dhakidae.

Ada yang istimewa bagi mantan Rektor Unisma Bekasi kelahiran Kampung Baluwarti, Solo, 20 April 1942, dalam pesta ulang tahunnya itu. Malam itu ikut hadir juga teman-teman 'terbaru' Dawam, dari Komunitas Eden. Komunitas itu melalui salah seorang juru bicaranya menyatakan hanya Dawam satu-satunya orang yang bersedia dialog dan bertanya tentang kepercayaan mereka.

Dawam pun ikut terlibat dalam diskusi-diskusi panjang untuk mencoba memahami ajaran Eden. Ia juga menyerukan untuk membela Ahmadiyah, sebuah sikap yang berseberangan dengan kawan-kawannya.

''Semua itu atas nama toleransi dan pluralisme. Saya tidak peduli dikatakan orang. Dibilang Komunitas Eden, enggak apa-apa. Ahmadiyah, enggak apa-apa. NU juga enggak apa-apa. Asal jangan bilang saya Muhammadiyah,'' kata Dawam disambut tawa hadirin.

Pluralisme, baginya, menjadi sebuah jalan menuju kedamaian. Ia mengaku, saat menjadi seorang yang belum toleran, ia harus terus-menerus membenci dan menolak segala sesuatunya yang berbeda darinya. Ia harus terus penuh dengan rasa marah. ''Tapi sekarang saya dapat kasih sayang lebih banyak. Ancaman yang saya terima malah berkurang,'' katanya lagi.

Toleransi, juga menjadi kata kunci menuju kedamaian. Namun baginya yang lebih penting lagi adalah kunci menuju kemajuan. Tanpa toleransi, tidak mungkin Islam akan menjadi maju. ''Toleransi tidak berarti lemah. Saya malah lebih bisa memahami akidah saya dengan lebih baik,'' ujar Dawam.

Dawam yakin kebenaran ada di mana-mana. Kebenaran bisa ditemukan di berbagai kitab suci. Ia pun pernah memberikan nasihat kepada Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra tentang toleransi. ''Seseorang tidak akan bisa menjadi intelektual sempurna jika ia masih apriori dengan marxisme.''

Teman-temannya yang hadir seperti Utomo Dananjaya, Daniel Dhakidae, Siti Musdah Mulia, dan M Syafi'i Anwar pun memuji langkah intelektual Dawam yang berani menunjukkan jati dirinya.

Mereka menilai Dawam sebagai seorang intelektual yang telah melakukan pembelaan bagi rakyat dan mengedepankan keadilan. Direktur International Center for Islam and Pluralism (ICIP) Jakarta M Syafi'i Anwar menambahkan mengutip pendapat Bung Hatta, intelektual harus memiliki kepribadian moral, kepedulian sosial, dan melakukan pembelaan terhadap rakyat.

''Beliau telah memenuhi persyaratan itu dengan menunjukkan identitas dan jati dirinya saat melakukan pembelaan terhadap kelompok-kelompok yang dipinggirkan.''

Selamat ulang tahun Pak Dawam. (Isyana Artharini/H-3)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 6 Mei 2007

Saturday, May 05, 2007

Esai: Sterilisasi Bahasa

-- Acep Iwan Saidi*

ESAI saya bertajuk “Matinya Bahasa Sunda” yang dimuat pada lembar budaya ini (Khazanah, 17/02/2007) mendapat banyak tanggapan meskipun tidak dalam bentuk tulisan di media. Dari semua tanggapan itu bisa disimpulkan bahwa tulisan tersebut disikapi secara mendua: diterima, tetapi sekaligus dipersoalkan. Oleh sebab itu, kiranya perlu sekali lagi ditegaskan apa yang saya pikirkan tentang bahasa Sunda tersebut.

Esai saya bertajuk “Matinya Bahasa Sunda” yang dimuat pada lembar budaya ini (Khazanah, 17/02/2007) mendapat banyak tanggapan meskipun tidak dalam bentuk tulisan di media. Dari semua tanggapan itu bisa disimpulkan bahwa tulisan tersebut disikapi secara mendua: diterima, tetapi sekaligus dipersoalkan. Oleh sebab itu, kiranya perlu sekali lagi ditegaskan apa yang saya pikirkan tentang bahasa Sunda tersebut.

Penegasan ini akan saya mulai dengan menghubung-kannya dengan esai Prof. Dr. Fatimah Djajasudarma yang juga diturunkan lembar budaya ini seminggu setelah tulisan saya dimuat (Khazanah, 24/02/2007. Esai Djajasudarma kiranya tidak dimaksudkan untuk menanggapi tulisan saya. Namun, ada yang secara kebetulan bersinggungan di antara keduanya. Perhatikan misalnya pendapat, "Cara berpikir yang berputar-putar yang tidak dimiliki pergaulan global sangat sulit untuk digunakan di dalam pergaulan sekarang, misalnya peribahasa yang sudah tidak berlaku sekarang". Sementara di bagian lain ia juga bertutur, "Pemakaian bahasa Sunda yang diidam-idamkan selalu muncul, bahkan sampai ada yang menganggap mati. Betulkah mati?" Seperti diketahui, esai saya mengambil kata "mati" sebagai bagian pokok judulnya. Esai ini juga dimulai dengan pengemukaan data-data peribahasa Sunda yang dimuat majalah Sunda Cupumanik.

Jika seluruh tulisan saya dipahami tanpa menafikan konteksnya segera akan terbaca bahwa saya tidak sedang mengatakan bahwa bahasa Sunda yang mesti dikembangkan sekarang adalah bahasa Sunda yang harus sesuai dengan hal yang sama terjadi di masa lalu. Hal yang ingin dikemukakan adalah sebuah perbandingan bahwa orang Sunda masa lalu memiliki kreativitas yang tidak dimiliki orang Sunda modern. Ekstremnya, jika orang Sunda masa lalu mampu mengabstraksikan kehidupan kesehariannya melalui peribahasa, apa yang bisa dilakukan orang Sunda sekarang. Jika kita mengatakan bahwa peribahasa itu produk masa lalu yang sudah tidak layak dikembang-kan hari ini, apa produk masa kini yang memiliki kesejajaran dengan produk heubeul itu.

Dalam soal bahasa, sejauh ini saya belum menemukan kreativitas orang Sunda modern yang sebanding dengan orang Sunda masa lalu itu-tentu hal ini menjadi otokritik buat saya sendiri sebagai orang Sunda pituin. Mengapa demikian? Karena hari ini faktor yang menjadi stimulus bagi berkembangnya bahasa Sunda memang kian menipis, terutama di wilayah perkotaan. Hilangnya stimulus itu berarti hilangnya prestasi manusianya dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini, hemat saya, tidak hanya terjadi dalam bahasa dan masyarakat Sunda, melainkan juga dalam lingkup yang lebih luas pada bahasa dan masyarakat Indonesia. Lihatlah, hari ini nyaris seluruh aspek kehidupan kita didominasi oleh sesuatu yang bukan milik kita, sesuatu yang tidak berasal dari bahasa kita. Akibatnya, ada banyak kata yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan/atau Sunda sehingga kita lebih banyak berlari ke penye-rapan daripada ke penerjemah-an, bahkan ke huruf miring atau garis di bawah kata (untuk kata asing yang tidak diterjemahkan).

Interaksi dan alih kode


Bahasa Sunda, Indonesia, atau bahasa apa pun tentulah hidup dalam sebuah komunitas manusia yang berinteraksi satu sama lain. Interaksi antarmanusia, antarbangsa, antarbudaya, dan lain-lain adalah hal yang semestinya terjadi dan dengan begitu bahasa pun terus berkembang. Namun, proses saling pengaruh dalam interaksi antarbahasa itu tidaklah sederhana. Di dalamnya sarat dengan berbagai permasalahan: politik, ideologi, kekuasaan, ekonomi, hegemoni, dan seterusnya. Saya tidak sepakat dengan pendapat Djajasudarma yang menulis bahwa "bahasa, layaknya manusia, mengalami siklus lahir, hidup (berkembang), dan mati. Sesuai dengan hukum alam". Jika kita setuju dengan pandangan tersebut, tentu diskusi melalui media semacam ini tidak perlu dilakukan. Lembaga pendidikan bahasa juga tidak ada gunanya lagi. Semua cukup dijalani sebagai sebuah proses yang alamiah saja.

Djajasudarma sebenarnya masih melanjutkan pendapatnya dengan kalimat, "karenanya, hidup-matinya bahasa ibu bergantung kepada masyarakatnya". Saya setuju. Pendapat ini justru menegaskan pemikiran saya bahwa bahasa memang pengalaman badani. Sebagai salah satu elemen kebudayaan, bahasa, seperti dikatakan Schiller, merupakan artikulasi pola kreatif yang bersumber dari pola mimetik pra-reflektif (rumusan pengalaman keseharian). Akan tetapi, pada kalimat berikutnya Djajasudarma meloncat lagi pada pernyataan lain yang mencerminkan pengamatannya yang kurang meyakinkan. Ia menulis, "masyarakat Indonesia cenderung inovatif, mudah menyesuaikan diri de-ngan pengaruhnya tadi, demi kedinamisan pergaulan dalam mempertahankan ekosistemnya". Saya tidak sependapat jika kemampuan beradaptasi pada pengaruh asing merupakan sebuah inovasi. Fakta bahwa ada kemampuan beradaptasi memang benar. Namun, kiranya ia tidak tepat disebut inovasi, melainkan kompromi. Kompromi, kata Umar Kayam, memang merupakan "perintah historis" bangsa ini. Sejak baheula, menurut Kayam, kita sangat piawai berkompromi (dalam arti positif) sehingga dengan itu peradaban bangsa ini berlangsung.

Dalam interaksi yang komporomistis tersebut, alih kode tentu acap diperlukan. Namun, alih kode harus dilihat sebagai gejala yang muncul akibat dari permasalahan kemasyarakatan dan kebudayaan pula. Pada tataran ini lagi-lagi saya tidak sepaham dengan pandangan Djajasudarma yang menulis sebagai berikut. Alih kode berfungsi, pertama, sebagai acuan unsur yang tidak atau yang kurang dipahami di dalam bahasa yang digunakan. Kedua, berfungsi direktif. Ketiga, berfungsi ekspresif (pembicara menekankan identitas alih kode melalui dua bahasa dalam wacana yang sama). Keempat, berfungsi untuk menunjukkan perubahan nada dalam konversasi, dan berfungsi fatis. Kelima, berfungsi sebagai metabahasa (dengan pemahaman alih kode untuk mengulas suatu bahasa, baik langsung maupun tidak langsung. Keenam, berfungsi di dalam humor atau permainan yang sangat berperan di dalam masyarakat bi(poli)lingual".

Tampak dari pendapat itu bagaimana alih kode hanya di-lihat sebagai gejala bahasa semata. Dengan demikian, pembicaraan tentangnya tidak beranjak dari kategori dan fungsi bahasa dalam struktur. Manakala pembicaraan tentang bahasa hanya sampai pada strukturnya sedemikian, pada saat itu sebenarnya praktik pencucian atas bahasa sedang berlangsung. Bahasa dipungut dan dibersihkan dari realitas yang mengimbuhinya, dicuci sedemikian rupa sehingga ia menjadi steril, bahkan mati.

Strukturalisme dan lembaga pendidikan

Kita mengetahui bahwa cara melihat bahasa secara struktural seperti itu dipelopori Ferdinand de Saussure berpuluh tahun lalu. Dengan cara berpikir dikotomis language versus parole, penanda versus petanda, sintagmatik versus paradigmatik, dan sinkronik versus diakronik, Saussure merumuskan pandangannya tentang bahasa. Dalam rumus-an itu, makna bahasa dilihat melalui relasi strukturnya. Dengan kata lain, ia dilepas-kan dari realitas di luar dirinya.

Karena makna bahasa diba-ngun melalui relasi dalam struktur tersebut, bahasa ha-rus dipelajari sebagai sebuah sistem. Dengan demikian, la-nguage yang tidak lain merupakan sistem tersebut, menjadi lebih penting ketimbang parole. Parole adalah ujaran individu. Parole bersifat renik, keseharian, kompleks, dan lain-lain sehingga sulit dirumuskan. Kita tahu sebuah rumusan selalu merupakan sebuah reduksi, generalisasi. Language, dalam konteks ini, sesungguhnya identik dengan generalisasi.

Pandangan yang menempat-kan bahasa sebagai sebuah sistem tersebut secara teknis kemudian diturunkan dalam beberapa kategori. Pelajaran bahasa dikelompokkan ke dalam beberapa tataran, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, paragraf, dan wacana. Perhatikanlah bahwa semua tataran dalam ilmu bahasa tersebut telah memisahkan bahasa dari realitasnya. Ilmu bahasa mereduksi sedemikian rupa bahasa itu sendiri. Pada tataran fonologi makna bahasa ditentukan oleh perbedaan fonem (bunyi), pada tataran morfologi mata kata hanya dibentuk oleh afiksasi, pada tataran sintaksis bahasa hanya dilihat sebagai susunan subjek, objek, dan predikat, pada tataran paragraf bahasa hanya dilihat sebagai kohesi dan koherensi antarkalimat, serta pada tataran wacana (karangan utuh) makna bahasa hanya di-lihat sebagai sekumpulan pa-ragraf yang saling berhubung-an.

Perspektif bahasa strukturalis sedemikian, sebagaimana kita ketahui, dianut dengan setia oleh lembaga pendidikan kita mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Di perguruan tinggi, dari kurikulum yang saya up date dan dari beberapa skripsi, tesis, juga disertasi mahasiswa jurusan bahasa tampak bahwa apa yang dipelajari sekarang tidak banyak berkembang diban-dingkan dengan waktu saya sekolah tersebut 13 tahun yang lalu. Ilmu bahasa dengan berbagai cara yang canggih menyeret bahasa dari situsnya (masyarakat) yang kaya deng-an berbagai potensi sekaligus memiliki permasalahan yang kompleks. Ilmu bahasa menjadi tidak emansipatoris. Oleh sebab itu, tidak aneh sebenar-nya jika seorang akademisi menuding ibu-ibu rumah tangga telah menjadi penyebab terkikisnya pemakaian bahasa Sunda karena mereka tidak mengajarkan kepada anak-anaknya di rumah. Pewarisan bahasa hanya dilihat sebatas persoalan teknis-artikulatif.

Pada tataran operasional, turunan dari studi bahasa yang memisahkan bahasa dari masyarakat sedemikian bisa kita lihat dari peran dan fungsi Lembaga Pusat Bahasa di Jakarta dan Balai Bahasa di berbagai daerah. Dalam pengamatan saya, lembaga-lembaga ini tidak menunjukkan prestasi menjanjikan dalam konteks pengembangan bahasa di masyarakat. Berbagai peneliti-an mungkin saja dilakukan, tetapi hasilnya mana kita tahu. Sejauh ini saya tidak melihat peran dan fungsinya yang signifikan di masyarakat. Dalam beberapa hal ia malah eksklusif. ***

* Acep Iwan Saidi, Dosen pada KK Ilmu-Ilmu Desain dan Budaya Visual FSRD ITB, Kepala Perpustakaan FSRD ITB

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 5 Mei 2007