Saturday, May 05, 2007

Esai: Sterilisasi Bahasa

-- Acep Iwan Saidi*

ESAI saya bertajuk “Matinya Bahasa Sunda” yang dimuat pada lembar budaya ini (Khazanah, 17/02/2007) mendapat banyak tanggapan meskipun tidak dalam bentuk tulisan di media. Dari semua tanggapan itu bisa disimpulkan bahwa tulisan tersebut disikapi secara mendua: diterima, tetapi sekaligus dipersoalkan. Oleh sebab itu, kiranya perlu sekali lagi ditegaskan apa yang saya pikirkan tentang bahasa Sunda tersebut.

Esai saya bertajuk “Matinya Bahasa Sunda” yang dimuat pada lembar budaya ini (Khazanah, 17/02/2007) mendapat banyak tanggapan meskipun tidak dalam bentuk tulisan di media. Dari semua tanggapan itu bisa disimpulkan bahwa tulisan tersebut disikapi secara mendua: diterima, tetapi sekaligus dipersoalkan. Oleh sebab itu, kiranya perlu sekali lagi ditegaskan apa yang saya pikirkan tentang bahasa Sunda tersebut.

Penegasan ini akan saya mulai dengan menghubung-kannya dengan esai Prof. Dr. Fatimah Djajasudarma yang juga diturunkan lembar budaya ini seminggu setelah tulisan saya dimuat (Khazanah, 24/02/2007. Esai Djajasudarma kiranya tidak dimaksudkan untuk menanggapi tulisan saya. Namun, ada yang secara kebetulan bersinggungan di antara keduanya. Perhatikan misalnya pendapat, "Cara berpikir yang berputar-putar yang tidak dimiliki pergaulan global sangat sulit untuk digunakan di dalam pergaulan sekarang, misalnya peribahasa yang sudah tidak berlaku sekarang". Sementara di bagian lain ia juga bertutur, "Pemakaian bahasa Sunda yang diidam-idamkan selalu muncul, bahkan sampai ada yang menganggap mati. Betulkah mati?" Seperti diketahui, esai saya mengambil kata "mati" sebagai bagian pokok judulnya. Esai ini juga dimulai dengan pengemukaan data-data peribahasa Sunda yang dimuat majalah Sunda Cupumanik.

Jika seluruh tulisan saya dipahami tanpa menafikan konteksnya segera akan terbaca bahwa saya tidak sedang mengatakan bahwa bahasa Sunda yang mesti dikembangkan sekarang adalah bahasa Sunda yang harus sesuai dengan hal yang sama terjadi di masa lalu. Hal yang ingin dikemukakan adalah sebuah perbandingan bahwa orang Sunda masa lalu memiliki kreativitas yang tidak dimiliki orang Sunda modern. Ekstremnya, jika orang Sunda masa lalu mampu mengabstraksikan kehidupan kesehariannya melalui peribahasa, apa yang bisa dilakukan orang Sunda sekarang. Jika kita mengatakan bahwa peribahasa itu produk masa lalu yang sudah tidak layak dikembang-kan hari ini, apa produk masa kini yang memiliki kesejajaran dengan produk heubeul itu.

Dalam soal bahasa, sejauh ini saya belum menemukan kreativitas orang Sunda modern yang sebanding dengan orang Sunda masa lalu itu-tentu hal ini menjadi otokritik buat saya sendiri sebagai orang Sunda pituin. Mengapa demikian? Karena hari ini faktor yang menjadi stimulus bagi berkembangnya bahasa Sunda memang kian menipis, terutama di wilayah perkotaan. Hilangnya stimulus itu berarti hilangnya prestasi manusianya dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini, hemat saya, tidak hanya terjadi dalam bahasa dan masyarakat Sunda, melainkan juga dalam lingkup yang lebih luas pada bahasa dan masyarakat Indonesia. Lihatlah, hari ini nyaris seluruh aspek kehidupan kita didominasi oleh sesuatu yang bukan milik kita, sesuatu yang tidak berasal dari bahasa kita. Akibatnya, ada banyak kata yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan/atau Sunda sehingga kita lebih banyak berlari ke penye-rapan daripada ke penerjemah-an, bahkan ke huruf miring atau garis di bawah kata (untuk kata asing yang tidak diterjemahkan).

Interaksi dan alih kode


Bahasa Sunda, Indonesia, atau bahasa apa pun tentulah hidup dalam sebuah komunitas manusia yang berinteraksi satu sama lain. Interaksi antarmanusia, antarbangsa, antarbudaya, dan lain-lain adalah hal yang semestinya terjadi dan dengan begitu bahasa pun terus berkembang. Namun, proses saling pengaruh dalam interaksi antarbahasa itu tidaklah sederhana. Di dalamnya sarat dengan berbagai permasalahan: politik, ideologi, kekuasaan, ekonomi, hegemoni, dan seterusnya. Saya tidak sepakat dengan pendapat Djajasudarma yang menulis bahwa "bahasa, layaknya manusia, mengalami siklus lahir, hidup (berkembang), dan mati. Sesuai dengan hukum alam". Jika kita setuju dengan pandangan tersebut, tentu diskusi melalui media semacam ini tidak perlu dilakukan. Lembaga pendidikan bahasa juga tidak ada gunanya lagi. Semua cukup dijalani sebagai sebuah proses yang alamiah saja.

Djajasudarma sebenarnya masih melanjutkan pendapatnya dengan kalimat, "karenanya, hidup-matinya bahasa ibu bergantung kepada masyarakatnya". Saya setuju. Pendapat ini justru menegaskan pemikiran saya bahwa bahasa memang pengalaman badani. Sebagai salah satu elemen kebudayaan, bahasa, seperti dikatakan Schiller, merupakan artikulasi pola kreatif yang bersumber dari pola mimetik pra-reflektif (rumusan pengalaman keseharian). Akan tetapi, pada kalimat berikutnya Djajasudarma meloncat lagi pada pernyataan lain yang mencerminkan pengamatannya yang kurang meyakinkan. Ia menulis, "masyarakat Indonesia cenderung inovatif, mudah menyesuaikan diri de-ngan pengaruhnya tadi, demi kedinamisan pergaulan dalam mempertahankan ekosistemnya". Saya tidak sependapat jika kemampuan beradaptasi pada pengaruh asing merupakan sebuah inovasi. Fakta bahwa ada kemampuan beradaptasi memang benar. Namun, kiranya ia tidak tepat disebut inovasi, melainkan kompromi. Kompromi, kata Umar Kayam, memang merupakan "perintah historis" bangsa ini. Sejak baheula, menurut Kayam, kita sangat piawai berkompromi (dalam arti positif) sehingga dengan itu peradaban bangsa ini berlangsung.

Dalam interaksi yang komporomistis tersebut, alih kode tentu acap diperlukan. Namun, alih kode harus dilihat sebagai gejala yang muncul akibat dari permasalahan kemasyarakatan dan kebudayaan pula. Pada tataran ini lagi-lagi saya tidak sepaham dengan pandangan Djajasudarma yang menulis sebagai berikut. Alih kode berfungsi, pertama, sebagai acuan unsur yang tidak atau yang kurang dipahami di dalam bahasa yang digunakan. Kedua, berfungsi direktif. Ketiga, berfungsi ekspresif (pembicara menekankan identitas alih kode melalui dua bahasa dalam wacana yang sama). Keempat, berfungsi untuk menunjukkan perubahan nada dalam konversasi, dan berfungsi fatis. Kelima, berfungsi sebagai metabahasa (dengan pemahaman alih kode untuk mengulas suatu bahasa, baik langsung maupun tidak langsung. Keenam, berfungsi di dalam humor atau permainan yang sangat berperan di dalam masyarakat bi(poli)lingual".

Tampak dari pendapat itu bagaimana alih kode hanya di-lihat sebagai gejala bahasa semata. Dengan demikian, pembicaraan tentangnya tidak beranjak dari kategori dan fungsi bahasa dalam struktur. Manakala pembicaraan tentang bahasa hanya sampai pada strukturnya sedemikian, pada saat itu sebenarnya praktik pencucian atas bahasa sedang berlangsung. Bahasa dipungut dan dibersihkan dari realitas yang mengimbuhinya, dicuci sedemikian rupa sehingga ia menjadi steril, bahkan mati.

Strukturalisme dan lembaga pendidikan

Kita mengetahui bahwa cara melihat bahasa secara struktural seperti itu dipelopori Ferdinand de Saussure berpuluh tahun lalu. Dengan cara berpikir dikotomis language versus parole, penanda versus petanda, sintagmatik versus paradigmatik, dan sinkronik versus diakronik, Saussure merumuskan pandangannya tentang bahasa. Dalam rumus-an itu, makna bahasa dilihat melalui relasi strukturnya. Dengan kata lain, ia dilepas-kan dari realitas di luar dirinya.

Karena makna bahasa diba-ngun melalui relasi dalam struktur tersebut, bahasa ha-rus dipelajari sebagai sebuah sistem. Dengan demikian, la-nguage yang tidak lain merupakan sistem tersebut, menjadi lebih penting ketimbang parole. Parole adalah ujaran individu. Parole bersifat renik, keseharian, kompleks, dan lain-lain sehingga sulit dirumuskan. Kita tahu sebuah rumusan selalu merupakan sebuah reduksi, generalisasi. Language, dalam konteks ini, sesungguhnya identik dengan generalisasi.

Pandangan yang menempat-kan bahasa sebagai sebuah sistem tersebut secara teknis kemudian diturunkan dalam beberapa kategori. Pelajaran bahasa dikelompokkan ke dalam beberapa tataran, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, paragraf, dan wacana. Perhatikanlah bahwa semua tataran dalam ilmu bahasa tersebut telah memisahkan bahasa dari realitasnya. Ilmu bahasa mereduksi sedemikian rupa bahasa itu sendiri. Pada tataran fonologi makna bahasa ditentukan oleh perbedaan fonem (bunyi), pada tataran morfologi mata kata hanya dibentuk oleh afiksasi, pada tataran sintaksis bahasa hanya dilihat sebagai susunan subjek, objek, dan predikat, pada tataran paragraf bahasa hanya dilihat sebagai kohesi dan koherensi antarkalimat, serta pada tataran wacana (karangan utuh) makna bahasa hanya di-lihat sebagai sekumpulan pa-ragraf yang saling berhubung-an.

Perspektif bahasa strukturalis sedemikian, sebagaimana kita ketahui, dianut dengan setia oleh lembaga pendidikan kita mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Di perguruan tinggi, dari kurikulum yang saya up date dan dari beberapa skripsi, tesis, juga disertasi mahasiswa jurusan bahasa tampak bahwa apa yang dipelajari sekarang tidak banyak berkembang diban-dingkan dengan waktu saya sekolah tersebut 13 tahun yang lalu. Ilmu bahasa dengan berbagai cara yang canggih menyeret bahasa dari situsnya (masyarakat) yang kaya deng-an berbagai potensi sekaligus memiliki permasalahan yang kompleks. Ilmu bahasa menjadi tidak emansipatoris. Oleh sebab itu, tidak aneh sebenar-nya jika seorang akademisi menuding ibu-ibu rumah tangga telah menjadi penyebab terkikisnya pemakaian bahasa Sunda karena mereka tidak mengajarkan kepada anak-anaknya di rumah. Pewarisan bahasa hanya dilihat sebatas persoalan teknis-artikulatif.

Pada tataran operasional, turunan dari studi bahasa yang memisahkan bahasa dari masyarakat sedemikian bisa kita lihat dari peran dan fungsi Lembaga Pusat Bahasa di Jakarta dan Balai Bahasa di berbagai daerah. Dalam pengamatan saya, lembaga-lembaga ini tidak menunjukkan prestasi menjanjikan dalam konteks pengembangan bahasa di masyarakat. Berbagai peneliti-an mungkin saja dilakukan, tetapi hasilnya mana kita tahu. Sejauh ini saya tidak melihat peran dan fungsinya yang signifikan di masyarakat. Dalam beberapa hal ia malah eksklusif. ***

* Acep Iwan Saidi, Dosen pada KK Ilmu-Ilmu Desain dan Budaya Visual FSRD ITB, Kepala Perpustakaan FSRD ITB

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 5 Mei 2007

No comments: